Seraut Wajah Itu

Seraut wajah itu akan kusebut namanya cinta
karena setiap memandangnya,
keteduhan itu berkata 'aku milikmu!'
dan imajinasi membawaku,
pada beranda dimana dia

Mempertanyakan Kepantasan

Bagaimana?
Jika disaat engkau menggantungkan harapan pada satu-satunya orang yang engkau miliki, tapi disaat yang sama dia seolah mencari alasan untuk tidak kau miliki.

Bagaimana?
Jika tawamu bukan menjadi alasan untuk dia tertawa dan sedihmu bukan menjadi alasan dia untuk bersedih.

Bagaimana?
Jika kesendirian dan sepi harus kau jalani, sementara dia menikmati waktunya berbagi dengan orang lain yang sudah jelas-jelas memiliki niat untuk mencurinya darimu?

Katakan...
Bagaimana?
Jika dia tau hanya dia yang benar-benar bisa memberi disaat yang paling kau butuhkan, tapi tidak mengerti.

Katakan,
Bagaimana?
Jika yang menyenangkan buat dia adalah keterpurukanmu dalam sepi, tanpa sosialisasi, tanpa tertawa dan sapa pada teman-teman.

Bagaimana jika?
Kau hanya berhak untuk tertawa bersamanya.
Kau hanya berhak untuk bersedih bersamanya.
Kau hanya berhak melontarkan sapa padanya.

Mempertanyakan kepantasan.
Mempertanyakan arti sebuah hubungan.
Mempertanyakan sebuah arti saling memiliki dan saling mengerti.

Pantaskah kau habiskan sisa hidup hanya dengannya?
Bagaimana?

Untukmu, Ayah

Begitu banyak pujian yang telah di tujukan pada sosok seorang ibu, sampai-sampai seorang ibu telah di identikkan dengan dua istilah agung: cinta dan surga. Ya, seorang ibu memang dipandang sebagai sosok penjelmaan nilai-nilai ke-Ilahian. Saya setuju, tentu saja. Karena saya memiliki sosok ibu yang hebat. Tetapi bagaimanapun, jangan lupa bahwa masih ada sosok lain yang juga pantas disandingkan, disejajarkan, dan dimuliakan seperti peran mulia seorang ibu. Sosok gagah yang selama ini seperti pelakon di belakang layar; Ayah. Pada kenyataannya, hanya ada beberapa tribute untuk ayah yang bisa kita temukan dalam karya-karya menyentuh (ode) seperti puisi, lagu, dan beberapa kutipan-kutipan kata mutiara. Karena itu, saya sebagai seorang pengagum sosok laki-laki seperti ayah saya--yang sering saya sebut sebagai sosok yang family-oriented--ingin setidaknya memberi sesuatu yang bisa dikenang dan diulang-kenang, kapanpun dia mau. Apalagi kalau bukan baris-baris kata yang saya punya. Terlebih lagi, pada angka ke-26 dibulan Juni nanti, satu mata rantai usia akan ditambahkan padanya. Ya, ulang tahun. Ke-57, tepatnya. Tanpa kue ulang tahun yang dihias indah, tanpa lilin-lilin kecil yang menyala diatasnya, tanpa bingkisan, tanpa kehadiran saya juga, apalagi yang bisa saya berikan kecuali baris-baris rasa yang terpahat pada barisan kata yang akan saya susun menjadi sebuah puisi? Hanya kata. Dan, untukmu Ayah, semoga memaklumi. Terimalah, 

UNTUKMU, AYAH

Malam itu kau bercerita
dalam telusur pandang yang be-rantai-rantai harapan
tentang akil-balik pada legenda
 menggelora mudamu hingga keluarga
dan akhirnya kuingat;
tidak lembut, kau berkata
'anak muda, kau darahku!'
laki-laki tak merengek memimpi-mimpi
'pergilah memecah matahari!'
 **
Ketahuilah, Ayah
di setiap garis kerut yang mengukir di wajahmu
disetiap helai rambut putihmu yang kian bersemi
disetiap rona pandangmu pada masa depan kami
pada setiap keringat yang ditempeli debu siang hari,
kami menitip pesan,
'kami bangga padamu' 

Ketahuilah pula, Ayah
disetiap kami memanggil ibu
disetiap kami mengata rindu padanya
dan meleburnya dalam peluk
kami berharap tangan kami cukup panjang
untuk menyertakanmu, merasakan wajahmu
dengan bisik ditelingamu,
'cinta itu juga milikmu'

SELAMAT ULANG TAHUN, Ayah!

demimu, dengan palu hidup yang kau beri
akan kupecah matahari.
 hingga mereka tau, aku darahmu
**
                   
Puisi untuk ayah saya. Baris kata-kata yang mungkin tidak seberapa. Tidak layak dikaji ulang dalam ulasan-ulasan sastra. Tidak ditujukan untuk menjadi perbincangan media, atau bahkan tidak layak dianggap sebagai sebuah puisi. Tidak akan mengurangi kerut-kerut yang semakin jelas terlihat diwajah ayah saya. Tapi, setidaknya saya mencoba memberikan sesuatu yang bisa dia pandang sejenak, dan sekali lagi berkata... 'Anak muda, kau memang darahku!'
  

Diatas Segala Renungku


Aku menarik paksa kata untuk datang
membentuk imaji untuk sebuah sajak diri
untuk menghibur urat-urat--otak
dijangkauan yang berbatas dan horizontal

tentang apakah,
raga, tempat napas bukan
milikku--tertitipbuah-buah manja dari kebajikan yang vertikal
eksistensi,
tempat pertempuran kata diselaput akal

Aku mengakuimu,
sejak keberanianmu untuk mengulitiku ditengah pertempuran ini
dengan darah kita hidup, dengan darah kita mati
sampai mana kita bertempur tak henti

yang aku tahu, bukan yang kulihat
sore jingga yang kau tunjukkan padaku kala itu
serta berlembar-lembar kata
saat kau bilang bukan perpisahan, disaat memang kita berpisah

Aku mengakuimu,
sejak garis bibirmu mengaku sahabat
walau padamu pedang kuhunus berkali-kali
dulu, sekarang; hasratku masih terus untuk berperang denganmu
dalam matipun kita tidak berpisah

Aku merasakanmu;
dalam raga lemah ini,
kau memilih berumah

Medan, 14 Juli 2012

Belum Berjudul




Belum Berjudul

Lupakan sejenak imaji penataan panggung dalam drama tragedy.
masih ingatkah kau?
wajah muram ini, wajah yang katamu hendak kau pilih sebagai sampul dalam bab demi bab jalan hidupmu?

sore kemarin, kita bercerita
elegi malam-malam yang diam.lalu mulutpun terlanjur diam.
Diam...
hingga hati pun sediamnya diam.
Tidakkah bisa kau lihat?
satu persatu huruf pembentuk harapan sedang kuukir
dalam diam yang memang tak kusebut emas.

Lupakan sejenak penggambaran tentang sebuah ironi.
sudah lekangkah ingatan itu?
ingatan pada pandangan sore menakjubkan di batas cakrawala barat.
ingatan pada angin yang mendayu bagai jutaan puisi.
bukankah disitu, disudut yang tak tergapai mata, kita pernah saling memandang diam
dan menangis.
perlahan... perlahan... hingga akhirnya air mata itu hanya menjadi lelucon.
semua sudah berakar,
menancap kuat pada gumpalan darah yang membeku tanah.

Lupakan sejenak, bagaimana akan kita susun sebuah epilog.
kau juga pasti bisa melihat kan?
tidak akan pernah ada sebuah epilog yang cukup pantas buat satu judul ini.
tidak yang menggugah,
tidak yang menyentil,
tidak yang cengeng pula
bahkan tidak untuk yang mengakar kelakar hingga mata-mata tertawa.
tidak.
sampai nanti semua bisa dikenang sebagai sebuah teladan.
setelah kedua pasang mata kita tak lagi menyala.

Lupakan sejenak semua ulasan tentang pesan moral.
pernahkah sebelumnya kita perduli?
pada riuhnya tepuk tangan, atau cemooh yang tak sopan?
biar berdarah, biar tertelan ludah,
kita adalah pesan moral.

ketika selesai kupahatkan huruf terakhir dalam harapan,
engkau akan mengerti.
dalam nyata dan mimpi
dalam tawa dan tangis
dalam hidup, jalan, rejeki, generasi, hingga mati...

Kita saling memiliki.


lupakan sejenak yang membuat lupa.
ingat, kenanglah yang tak akan membuatmu melupa.

Medan, 15/06/13