Fakta bahwa begitu fenomenalnya Jokowi yang digadang-gadang sebagai pemimpin ideal Republik Indonesia di masa depan tidak terlepas dari kedekatannya dengan rakyat melalui tenik yang dikenal dengan “Blusukan”. Jokowi keluar-masuk kampung di wilayah DKI untuk mengamati dan mendengarkan aspirasi warga secara langsung. Melalui “blusukan” nama Jokowi pun melambung dan mendapat apresiasi yang bukan hanya datang dari warga Jakarta sebagai wilayah kepemimpinannya, tetapi juga dari rakyat Indonesia yang merindukan sosok pemimpin yang merakyat.
Sebelumnya,
walaupun tidak setenar setelah kemunculan blusukan Jokowi, hal ini juga pernah
dilakukan, walaupun dengan cara dan metode berbeda.
Sri Sultan Hamenkubuwono IX, Presiden
Soekarno, dan Presiden Soeharto.
Strategi
penampungan aspirasi dengan cara blusukan Jokowi memang bukan yang pertama di
dunia pemerintahan Indonesia. Jauh
sebelum Jokowi, Siri Sultan Hamenkubuwono IX, Presiden Ir. Soekarno dan
Presiden Soeharto juga sudah melakukannya pada era kepemimpinan mereka. Tetapi
mereka melakukan metode berbeda. Jika Jokowi dalam setiap agenda blusukannya
dilakukan secara terbuka, maka Sultan Hamengkubuwono IX, Presiden Soekarno dan
Presiden Soeharto melakukannya dengan metode penyamaran atau dikenal juga
dengan sebutan incognito. Berbeda
metode, namun dengan tujuan yang sama; untuk lebih mengerti kebutuhan dan
keluhan rakyat, lalu mengadakan pembenahan.
PM Norwegia sampai Presiden China
Belakangan ini
beberapa penyamaran juga dilakukan oleh pejabat-pejabat luar negeri. Yang
teranyar adalah penyamaran yang dilakukan oleh PM Norwegia, Jens Stoltenberg
pada akhir Juni yang lalu. Stoltenberg menyamar sebagai sopir taksi untuk
mendengarkan secara langsung aspirasi rakyatnya dengan memperbincangkan masalah
isu-isu politik sembari mengantarkan penumpangnya ke tujuan. Terlepas dari
anggapan bahwa hal ini dilakukan dengan tujuan pencitraan dan kampanye
Stoltenberg terhadap pencalonannya kembali sebagai perdana menteri, langkah
penyamaran ini bisa dilihat sebagai kemajuan pola pikir kepolitikan seorang
pemimpin.
Selain
Stoltenberg, Presiden China, Xi Jinping, juga pernah diberitakan melakukan
penyamaran untuk mencitrakan dirinya sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyatnya.
Orang nomor satu Negeri Tirai Bambu tersebut melakukan penyamaran dengan
bepergian dengan menggunakan taxi, bulan Mei yang lalu. Xi, yang tidak dikenali
sang sopir taxi, mendengarkan keluhan sang sopir secara langsung tentang
pencemaran udara yang semakin parah di Negara Komunis tersebut dan
keluhan-keluhan lainnya. Ketika akhirnya penyamarannya terbongkar dan sopir
taxi tersebut memuji dirinya sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat, Xi
secara sederhana mengatakan, “Semua orang itu setara. Saya juga datang dari
kelas akar rumput.”
Pemerintahan Merakyat
Dengan menjadi
warga biasa, hidup ditengah warga lainnya, dan mengetahui pandangan warga
terhadap pola kepemimpinannya, seorang pemimpin akan lebih mengerti aspirasi
warga mengenai sosok pemimpin ideal, isu-isu yang membutuhkan penanganan, dan
metode penanganan yang tepat terhadap sebuah isu dengan cara-cara yang lebih
pro-rakyat.
Menjadi pemimpin memang bukan perkara gampang.
Apalagi yang dipimpin adalah sebuah kelompok
sosial besar yang dihuni oleh beranekaragam pandangan dalam wilayah atau daerah
cakupan yang luas. Faktanya sekarang adalah era dimana pemimpin dianggap
sebagai figur yang lebih berorientasi “dilayani” telah bergeser pada era dimana
pemimpin adalah sosok yang seharusnya “melayani”. Melayani dalam bentuk
kepemimpinan yang dekat dan lebih mengerti kemauan rakyat. Karena bagaimanapun,
seorang pemimpin juga terlahir dan menjalani hidup sebagai rakyat sebelum dia
dipilih berdasarkan kemauan rakyat untuk memberikan pengabdian kepada rakyat
pula. Prinsip demokrasi yang seringkali terlupakan oleh seorang pemimpin yang
terlalu memilih zona aman dan terkesan jauh dari sifat-sifat merakyat.
Semoga saja fenomena blusukan dan penyamaran
yang menjadi tren kepemimpinan ideal ini bukan hanya fenomena sesaat. Sehingga
kesenjangan jarak dan aspirasi antara rakyat terhadap pimpinannya bisa semakin
terkikis dan pemimpin bukanlah sosok semu yang hanya tahu membuat keputusan
tanpa mengetahui apa yang diinginkan oleh rakyatnya. (ZZ)
Baca juga di Kompasiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar