Di hari dia jadi dari segumpal darah, ada
kerinduan pada sosok yang tidak gagah perkasa namun mempesona dalam karsa; di hari yang sudah terdeklarasi sebagai
Hari Puisi Nasional: ada kerinduan pada sajaknya; ada kerinduan
pada perjalanan singkat hidupnya; ada kerinduan pada lelaki bermata merah
basah; ada kerinduan pada CHAIRIL ANWAR!
Hari
puisi pertama yang kita peringati kemarin, 26 Juli, masih terasa datar,
peringatannya hanya terasa pada kalangan tertentu saja. Serasa ada yang kurang!
Sebagai
penghormatan sosok penting dalam perkembangan kesusastraan Pertiwi,
dideklarasikannya hari kelahiran Chairil Anwar menjadi Hari Puisi Nasional pada
bulan November tahun lalu, bukanlah hal yang berlebihan. Malah, ini adalah satu
terobosan yang agak ketinggalan jika
dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang sudah lebih dahulu memiliki
hari yang diperingati sebagai hari puisi sebagai akar budaya peradaban. Tapi
tetap saja, keputusan ini adalah keputusan hebat! Setidaknya sekarang, sekali
dalam setiap tahunnya akan ada hari yang membuat kita semakin mendalami dan
mencintai kebudayaan sendiri, melalui puisi. Lalu apakah berlebihan juga kalau
pengagum Chairil seperti saya dan jutaan lainnya di luar sana untuk
mengharapkan riwayat yang divisualisasikan dalam sebuah film? Seandainya saja
Pak Sjuman Djaya masih hidup. Seandainya saja pula, sekarang ini, ada sineas
Pertiwi yang menganggap ini penting. Pertanyaannya sekarang adalah: adakah
sineas kita yang menganggap ini penting? Adakah sineas kita yang cukup berani?
Sjuman Djaya
“Aku: Berdasarkan Pengalaman Hidup dan
Karya Penyair Chairil Anwar”
Menangis!
Sumpah, aku menangis setelah beberapa kali aku membaca buku riwayat hidup
Chairil yang seyogianya sudah selesai difilmkan oleh pak Sjuman Djaya jika saja
Beliau berumur sedikit lebih panjang. Bukan saja karena kedalaman riwayat Bung Chairil yang mengambarkan mirisnya kehidupan
seorang tokoh yang dianggap sebagai binatang jalang-nya kesusastraan
Indonesia, tetapi juga karena film tersebut akan menjadi film pertama yang berani keluar dari tema yang didominasi oleh film ber-genre cinta
remaja dan polemik kehidupan keluarga. Sayang, cita-cita Pak Sjuman Djaya untuk
melakukan gebrakan terhalang usia. Lalu, setelah jampir tiga puluh tahun wacana
tersebut menjadi rencana, akankah ada sutradara yang cukup berani meneruskan
keberanian Beliau? Butuh niat, keberanian, modal, dan kecintaan terhadap
perkembangan kesusastraan kita, tentunya.
Aku, merupakan sebuah buku riwayat
berbentuk skenario yang dituliskan secara hidup
dan sangat mendetail tentang kehidupan
pelopor angkatan’45 dalam kesusastraan kita, Chairil Anwar. Buku ini semakin
dikenal dan dicari sejak kemunculannya
dalam film terobosan yang sukses dalam appresiasi dan segi
komersialitas, Ada Apa Dengan Cinta,
pada tahun 2002 silam. Awalnya, buku yang pertama sekali diterbitkan oleh PT.
Pustaka Utama Grafiti, Jakarta pada tahun 1987 ini direncanakan untuk menjadi
skenario yang akan di filmkan oleh Pak Sjuman Djaya. Namun, belum sempat
cita-cita tersebut terwujud, beliau keburu
dipanggil Yang Kuasa.
Kekuatan buku ini bukan saja terletak pada kemampuan
penulisnya untuk menggambarkan situasi negeri pada tahun 1945—1950-an secara
hidup sehingga pembacanya bisa hanyut dan seperti sedang berada pada jaman
tersebut , atau pada keberadaan Chairil sebagai tokoh besar yang diriwayatkan,
tetapi juga pada kekuatan diksi dan pelukisan karakter secara hidup sehingga
seolah-olah memiliki jiwa. Pembaca
buku ini dibawa untuk mengenal dan mendalami kepribadian Chairil, kecintaannya
pada puisi, juga kehidupannya secara keseluruhan. Hal yang sulit untuk
digambarkan jika Pak Sjuman tidak memiliki pengetahuan dan penjiwaan terhadap Chairil
lewat karya-karyanya. Pak Sjuman membuktikan kapasitasnya sebagai sutradara
mapan dan juga penulis yang bercitarasa tinggi melalui buku yang sudah enam
kali cetak ulang ini.
Saya menangis
membacanya, dan saya yakin bukan hanya saya. Enam kali cetak ulang
menggambarkan betapa buku ini menjadi salah satu buku best seller pada eranya.
Lalu mengapa sampai lebih dari 25 tahun kemunculannya, belum ada juga yang
meneruskannya menjadi sebuah film? Apakah karena para sutradara takut tidak
bisa memvisualisasi ke-hidupan buku
ini?
Masalah Sarana dan Prasarana
Dalam
pengantar buku ini, seorang WS Rendra, si Merak, mengakui bahwa salah satu
hambatan untuk memfilmkan buku ini adalah tidak tersedianya studio dalam negeri
yang cukup berkualitas dan memadai untuk menggambarkan situasi-situasi dan setting keseluruhan buku ini. Mungkin,
apa yang dikatakan Rendra ada benarnya pada masa itu. Lah, sekarang, setelah dua dasawarsa lebih apakah masalahnya tetap
itu-itu juga? Kalau memang benar, itu titik persoalannya, lalu bagaimana dengan
dua film garapan sineas asing Gareth
Evans dan sineas kita, Iko Uwais: Merantau (2009) dan The Raid (2011)? Kenapa kedua film ini mampu menuai pujian dari
kritikus film dalam dan luar negeri? Apalagi The Raid, film yang tidak hanya memenangkan penghargaan dalam
beberapa festival tapi juga menuai pujian sebagai film laga terbaik setelah
bertahun-tahun, yang berhasil nangkring di box office Amerika sejak dirilis
disana. Ini membuktikan kalau semua hambatan mengenai sarana dan prasarana
dapat diakali.
Apa studio di
Amerika juga tidak ada yang memadai? Saya
rasa sudah lebih cukup, malah. Karena bukan satu atau dua film saja yang
memiliki setting yang “tua”. Atau memang
ada masalah lain? Ketidakberanian para sineas jaman sekarang untuk mencoba
keluar dari tema horror dewasa
“buka-bukaan” atau “cinta-cintaan” demi alasan komersialitas, misalnya?
Jika pertimbangannya adalah masalah komersialitas maka sebaiknya para sineas
kita berkaca kembali pada film The Raid yang
mampu meraup untung hingga Rp 11 Miliar. Apalagi sosok Chairil Anwar yang
ditampilkan adalah legenda yang sudah pasti pula mempunyai penggemar yang tidak
sedikit. Saya yakin, bukan hanya saya
yang menangis membaca buku ini. Pun juga bukan hanya saya yang menantikan
kemunculan film ini.
Apa Untungnya?
Bukan saja
dari segi komersialitas yang menjanjikan, karena ada begitu banyak kalangan
yang pasti menunggu kehadiran film ini. Disisi lain, ada banyak alasan yang
membuat kemunculan film ini terasa penting untuk kemajuan kesusastraan
Indonesia. Dengan kemunculan film ini: kecintaan terhadap bahasa Indonesia
sebagai bahasa persatuan dan bahasa yang layak dihargai dengan penggunaan
secara baik dan benar, kecintaan terhadap budaya, kecintaan terhadap
kesusastraan Indonesia pada umumnya dan secara khusus kecintaan terhadap puisi,
akan semakin menggiatkan generasi muda penerus bangsa untuk berkarya, atau
setidaknya mencintai karya anak bangsa dan budaya sendiri. Jangan lupa pula, kemajuan
negara sedikit banyaknya dapat dinilai dari tingkat kemajuan kesusastraan yang
dimilikinya.
Nah, jika
sedari awal sineas kita memang punya niat sehingga semua
permasalahan-permasalahan yang menghambat bisa diakali, maka kemunculan film ini bukan hanya sekadar mimpi Sjuman
Djaya yang terhenti. Sekarang bagaimana kalau kita tanyakan kembali: adakah
sineas kita yang menganggap ini penting? Adakah sineas kita yang cukup berani?
Atau haruskah kita menunggu sineas-sineas asing yang turun tangan, lagi? (ZZ)
Atau Baca Juga di Kompasiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar