Abu Gunung

kebul pekat membumbung
bergulung-gulung
tiba dengan dentung
mengundang renung
mengusik jantung
layap debu murung
tangis pecah dari lumbung
menjadi segala garung

adalah abu gunung
melanjutkan perihal satu hubung
hikayat yang kembali tersambung
pencarian terselubung
di antara segala jengah dan linglung
jiwa-jiwa seperti daki tepung
mengarung
segala yang terselubung

gaungmu Sinabung
bersabung
bersinambung
membawa surat Sang Agung
murkamu Sinabung
melempar abu gunung
padamu kelu berselindung
menyelipkan rundung di dua ujung

Tuan
Tuhan
di telingamu
di telinga-Mu
suara-suara menggarung

Tuan
Tuhan
di tanganmu
di tangan-Mu
nyawa-nyawa menggantung
—————————
zoel z’anwar

HL Kompasiana 25.11.2013
sumber gambar

Sikap Sastrawan terhadap Kebijaksanaan Pemerintah dalam Masalah Kesusastraan


[Ditulis oleh: A.A. Navis, 18 November 2013]

Agaknya nasiblah bagi Bangsa Indonesia menjadi bangsa beringas, suka mengamuk dan suka mengeroyok. Dalam sejarah politik, Belanda menamakannya amouk partij. Misalnya tahun 1918 dimulai dari Solo, lalu meruyak ke seluruh Jawa terjadi pengamukan pribumi atas Cina. Peristiwa semacam terus berulang sampai tahun-tahun kemarin ini. Dalam ukuran yang lebih kecil ialah pengamukan penduduk asli terhadap perantau. Atau suatu golongan profesi terhadap golongan profesi lainnya.
Di Sumatera, pengamukan dan pengeroyokan juga terjadi dalam sejarah. Pada tahun 1946, saat-saat permulaan revolusi, orang bersenjata mengeroyok kaum bangsawan Sumatera Timur. Puluhan keluarga terbunuh. Termasuk “raja penyair” Amir Hamzah. Peristiwa pengamukan itu tercatat dengan rasa bangga dalam buku sejarah sebagai “revolusi sosial”. Di Sumatera Barat pengeroyokan itu lebih ganas terhadap orang komunis pada peristiwa G-30-S. Beberapa bus dicarter oleh para perantau untuk pulang beramai-ramai dengan tujuan balas dendam.

Perilaku suka mengamuk atau mengeroyok itu selalu oleh orang banyak yang merasa kuat terhadap orang yang lemah dan sedikit jumlahnya. Pengeroyokan terhadap orang yang lebih kuat, apalagi terhadap pemerintah yang berkuasa, tidak bakal terjadi di Indonesia. Dalam sejarah politik, orang Belanda berpendapat bahwa di Indonesia tidak pernah akan terjadi pemberontakan. Kalau terjadi semangatnya tidak lain daripada amouk partij, mudah dan cepat bisa dipatahkan. Revolusi di Indonesia dimulai bukan oleh pemberontakan, melainkan karena pemerintahan sedang vakum. Abang becak terkenal beringas kalau anggotanya terinjak oleh segelintir orang. Namun ketika pemerintah mendekritkan daerah “bebas becak” total pada sebuah kota, abang becak hanya pasrah. Oleh karena abang becak merasa posisinya lemah dan pemerintah begitu kuat.

Dalam perilaku sosial ataupun individual “penyakit keroyok-mengeroyok” itu kian sering kambuh pada masyarakat kita dalam bentuk beraneka ragam. Ada banyak kasus perempuan dikeroyok oleh banyak laki-laki gatal; ada pezina ditelanjangi ramai-ramai lalu diarak di sepanjang jalan, ada tukang santet dirajam ramai-ramai, ada tentara mengeroyok polisi dan ada polisi mengeroyok rakyat.
Semua kasus pengamukan atau pengeroyokan itu bukan masalah buta atau melek hukum. Melainkan masalah tradisi, masalah budaya. Dan bangsa yang suka mengamuk atau mengeroyok itu adalah kita, termasuk pejabat pemerintah, apapun pangkat dan jabatannya.


Pengeroyokan atas Kesusastraan
Posisi kesusastraan di Indonesia sama saja dengan posisi makhluk yang lemah. Makhluk yang empuk dikeroyok oleh siapa saja. Oleh pemerintah, oleh kelompok masyarakat, oleh murid sekolah atau mahasiswa, oleh individu termasuk oleh kritisi dan redaksi mass media, oleh penerbit dan juga oleh sarjana sastra.

Pada zaman demokrasi liberal, seorang teman saya menulis kritik atas suatu pertunjukan sandiwara suatu SMA dalam koran “Haluan” Padang. Malamnya waktu teman saya itu baru saja keluar dari bioskop, dia dikeroyok sampai babak-belur. Tidak ada orang membelanya, karena posisi teman saya itu lemah. Pimpinan koran itupun tidak, karena takut dikeroyok pula. Cerita pendek saya yang berjudul “Man Rabbuka” diprotes lisan oleh seorang pembaca. Esok harinya redaktur koran itu menyatakan bahwa cerpen itu dianggap tidak ada saja, dan redaksi meminta maaf ke seluruh pembacanya. Coba berani-berani tidak minta maaf.

Pada zaman Demokrasi Terpimpin, kantor majalah “Sastra” di Jakarta dikeroyok karena memuat cerpen “Langit Makin Mendung” dan H.B.Jassin, penanggung jawab redaksinya dihukum oleh Pengadilan Negeri. Banyak karya sastra dilarang beredar karena pengarangnya dinilai “Nekolim”. Sebaliknya buku “Di Luar Dugaan” dan “Isteri Seorang Sahabat” karya Soewardi Idris ditarik dari peredaran oleh penerbitnya sendiri, karena diprotes oleh orang-orang PRRI setelah mereka kalah perang. Kemudian setelah Demokrasi Terpimpin tumbang dan digantikan oleh Orde Baru, semua karya sastrawan yang terlibat G30S dilarang beredar. Dalam hal larang melarang sikap pemerintah Orde Lama dengan Orde Baru sama saja. Namun pemerintah Orde Baru lebih berlebihan tindakannya. Karena orang yang mengedarkan buku terlarang karya Pramudya Ananta Toer bisa dipenjarakan karena dituduh subversi. Sedangkan pengarangnya sendiri tidak diapakan. Pada zaman penjajahan Belanda, sastrawan Maisir Thaib menulis novel “Ustaz A. Ma'syuk”. Ulama tarekat memprotes pakai rapat umum segala. Pemerintah akhirnya melarang buku itu beredar, tapi tidak menyitanya. Tidak ada gerombolan yang mengobrak abrik kantor penerbit buku, Maisir Thaib pun menulis buku lain yang berjudul “Mr. Leider Semangat”. Ia terkena delik dan dipenjarakan, bukunya disita. Tapi penerbitnya boleh jalan terus. Saya tidak tahu sebuah buku tertimpa nasib malang dewasa ini, apakah penerbitnya bisa jalan terus? Apakah Hasta Mitra yang menerbitkan Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer yang dilarang beredar itu masih hidup? Yang saya tahu pasti, apabila koran atau majalah memuat artikel yang tidak disukai, maka pemerintah segera mencabut izin usaha penerbitannya, tanpa melalui hukum di pengadilan. Artinya tidak ada hak untuk membela diri.

Nampaknya pemerintah Indonesia bertindak lebih efektif dan lebih radikal dari pada pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda memenjarakan pengarang yang terkena delik melalui proses pengadilan, bukunya disita, tapi penerbitnya bisa jalan terus. Pemerintah Orde Lama bertindak lebih sengit. Penerbit bisa ditutup, pengarang dipenjarakan tanpa diadili dan kantor penerbit boleh diobrak-abrik massa.
Di kota kelahiran saya, 60 tahun yang lalu, para ulama setempat sangat risau melihat aktivitas mubaligh Ahmadiyah. Ayah Hamka, Syekh Karim Amrullah menantangnya berdebat di depan umum dalam gedung bioskop. Sepuluh tahun yang lalu Nazwar Sjamsu menulis buku agama. Ulama di Sumatera Utara ribut-ribut dan Jaksa Tinggi di sana mengeluarkan perintah sitaan. Sedangkan di Sumatera Barat sendiri, tempat Nazwar Sjamsu berada, para ulamanya tenang-tenang saja. Ulama di sana mengatakan: “Jika buku Nazwar Sjamsu itu tidak benar, tulislah buku yang benar.” Tapi sekitar sebulan lalu MUI Sumatera Barat mengeluarkan fatwa, bahwa Darul Arqam dinyatakan sebagai aliran sesat supaya dilarang di Sumatera Barat. Pemerintah setuju. Di sini terlihat, bahwa masyarakat dan pemerintah di daerah saya, sudah mulai bersikap di bawah garis intelektual. Lembaga ijtihad dalam Islam sudah mati. Mungkin jadi ulama setempat telah sangsi akan kebenaran ilmunya, maka mereka cemas pada perkembangan Darul Arqam. Karena tidak ada buku atau tulisan diterbitkan MUI, masyarakat tetap tidak tahu tentang apa yang menyimpang pada ajaran Darul Arqam itu. Kepada umat tetap dipupuk sikap: “Percaya sajalah kepada ulama”. Ada perbedaan tabiat ulama masa penjajahan dengan masa merdeka yang demokratis dimana pendidikan tinggi telah memproduk ribuan ilmuwan.

Sikap Apa yang Dapat Dilakukan Sastrawan
Jika pemerintah dan masyarakat suka main keroyok atau larang-melarang apa yang dapat dilakukan oleh sastrawan apabila karyanya terkena larangan? Ke mana sastrawan mengadu dan menyampaikan bandingan, baik secara hukum atau ilmiah?

Jika dilihat pada gejalanya pertumbuhan dan perkembangan kesusastraan menjadi kerdil. Yang berkembang pesat dewasa inilah ialah kritik dan ilmu sastra. Sekurang-kurangnya telah lahir 500 sarjana sastra setiap tahun. Apa yang dilakukan mereka ini untuk membela kepentingan kesusastraan? Dari 500 orang ini mungkin hanya 1 atau 2 saja yang jadi pakar, sedangkan yang lain jadi parasit sastra, yang kerjanya hanya mengutik-utik karya yang itu-itu saja tanpa kemampuan mengembangkan aspresiasi kepada masyarakat.
Saya pikir, ribuan sarjana sastra yang telah diproduk dengan biaya mahal itu hanyalah menjadi orang-orang yang mubazir. Ilmu yang diperolehnya tidak bermanfaat bagi dirinya sendiri, apalagi bagi orang lain dan bagi sastrawan.

Kesusastraan Indonesia nampaknya menjadi makhluk lemah di tanah airnya sendiri. Karena itu dia senantiasa terkena tradisi keroyokan semua pihak. Pemerintah tidak menyukai suburnya kesusastraan, seperti sesubur pertumbuhan bidang komersial. Redaktur mass media lebih merasa aman menjadi lembaga sensor karya sastra, supaya lapangan hidupnya tidak tergusur. Kritikus, sarjana dan lembaga perguruan tinggi sastra lebih suka mengebiri intelektualitas demi keamanan profesi mereka. Mereka seperti kehilangan nyali untuk menyampaikan kebenaran ilmiah.

Sebagai sebuah paduan suara, mereka sama berkata bahwa kesusastraan Indonesia terpencil, dan dalam nyanyian refreinnya dikatakan bahwa sastrawan sebagai orang-orang yang di atas awan. Tidak ada yang mengatakan kenapa begitu. Dan lebih tidak ada lagi yang mengatakan bagaimana supaya tidak begitu.
Menurut saya, mental serta moral kritikus dan sarjana sastra Indonesia pun sedang berada di bawah garis intelektual. Mereka seolah-olah tidak mau mengangkat masalah yang paling esensial, untuk menanyakan kenapa kesusastraan kian menjadi kerdil. Mereka menjadi bisu untuk membicarakan karya sastra yang dilarang, seperti karya Pramudya atau Utuy yang klasik, yang terbit sebelum mereka ikut Lekra. Berapa banyak kritikus atau sarjana sastra telah menjadi orang sekapal dengan para penerbit yang tahu diri, sama ikut aktif menyensor sendiri apa yang boleh atau tidak boleh diungkapkan, agar hidup bisa selamat dunia dan akhirat. Dengan demikian mereka sesungguhnya telah ikut serta membunuh kreativitas. Berpihak atau setidak-tidaknya memberi toleransi terhadap kebijaksanaan pemerintah yang keliru. Mereka sama membiarkan saja nasib yang menimpa kesusastraan sebagai objek keroyokan. Seolah-olah kreativitas dan kesusastraan Indonesia menjadi persoalan sastrawan semata, bukan masalah kebudayaan. Padahal kritikus dan sarjana sastra telah lebih banyak mengecap manfaat karya sastra itu daripada pengarangnya sendiri, baik moril ataupun materil.

Penutup
Karya sastra dewasa ini cenderung melukiskan hal yang abstrak atau imajinatif atau dengan simbol-simbol yang eufemisme, agar lolos sensor penerbit. Semua tahu, bahwa karya sastra bukan diciptakan sebagai barang yang ganjil difungsikan sebagai objek studi atau disimpan dalam rak buku perpustakaan. Padahal padanya senantiasa ada sesuatu yang disampaikannya, yang sangat esensial dari sastrawan sebagai manusia berakal budi. Karya sastra tidak terlepas dari ungkapan refleksi batin sastrawan tentang masalah manusia dan kemanusiaan. Namun para pakar sastra tidak membicarakannya secara gamblang dan kritis. Kalaupun mereka bicara, mereka bicara samar-samar dengan memakai istilah yang eufemistis. Bahasa yang lazim digunakan oleh politisi atau pejabat negara masa kini. Sehingga sastra kian tidak dipahami.

Menurut saya, pemerintah telah melakukan banyak tindakan dan kebijaksanaan yang keliru terhadap kesusastraan. Siapa yang mesti memberitahukan itu kepada pemerintah? Apakah sastrawan saja? Apakah kritikus sastra yang telaahannya sangat kritis atau sarjana sastra yang memperoleh kredibilitas sebagai pakar yang diakui oleh negara? Ataukah kita sama sepakat membiarkan pemerintah terus terperosok dalam kekeliruan dan kesalahan? Ataukah kita sama-sama membiarkan diri kita sebagai pengecut atau munafik?*

Sumber tulisan: http://horisononline.or.id/esai


Esai: Sastra Indonesia Mutakhir : Jejak Historis dan Kecenderungan Estetiknya


| Ditulis oleh Jamal T. Suryanata |

Memperbincangkan ihwal sastra Indonesia mutakhir, sebagai suatu tema besar, tentu saja bukan sebuah persoalan yang tanpa risiko. Di samping karena begitu luasnya cakupan pengertian “sastra Indonesia” itu sendiri, juga dilantarankan oleh ketakrifan istilah “mutakhir” yang digunakan dalam judul tulisan ini memang cenderung bermakna bias (baca: bersifat deiktis). Oleh karena itu, sekadar upaya penyederhanaan konseptual, istilah “sastra Indonesia” dalam konteks ini hanya akan merujuk pada karya-karya sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia; sedangkan istilah “mutakhir” lebih dimaksudkan untuk menunjuk perkembangan sastra Indonesia sepanjang lebih-kurang sepuluh tahun terakhir, sejak memasuki tahun 2000 hingga sekarang (dekade pertama abad ke-21). [1]

Akan tetapi, dengan pembatasan semacam itu tidaklah berarti bahwa perkembangan sastra Indonesia pada masa-masa sebelumnya praktis akan kehilangan relevansinya. Bahkan, untuk memulai diskusi ini saya akan banyak menyinggung perkembangan sastra Indonesia di penghujung abad ke-20 melewat. Sebab, bagaimanapun, perjalanan sejarah adalah sebuah mata rantai yang sambung-sinambung dan senantiasa bersifat dialektis. Sastra Indonesia terkini tidak akan pernah ada tanpa melalui proses sejarah yang panjang sejak lahirnya karya-karya sastra Nusantara klasik yang hidup dan berkembang dalam tradisi lisan di abad-abad silam. Sastra Indonesia terkini adalah anak-anak yang dibesarkan oleh tradisi sastra sebelumnya. Sastra Indonesia abad ke-21 adalah warisan langsung dari tradisi sastra Indonesia abad ke-20 yang lalu.

Selain itu, mengingat betapa luas dan beragamnya pemahaman atas konsep sastra, di sini juga perlu diberikan batasan yang lebih jelas mengenai genre sastra yang hendak dijadikan pokok masalahnya. Maka, dengan pertimbangan praktis saja, dalam pembicaraan ini saya hanya akan menyinggung perkembangan dua genre sastra kreatif, yakni puisi (sajak) dan fiksi (cerita rekaan). Sebab, pada kenyataannya, kedua ragam inilah yang selama ini paling pesat perkembangannya dalam lingkungan pembaca sastra Indonesia modern sebagaimana telah ditunjukkan oleh tingginya tingkat frekuensi pembicaraan tentangnya di banyak media dan penerbitan di negeri ini hingga sekarang. Sementara, kendati dari tahun ke tahun karya-karya drama juga tetap ditulis orang, tetapi lantaran proses kreatif penulisannya yang pada umumnya terbatas hanya untuk kepentingan pementasan (teater), hal ini sungguh menyulitkan cara kerja seorang pengamat atau kritikus sastra untuk dapat melacaknya secara relatif lengkap.

Kalaulah acuan kita terbatas pada karya-karya drama yang diterbitkan dalam bentuk buku, misalnya, hingga sekarang hanya sedikit buku drama yang telah diterbitkan dan beredar di pasaran. Bahkan, jika kemudian kita ingin menjadikan faktor ketokohan para dramawan (baca: penulis naskah drama) sebagai patokan tentunya juga hanya sedikit nama yang bisa disebutkan —umumnya terbatas pada nama-nama yang sudah sangat populer dalam kancah drama dan teater di tanah air selama ini (antara lain Arifin C. Noer, N. Riantiarno, W.S. Rendra, Putu Wijaya, Emha Ainun Nadjib, atau Remy Silado). Padahal, pada kenyataannya pula, hampir di setiap daerah di Indonesia ada saja kelompok-kelompok teater yang aktif dan bahkan secara ajek melakukan pementasan drama —baik mementaskan naskah sendiri maupun bertotak dari naskah orang lain.

/ 2 /
Jika pembicaraan sastra Indonesia mutakhir ini kita mulai dari genre puisi, tak dapat disangkal bahwa sejak pertengahan tahun 1980-an hingga ke penghujung tahun 1990-an yang lalu peta estetika perpuisian Indonesia modern tampak lebih didominasi oleh sosok kepenyairan Afrizal Malna. Dalam konteks ini tentu bukan maksud saya untuk membesar-besarkan nama Afrizal, tetapi pada kenyataannya selama rentang waktu tersebut memang ada kecenderungan bahwa estetika perpuisian yang dibawanya telah menjadi semacam acuan kolektif (kalau bukan menjadi “kiblat” utama), khususnya di kalangan penyair muda (apalagi masih berkategori pemula) yang hingga beberapa waktu kemudian masih saja menjadi para epigon dan tetap berada di bawah bayang-bayang trend “Afrizalian” —demikian gejala perpuisian Indonesia kontemporer ini sering disebutkan, baik dengan konotasi pujian maupun bernada ejekan.

Diakui atau tidak, sepanjang dekade 90-an, sosok kepenyairan Afrizal Malna yang sisa-sisa pengaruhnya bahkan masih terasa sampai sekarang memang telah menjadi sebuah fenomena baru dalam jagat sastra di tanah air. Pembaruan estetika perpuisian yang dibawanya barangkali dapat disetarakan dengan dobrakan-dobrakan estetik yang dulu pernah dilakukan Amir Hamzah (1930-an), Chairil Anwar (1940-an), atau Sutardji Calzoum Bachri dan Sapardi Djoko Damono (1970-an). Sajak-sajaknya —yang gelap maupun yang terang, yang pedih maupun yang riang— bukan saja dianggap telah memberikan kesegaran dan wawasan estetik baru (yang sekaligus telah menempatkan dirinya sebagai pemimpin literer perpuisian Indonesia pada masanya), melainkan juga telah berhasil mengangkat dan meramu dunia benda menjadi sesuatu yang berjiwa dengan penuh vitalitas.[2]

Gaya pengucapannya yang khas merepresentasikan kegamangan antroposentrisme manusia urban di tengah gebalau peradaban postmodern itu secara konsisten diusungnya hingga sekarang, sebagaimana tampak dalam beberapa kumpulan sajaknya; mulai dari Abad yang Berlari (1984), Yang Berdiam dalam Mikropon (1990), Arsitektur Hujan (1995), Kalung dari Teman (1999), sampai Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing (2002).[3]

Lantaran kebaruan bahasa dan pengucapan estetiknya itulah hingga Korrie Layun Rampan pernah menyimpulkan bahwa puncak pencapaian estetik dalam mainstream perpuisian Indonesia terkini (yang diproklamirkannya sebagai Angkatan 2000 itu) secara monolit jatuh pada sajak-sajak Afrizal Malna.[4]

Pada paro kedua dekade 90-an yang lalu, seorang penyair muda yang dapat dianggap sebagai tipikal epigon gaya kepenyairan Afrizal Malna (baca: Afrizalian) adalah T. Wijaya —sebagaimana tampak dalam dua kumpulan puisinya, Krisis di Kamar Mandi (1995) dan Dari Pesan Nyonya (1996). Kecuali penyair kelahiran Palembang (25 Desember 1970) tersebut, tentu saja masih ada sederet nama lain yang secara langsung maupun tidak telah ikut terhanyut dalam kecenderungan (trend) serupa. Namun demikian, kendati gaya Afrizalian itu cukup dominan mewarnai estetika perpuisian Indonesia mutakhir, tidaklah berarti semua penyair muda telah secara latah menjadi epigon-epigon Afrizal pula.

Sejumlah penyair lain, baik yang sudah eksis sejak dasawarsa 80-an —antara lain mereka yang telah “dilegitimasi” melalui Forum Puisi Indonesia ’87 (1987)— maupun yang baru berkiprah sejak dekade 90-an atau awal tahun 2000-an —antara lain mereka yang telah “dibaptis” melalui perhelatan akbar Mimbar Penyair Abad 21 (1996) dan Cakrawala Sastra Indonesia (2005)— sebagian besar tampaknya justru sudah mampu memperlihatkan jatidiri kepenyairannya masing-masing. Dari kalangan yang lebih senior dapat disebutkan, misalnya, nama-nama Isbedy Setiawan ZS, Ahmad Nurullah, Ahmadun Y. Herfanda, Radhar Panca Dahana, Sitok Srengenge, Remmy Novaris DM, Acep Zamzam Noor, Soni Farid Maulana, Mathori A. Elwa, Ahmad Subhanuddin Alwy, Gus tf, Beni Setia, Wahyu Prasetya, Agus R. Sarjono, Nirwan Dewanto, Saut Situmorang, Jamal D.

Rahman, Tjahjono Widarmanto, Dorothea Rosa Herliany, Abidah el-Khalieqy, Ulfatin Ch., juga Ajamuddin Tifani dan Eza Thabry Husano (sebelum keduanya meninggal), Burhanuddin Soebely, Micky Hidayat, Maman S. Tawie, Tarman Effendi Tarsyad, dan Arsyad Indradi —untuk menyebut beberapa di antaranya. Lalu, dari generasi selanjutnya (berdasarkan awal kiprah kepenyairannya) dapat disebutkan nama-nama Cecep Syamsul Hari, Joko Pinurbo, Abdul Wachid BS, Dimas Arika Mihardja, Arif B. Prasetyo, Iyut Fitra, Ari Setya Ardhi, Adri Sandra, Aslan Abidin, Amien Wangsitalaja, Wowok Hesti Prabowo, HU Mardiluhung, Endang Supriadi, Kurnia Efendi, Putu Fajar Arcana, Warih Wisatsana, Tan Lioe Ie, Yusrizal KW, Kusprihyanto Namma, Panji Utama, ES. Wibowo, Moh. Wan Anwar (sebelum meninggal), Raudhal Tanjung Banua, Marhalim Zaini, Hasan Aspahani, Ahda Imran, Ali Syamsudin Arsi, Oka Rusmini, Nenden Lilis A., Nur Wahida Idris, Arini Hidajati, Pranita Dewi, Hudan Nur, dan sederet nama lagi —juga sekadar menyebut nama beberapa saja.[5]

Bertolak dari sederet nama di atas, tentu saja dengan memperhitungkan kecenderungan umum dan karakteristik karya mereka masing-masing, maka untuk memetakan secara hitam-putih kecenderungan estetik atau gaya perpuisian dalam ekologi kepenyairan Indonesia terkini jelas merupakan sesuatu yang sangat muskil (kalau bukan mustahil). Dalam konteks pemetaan teoretis-historis, sekali lagi dengan mempertimbangkan kian tingginya kompleksitas kecenderungan estetik tersebut, keinginan untuk bertindak objektif (apalagi bertendensi sebagai seorang perfeksionis) dalam kondisi chaos demikian pada akhirnya akan dapat menjebak kita ke dalam perangkap labirin sehingga hanya akan menghasilkan simpulan-simpulan prematur atau bahkan terasa kedodoran. Sebab, pada kenyataannya, kecenderungan estetik dalam karya-karya mereka sudah demikian variatifnya, lengkap dengan segala corak dan warnanya. Di situ ada sajak-sajak bergaya liris, prosais, imagis, religius, sufistik, balada, kocak, penuh kritik sosial, dan entah apalagi namanya setelah kita temukan karya-karya yang mungkin bersifat eksperimental.[6]
Upaya pemetaan estetika perpuisian Indonesia mutakhir ini lebih-lebih akan menjadi semakin rumit jika memperhitungkan pula —memang begitulah seharusnya— karya-karya para penyair yang lebih senior lagi (sebut saja para penyair gaek) yang ternyata masih tetap eksis berkarya dalam sepuluh tahun terakhir; semisal Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono, D. Zawawi Imron, Goenawan Mohamad, Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabbar (sebelum meninggal), A. Mustofa Bisri, Abdul Hadi WM, Mochtar Pabottingi, dan sejumlah nama lagi. Dengan mempertimbangkan banyak sisi, betapa tingkat hiterogenitas kecenderungan estetik perpuisian Indonesia terkini tampak menjadi semakin kompleks saja dan pada akhirnya memang mustahil untuk dapat dipetakan secara objektif dan komprehensif. Oleh karena itu, persoalannya sekarang bukan lagi pada keharusan upaya pemetaan teoretis-determinatifnya, melainkan lebih pada usaha-usaha ekstensifikatif maupun intensifikatif dalam rangka peningkatan apresiasi sastra di tengah masyarakat Indonesia yang tidak melek sastra.

/ 3 /
Ketika perbincangan selanjutnya kita fokuskan pada ragam fiksinya, pada kenyataannya kita pun akan menemui fenomena yang tidak jauh berbeda dengan perkembangan yang telah dicapai dalam dunia perpuisiannya. Dalam satu dasawarsa terakhir ini, betapa kita sudah dihadapkan pada suasana yang sangat riuh oleh munculnya begitu banyak karya fiksi (khususnya dalam bentuk novel dan cerpen) yang ditandai dengan semakin tingginya tingkat kebebasan berekspresi, dengan segala kekhasan dan keragamannya, juga dengan segala risiko sosiokultural maupun sosiopsikologisnya yang mungkin ada —tentu saja kalau kita memang meyakini bahwa kehadiran sebuah karya sastra akan membawa pengaruh yang signifikan terhadap dinamika sosial dalam suatu lingkungan masyarakat pada zamannya masing-masing.

Fiksi Indonesia mutakhir juga menyiratkan sebuah dunia yang kompleks, sebagaimana sebuah taman dengan areal yang luas serta ditumbuhi beragam jenis dan warna bunga dari spesis yang berbeda. Kompleksitas itu bukan saja tampak pada keragaman tema-tema yang ditawarkan, melainkan juga dalam gaya bahasa, teknik bercerita, dan corak pengungkapannya. Kemudian, sebagaimana juga terjadi dalam dunia perpuisian, karya-karya fiksi Indonesia mutakhir pun ternyata tidak melulu dihasilkan oleh para penulis muda atawa pendatang baru (new comers). Sebab, pada kenyataannya, cukup banyak novel dan kumpulan cerpen yang diterbitkan dalam beberapa tahun belakangan (apalagi jika rentang waktunya diperluas hingga ke tahun-tahun 1990-an) justru terlahir dari tangan pengarang-pengarang senior semisal Y.B. Mangunwijaya, Remy Sylado, Abrar Yusra, Suparto Brata, Putu Oka Sukanta, Hamsad Rangkuti, Umar Kayam, Budi Darma, Danarto, Kuntowijoyo, Putu Wijaya, Sapardi Djoko damono, Ahmad Tohari, Korrie Layun Rampan, Ediruslan Pe Amanreza, Harris Effendi Tahar, N.H. Dini, atau Titis Basino P.I. Selain mereka, kita juga masih bisa melihat produktivitas Seno Gumira Ajidarma, Taufik Ikram Jamil, Jujur Prananto, Yanusa Nugroho, Bre Redana, Gus tf Sakai, Agus Noor, Triyanto Triwikromo, Afrizal Malna, Esbedy Setyawan ZS, Martin Aleida, Herleno Soleman, Ratna Indraswari Ibrahim, dan lain-lain.

Selanjutnya, setidaknya sejak akhir dekade 90-an atau awal tahun 2000-an, muncul pula wajah-wajah baru yang lebih didominasi oleh para pengarang perempuan muda semisal Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Dinar Rahayu, Fira Basuki, Dee, Ani Sekarningsih, Clara Ng., Linda Christanty, Dewi Sartika, Lan Fang, Yetti A. KA., Ratih Kumala, di samping Naning Pranoto, Abidah el-Khalieqy, Oka Rusmini, Nenden Lilis Aisyah, Helvy Tiana Rosa, dan Asma Nadia. Kecuali mereka, tentu saja kita tidak boleh melupakan pengarang-pengarang berbakat lainnya seperti Joni Ariadinata, Andrea Hirata, Indra Tranggono, Agus Vrisaba, Puthut E.A., Yusrizal K.W., Marhalim Zaini, Eka Kurniawan, Zen Hae, Raudal Tanjung Banua, Sunlie Thomas Alexander, Wayan Sunarta, Sandi Fily, Hajriansyah, dan Harie Insani Putra yang rata-rata kelahiran antara tahun 1960-an hingga 1980-an. Namun begitu, pada kenyataannya tidak semua penulis fiksi Indonesia mutakhir berhasil menerbitkan karya-karya mereka dalam bentuk buku (karya tunggal), khususnya untuk genre cerpen. Hanya segelintir pengarang yang beruntung dapat menerbitkan buku mereka, baik dengan prosedur penerbitan formal-konvensional maupun secara swakelola (self-publishing).

Sepanjang dekade pertama tahun 2000-an ini, beberapa fenomena menarik yang dapat saya catatkan dari perkembangan fiksi Indonesia mutakhir, antara lain munculnya suatu fenomena yang dengan konotasi tertentu sering disebut “sastrawangi”. Kemunculan gejala baru yang kontroversial ini agaknya dipicu oleh terbitnya karya-karya fiksi beraroma seksual dari tangan segelintir pengarang perempuan muda (dengan konotasi cantik, seksi, berpendidikan tinggi, dan bergaya hidup metropolis). Kemunculan gejala ini terutama ditandai dengan terbitnya novel Saman (Ayu Utami, 1998), kemudian disusul Larung (Ayu Utami, 2001), Ode untuk Leopold von Sacher-Masoch (Dinar Rahayu, 2002), Tujuh Musim Setahun (Clara Ng.), Dadaisme (Dewi Sartika, 2004), Nayla (Djenar Maesa Ayu, 2005), juga kumpulan cerpen Mereka Bilang, Saya Monyet! (Djenar Maesa Ayu, 2002), Jangan Main-main (dengan Kelaminmu) (Djenar Maesa Ayu, 2004), dan Cerita Pendek tentang Cerita Cinta Pendek (Djenar Maesa Ayu, 2006).

Karya-karya tersebut sempat menimbulkan pro-kontra di kalangan pembaca maupun para pengamat dan kritikus sastra kontemporer di tanah air, setidaknya sepanjang tahun 2002—2005. Sebab, kecuali dari satu sisi dipandang telah memberikan kesegaran baru dalam estetika sastra (fiksi) Indonesia (baik dari segi teknik bercerita maupun sentuhan stilistiknya), di sisi lain kontroversi itu terutama disulut oleh keberanian para pengarangnya dalam “dobrakan radikal” mereka mengungkapkan ketabuan dan keliaran seksual secara gamblang, tanpa tedeng aling-aling, dan terasa sangat vulgar sehingga cenderung menjurus pada pornografi.[7]

Kendati persoalan seks dalam sastra Indonesia bukanlah sesuatu yang baru, tetapi dibandingkan dengan para pengarang pendahulunya (khususnya N.H. Dini dengan dua novelnya, Namaku Hiroko dan Pada Sebuah Kapal), kelompok penulis sastrawangi ini tampak lebih berani dalam hal “menelanjangi” tubuh mereka sendiri, tak terkecuali “melumat-lumat” kebugilan tubuh lawan jenisnya. Mereka, agaknya sekadar ingin berbeda dan mencari sensasi, dengan sengaja mengeksploitasi kata-kata yang menurut ukuran moral seharusnya tidak diungkapkan secara vulgar —antara lain (maaf): penis, zakar, kontol, klentit, atau vagina. Di satu pihak, oleh beberapa pengamat yang mendewa-dewakan nilai seninya —l’art pour l’art (baca: sastra untuk sastra)— karya-karya tersebut dipandang sebagai suatu kemajuan dalam perkembangan estetika sastra Indonesia atau seni-budaya pada umumnya. Namun, di lain pihak, bagi kaum moralis (agamis) karya-karya demikian dinilai sebagai karya antimoral dan bahkan kurang-ajar karena telah melanggar wilayah sakral manusia yang seyogianya ditabukan. Sebab, dengan segala ketelanjangannya itu, karya-karya jenis ini dinilai dapat meruntuhkan tatanan moral bangsa, terutama di kalangan generasi muda.[8]

Kecuali trend sastrawangi yang lumayan menghebohkan itu, fenomena lainnya yang tampak mulai merasuki dunia fiksi Indonesia terkini adalah masuknya ikon-ikon teknologi informasi mutakhir semacam internet dan telepon genggam yang menjadi bagian integral dalam membangun makna sebuah karya sastra. Terlepas dari soal pro-kontra ihwal muatan seksualitasnya yang cenderung antimoral itu, pada beberapa halaman penutup novel Saman, misalnya, Ayu Utami dengan lincahnya mengeksplorasi dialog antartokoh (antara Saman dan Yasmin) dengan memanfaatkan surat elektronik (e-mail, salah satu fasilitas internet) sebagai media komunikasi. Sementara, pemanfaatan handphone dengan fasilitas short message system (sms)-nya antara lain telah dieksplorasi Djenar Maesa Ayu dalam cerpen bertajuk “SMS”.

Dalam kajian sosiologi sastra, munculnya gejala semacam ini dipandang sebagai salah satu penanda atau merupakan representasi kemajuan peradaban yang telah dicapai manusia pada masa penciptaannya; bahwa karya-karya sastra pada dasarnya dapat diposisikan sebagai artifak kebudayaan yang relatif mampu mencatat atau merefleksikan kondisi zamannya sehingga pada akhirnya ia dapat berfungsi sebagai sejarah alternatif, di samping fungsi karya sejarah dalam arti sebenarnya. Dengan begitu, dalam konteks ini, teori sosiologi sastra yang memandang sastra sebagai cermin masyarakat (sebagaimana yang dikemukakan Ian Watt, misalnya) tampak menjadi kian jelas relevansinya.

Kemudian, hampir bersamaan dengan munculnya fenomena sastrawangi, satu gejala lagi yang dipandang telah memberi warna tersendiri dalam perjalanan sastra Indonesia mutakhir adalah munculnya karya-karya ”fiksi religius” (baca juga: fiksi Islami). Kecenderungan baru genre fiksi yang dikononkan sebagai karya-karya sastra ”pembangun jiwa” ini pada awalnya digagas dan dimotori oleh Helvy Tiana Rosa (kemudian bersama Asma Nadia dan kawan-kawan) melalui Forum Lingkar Pena (FLP) yang pernah dirintis dan diasuhnya. Munculnya gejala ini, pada tataran tertentu, boleh jadi merupakan upaya penyeimbang (balancer) atau sebagai budaya tanding atas dominasi karya-karya bercorak seksual ala sastrawangi yang cukup menghebohkan lantaran “kegenitan estetik”-nya itu. Melalui lembaga yang merupakan sebuah jaringan (network) besar itulah —karena kini telah memiliki banyak cabang di berbagai daerah di Indonesia— para pengarang muda banyak bermunculan dari komunitas ini, bahkan sudah melahirkan puluhan novel maupun kumpulan cerpen (remaja) Islami.
Dalam karya-karya mereka, unsur dakwah agama (baca: Islam) dan upaya penyadaran moral memang sangat menonjol (kalau bukan sebagai tujuan utama), tanpa harus terjerumus ke dalam propaganda yang terlampau tendensius. Kelompok pengarang fiksi religius ini pada umumnya lebih banyak mengeksplorasi persoalan kehidupan remaja yang secara psikologis masih dalam kondisi labil, tetapi nyaris selalu digambarkan sukses dalam menghadapi problem yang mereka alami. Dalam kaitan ini, agama dihadirkan sebagai pembuka jalan dan sekaligus sebagai pemecahan masalah. Sementara itu, dalam hal usaha penerbitan karya, mereka telah melakukan kerja sama (secara simbiosis-mutualis) dengan beberapa penerbit yang secara ideologis tentunya juga memiliki visi yang sama dengan kelompok penulis sastra Islami ini (semisal DAR Mizan, Syaamil, Naviri, dan Inisiasi Press).

Sejak genre sastra Islami digagas dan dipopulerkan oleh FLP, pada tahun-tahun berikutnya tampak semakin marak bermunculan karya-karya sastra serupa (novel dan cerpen Islami) dari tangan para pengarang di luar lingkaran FLP sendiri. Bahkan, di penghujung dasawarsa pertama tahun 2000-an yang baru saja berlalu, sastra Islami boleh dikata merupakan sebuah trend baru dalam estetika sastra (fiksi) Indonesia mutakhir. Fenomena ini terutama ditandai dengan terbitnya novel Ayat-ayat Cinta (2006) karya Habiburrahman El-Shirazy yang mengalami booming dan sukses luar biasa, lebih-lebih setelah novel ini diangkat ke dalam bentuk film layar lebar. Dalam hal ini, perlu dicatat bahwa kesuksesan keduanya (novel maupun film tersebut) tentu saja bersifat kausal, timbal-balik, dan saling melengkapi.

Kesuksesan Habiburrahman melalui novel Ayat-ayat Cinta-nya ini kemudian segera diikuti oleh sejumlah penulis muda lainnya, baik dari kelompok FLP maupun dari kalangan penulis di luarnya. Sederet nama baru bermunculan, sebagian di antaranya telah tercatat dalam sejarah sastra Indonesia terkini. Namun, kendati berbeda dengan kasus epigonisme gaya Afrizalian (khas estetika kepenyairan Afrizal Malna) dalam jagat puisi Indonesia mutakhir, di sini juga tampak adanya tendensi pengekoran terhadap kesuksesan dan popularitas Habiburrahman dengan Ayat-ayat Cinta-nya. Gejala ini terutama sangat kentara jika kita lihat dari aspek temanya yang cenderung seragam, teknik berceritanya yang hampir selalu mengeksplorasi emosi kesedihan, juga keterikatan kosa kata tertentu pada judul-judul buku yang mereka terbitkan —lihat saja judul-judul buku yang mereka gunakan, pada umumnya selalu memakai kata “cinta” sebagai ikonnya.

Sederet karya (baca: novel) yang —dengan pengamatan sepintas lalu saja sudah dapat diduga— mengikuti trend tersebut (baca: dengan kecenderungan sastra Islami, terutama berkaitan dengan popularitas dan kesuksesan Ayat-ayat Cinta), antara lain Persembahan Cinta Sari Surga (Nurrahman Effendi), Menggapai Sang Cinta (In’am Ibnu Shalih), Jejak Cinta Sang Kiai (Imam Sibawaih El-Hasani), Kisah Cinta Insan dan Kamil (Kinoysan), Kafilah Cinta (Syakaro Ahmad el-Alyyi), Sujudilah Cintamu! (Zhaenal Fanani), Sujud Cinta di Masjid Nabawi (Putri Indah Wulandari), Para Mujahid Cinta (Najieb Kailani), Kelan Cinta Shafiyya (Fitria Pratiwi)), Habib Palsu Tersandung Cinta (Ubay Baequni), Kerudung Cinta dari Langit ke Tujuh (Wahyu Sujana), Ketika Tuhan Jatuh Cinta (Wahyu Sujana), Napas Cinta Para Ahli Doa (Wahyu Sujada), dan  Jazirah Cinta (Randu Alamsyah). —bahkan, tampak ada kecenderungan bahwa Habiburrahman sendiri kemudian ingin mengulang kesuksesan yang pernah diraihnya melalui novel Ayat-ayat Cinta-nya dengan menerbitkan beberapa karyanya yang lain: Di Atas Sajadah Cinta (2004), Ketika Cinta Berbuah Surga (2005), Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2 (2007), Dalam Mihrab Cinta (2007), Bumi Cinta (2010), dan Cinta Suci Zahrana (2010). Kalaupun mereka tidak menggunakan kata “cinta” sebagai bagian judul buku, minimal mereka mengeksplorasi cinta dalam kemasan religius. Dengan demikian, bertolak dari ciri-ciri umum kecenderungan estetiknya, gejala ini boleh dikata sebagai penanda munculnya genre ”fiksi cinta Islami” (kalau bukan trend ”sastra poligami”).[9]

Kecuali ketiga fenomena di atas, perlu saya catatkan pula bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini agaknya telah muncul suatu kesadaran primordial di kalangan pengarang dan pengamat sastra Indonesia melalui gerakan “kembali ke akar tradisi” dengan mengangkat lokalitas sebagai spirit cipta sastra. Kendati harus kita akui bahwa lokalitas (baca: warna lokal) bukanlah suatu persoalan baru dalam sastra Indonesia, semangat ini setidaknya kembali bergema dan kian bergaung luas sejak berlangsungnya perhelatan sastra nasional bernama Kongres Cerpen Indonesia IV di Pekanbaru, Riau (26—30 November 2005) yang memang secara khusus mengusung tema “Ayo, Estetika Lokal!”. Semangat inilah yang hingga terakhir ini terus diusung dan diupayakan aktualisasinya dalam proses kreatif penulisan karya sastra di tanah air.[10]

Pada periode ini, lahirnya novel Laskar Pelangi (2006) dari tangan Andrea Hirata seakan mengukuhkan pernyataan tentang munculnya sebuah kesadaran kolektif pada para penulis fiksi di tanah air akan pentingnya lokalitas untuk menuju sastra Indonesia yang benar-benar berkarakter Indonesia, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh sederet pengarang fiksi Indonesia sebelumnya dengan lokalitasnya masing-masing —antara lain: Pramoedya Ananta Toer, Y.B. Mangunwijaya, Kuntowijoyo, Ahmad Tohari, Saparto Brata (Jawa), Korrie Layun Rampan (Dayak, Kalimantan), Wisran Hadi, Chairul Harun, Darman Moenir, Ediruslan Pe Amanriza, Taufik Ikram Jamil, Gus tf Sakai, Marhalim Zaini (Melayu, Minangkabau), Gerson Poyk, Putu Wijaya, Putu Arya Tirtawirya, Putu Oka Sukanta, dan Oka Rusmini (Lombok, Bali).

/ 5 /
Dalam konteks yang lebih umum, perkembangan sastra Indonesia mutakhir juga ditandai dengan maraknya komunitas-komunitas sastra yang bermunculan di berbagai kota (daerah) di tanah air sejak paro kedua dekade 90-an melewat. Kecuali eksistensi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang sudah dikenal luas sejak puluhan tahun silam, beberapa kelompok yang selama ini pernah giat melakukan berbagai perhelatan sastra —termasuk mengupayakan penerbitan buku-buku sastra secara swakelola— antara lain Komunitas Sastra Indonesia (Jakarta), Forum Sastra Bandung (Bandung), Forum Lingkar Pena (Bandung), Yayasan Indonesia (Jakarta), Yayasan Taraju (Padang), Yayasan CAK (reinkarnasi dari Sanggar Minum Kopi, Bali), Komunitas Rumahlebah (Yogyakarta), Akademi Kebudayaan Yogyakarta (Yogyakarta), dan Paradox Literary Centre (Magelang). Selain itu, khusus dalam bidang cerpen, pada Kongres Cerpen Indonesia V di Banjarmasin (2007) telah dibentuk Komunitas Cerpen Indonesia (KCI) sebagai wahana pertemuan dan dialog antarpengarang (cerpenis) maupun dengan para pemerhati (kritikus) cerpen dari seluruh pelosok tanah air.

Kecuali kian merebaknya komunitas sastra-budaya, dalam sepuluh tahun terakhir ini media massa dan penerbitan sastra pun tampak semakin marak berkembang. Beberapa media penerbitan berkala dan berskala nasional yang cukup respek memberi ruang publikasi untuk karya-karya sastra kreatif di antaranya (koran) Kompas, Media Indonesia, Republika, Jawa Pos, Koran Tempo, Koran Sindo, (majalah bergensi) Horison, Basis, Matra, (majalah alternatif) Kolong, Panggung, Cak, Menyimak, Titik Tolak, Gong, On/Off, Paradox, dan Kindai —di samping beberapa jurnal yang distribusinya lebih terbatas seperti Jurnal Kalam, Jurnal Puisi, Jurnal Prosa, Jurnal Cerpen Indonesia, Jurnal Rumahlebah: Ruangpuisi, Jurnal Srinthil, Jurnal Perempuan, dan Jurnal Kandil (sangat disayangkan, beberapa di antaranya kini sudah tinggal nama).<a>[11]</a> Belum lagi jika pembicaraan kita melibatkan majalah dan jurnal terkait di berbagai perguruan tinggi di tanah air yang terutama memuat ragam karya ilmiah berupa kritik sastra.

Di samping pesatnya perkembangan media penerbitan berkala (media massa cetak pada khususnya), penerbit-penerbit buku (kecil maupun besar, profesional maupun amatir, komersial maupun nirlaba) yang punya kepedulian tinggi terhadap dunia sastra juga mulai menjamur bak cendawan di musim hujan. Dalam sepuluh tahun terakhir ini, sejumlah lembaga penerbitan buku sastra yang cukup prestesius dapat disebut antara lain Gramedia Pustaka Utama, Kepustakaan Populer Gramedia, Grassindo, Bentang Budaya, IndonesiaTera, Buku Kompas, Gama Media, Hasta Mitra, Balai Pustaka, Pustaka Jaya, Pustaka Pelajar, Pustaka Firdaus, Pustaka Sufi, Pustaka Sastra LKiS, Mahatari, Jendela, Jalasutra, Naviri, Akar Indonesia, Frama Publishing, dan beberapa lagi yang kurang populer (beberapa di antaranya juga sudah tinggal nama, termasuk Balai Pustaka).

Kenyataan di atas jelas menunjukkan suatu kemajuan yang sangat berarti dalam perkembangan sastra Indonesia mutakhir. Kemajuan (dalam bidang penerbitan) itu, paling tidak, dapat kita amati dari jumlah buku-buku sastra yang sudah diterbitkan sepanjang dasawarsa pertama abad ini. Kalau kita cermati (terutama dengan melacak buku-buku yang telah beredar di pasaran), sejak awal tahun 2000 hingga sekarang saja agaknya sudah beratus-ratus (kalau bukan ribuan) judul buku sastra yang telah diterbitkan —apalagi jika yang dimaksudkan dengan istilah ”buku sastra” itu bukan hanya mengacu pada genre sastra kreatifnya saja (puisi, cerpen, novel), melainkan juga mencakup bentuk esai dan kritik sastra. Perhitungan ini tentu hanya berpatokan pada jumlah judul buku yang ada, bukan merujuk pada jumlah cetak eksemplar buku-buku berkategori national best-seller (seperti karya-karya Habiburrahman El-Shirazy atau Andrea Hirata).

Perkembangan sastra Indonesia mutakhir yang semakin kondusif seperti sekarang tentu saja juga didukung oleh semakin maraknya berbagai even sayembara penulisan (oleh beberapa media massa maupun lembaga tertentu) dan pemberian penghargaan (juga oleh beberapa media maupun lembaga, baik dari dalam maupun luar negeri) pada karya-karya yang dinilai lebih unggul bobot literer sastranya. Sekecil apa pun peran dan daya jangkau sebuah sayembara penulisan, harus kita akui bahwa kehadirannya tetap memberikan kontribusi yang sangat berharga dalam rangka mendorong peningkatan produktivitas dan kreativitas para penulis di negeri ini untuk berkarya. Demikian halnya kehadiran bentuk-bentuk penghargaan yang diberikan kepada para penulis terpilih juga telah memberikan spirit dan warna tersendiri dalam jagat kepengarangan di tanah air. Beberapa bentuk penghargaan yang pernah ada, di antaranya: SEA-Write Award, Khatulistiwa Literary Award, Sih Award, Hadiah Sastra Lontar, Anugerah Sastra Horison, Penghargaan Mastera, Hadiah Sastra Pusat Bahasa, dan beberapa bentuk penghargaan lain yang ada di berbagai daerah. Dalam kaitan ini, sayembara penulisan maupun penghargaan sastra, keduanya merupakan pompa pendorong motivasi kepengarangan yang sangat efektif dalam rangka menjaga kesinambungan tradisi penulisan sastra Indonesia.

/ 6 /
Selain beberapa fenomena di atas, setidaknya sejak paro kedua dekade 90-an yang lalu, sastra Indonesia modern sesungguhnya telah memasuki sebuah babak baru yang disebut “era sastra digital” (sistem publikasi karya sastra secara online melalui berbagai situs internet). Di samping dalam bentuk website pribadi, mulai populernya era baru ini terutama setelah diluncurkannya Cybersastra.com atau Cybersastra.net yang setidaknya sudah mulai beroperasi sejak 28 April 1999 —konon di bawah pengelolaan Masyarakat Sastra Internet (MSI) yang dikomandoi Nanang Suryadi dan berpusat di kota Malang, Jawa Timur. Sebagai media alternatif baru, ruang publikasi sastra online ini bersifat sangat akomodatif, egaliter, bebas, dan juga kurang selektif —bahkan, konon tanpa melalui proses seleksi sebagaimana yang dilakukan oleh redaktur sebuah media massa cetak konvensional— karena urusan pemilihan dan penentuan karya yang akan dipublikasikan memang sepenuhnya merupakan hak prerogatif para penulisnya.

Dengan karakteristiknya yang demikian, berbagai ragam karya sastra (puisi, fiksi, drama, serta esai dan kritik sastra, bahkan juga genre sastra lama) dapat ditampung di sini, termasuk yang secara kualitatif sering dituding pihak tertentu sebagai karya-karya “sampah”. Hal ini karena para penulis pemula yang baru belajar menulis satu-dua puisi pun “tidak dilarang” untuk memasuki dan memublikasikan karya-karya percobaan mereka di media sastra online bernama Cybersastra.net ini. Namun demikian, seberapapun kelemahan yang ada padanya, kehadiran media alternatif “sastra internet” atau “sastra digital” ini dalam jagat sastra di tanah air sungguh patut dihargai dan layak dicatat dalam bentangan sejarah sastra Indonesia.[12]

Mengenai tudingan negatif terhadap fenomena sastra internet ini, Medy Loekito (salah seorang pegiat sastra internet lainnya) pernah mengemukakan suatu bantahan bernada apologis. Pertama, menurut penyair asal Jakarta ini, internet merupakan saluran yang efektif bagi ”penyemaian” atau ”terapi” terhadap frustasi penyair (baca: para penulis pada umumnya —JTS) yang sudah tidak sabar menunggu dalam ketidakpastian penerbitan karyanya di media cetak. Kedua, internet merupakan saluran alternatif bagi para penyair dalam menghadapi sikap tidak adil media massa yang mengutamakan nama-nama ”besar” dan bahkan melenyapkan ”lahan” bagi penyair yang belum terkenal. Ketiga, internet juga merupakan ”jembatan bagi peradaban multiculture”. Artinya, di dalam situs sastra Malaysia bisa kita temukan nama Nanang Suryadi (dari Indonesia), sedangkan di situs sastra Indonesia (semisal Cybersastra.net) dapat kita temukan nama Ramli A. Rahim (dari Malaysia) atau Djauhar (dari Singapura).[13]

Meskipun hingga sekarang keberadaan sastra internet ini masih menyimpan kontroversi tertentu, terutama menyangkut bobot literer karya-karya yang dipublikasikan, tetapi secara de facto dalam perkembangannya hingga dewasa ini justru memperlihatkan kemajuan yang cukup signifikan. Dalam lima tahun terakhir, kehadiran sastra internet ini tampaknya semakin mendapat tempat dan sambutan positif dari kalangan praktisi maupun pemerhati sastra di tanah air. Seiring dengan kemajuan teknologi informasi mutakhir yang terus berkembang pesat, sastra internet kini sudah semakin meluas dan kian memasyarakat. Sekarang, kecuali keberadaan Cybersastra.net (yang belakangan sudah mulai menurun popularitasnya), sastra internet juga merebak dalam bentuk blog, facebook, dan twitter (milik pribadi maupun atas nama komunitas tertentu). Hampir semua penulis yang sudah melek-teknologi-internet, secara dan sebagai pribadi, kini sudah memiliki media-media alternatif paling mutakhir ini (minimal dengan memanfaatkan fasilitas facebook) sebagai wadah untuk menampung dan memublikasikan karya-karya mereka (terkadang juga karya teman sejawat dan/atau anggota komunitasnya).[14]

Baru-baru ini (terhitung sejak 2 April 2011), Cecep Syamsul Hari (CSH —penyair asal Bandung, tepatnya Cimahi) telah meluncurkan sebuah majalah ruang-maya bertajuk Sastra Digital (Publikasi Online Sastra Indonesia) yang juga memuat beragam karya sastra kreatif (khususnya puisi dan cerpen) maupun esai dan kritik sastra. Akan tetapi, berbeda dengan media sastra internet lainnya yang pernah ada di Indonesia, karya-karya yang dimuat dalam Sastra Digital merupakan karya pilihan (berdasarkan proses seleksi) redakturnya (yang sejauh ini masih dibidani sendiri oleh CSH). Bahkan, sebagai bentuk apresiasi terhadap karya yang dimuat, secara swadana sang pengelola tak segan-segan merogoh kantong pribadinya untuk menyediakan honorarium sekadarnya bagi para penulis yang karyanya terpilih dan dipublikasikan di media asuhannya tersebut.[15]

Namun, secara catatan tambahan, oleh karena sistem seleksi yang dilakukan redaksi tak mungkin dapat mengelak dari kemungkinan masuknya unsur subjektivitas pribadi (apalagi proses seleksi itu masih dilakukan sendiri oleh seorang redaktur yang sekaligus bertindak sebagai pemilik dan pengelolanya), media alternatif baru ini pun tentunya kelak akan dapat terjebak pada pengulangan model ”perilaku lama” versi media-media konvensional (khususnya media massa cetak) yang sistem seleksinya selama ini dinilai tidak adil dan cenderung lebih berpihak pada nama-nama besar saja. Namun, sekali lagi, bagaimanapun upaya semacam ini merupakan sebuah terobosan yang pantas dihargai dan disambut dengan sikap positif —tentu saja, dengan catatan, sambil terus menunggu format manajemen yang lebih ideal sehingga dapat memenuhi harapan lebih banyak pihak dan kepentingan lagi.

/ 7 /
Terbukanya gerbang kebebasan ekspresi dan resepsi sastra dalam sepuluh tahun terakhir ini dapat dipandang sebagai era kebangkitan kembali (semacam renaissance) sastra Indonesia modern setelah selama lebih dari tiga dasawarsa seakan terus terkungkung di bawah kendali politik kenegaraan model rezim Orde Baru —melalui otoritas para penguasanya yang militeristik, sering bertindak represif, dan cenderung memperlakukan sastra sebagai suatu gejala budaya yang destruktif. Selama masa Orde Baru, sastra secara apriori diasumsikan sebagai sebuah energi besar yang menyimpan “lahar panas” sehingga suatu ketika pada saatnya dapat meletus dan membawa perubahan besar pula dalam dinamika sosial-politik (khususnya dalam konteks stabilitas nasional). Atas dasar tersebut, pada akhirnya keberadaan sastra (berikut sepak-terjang para sastrawannya) harus dikontrol secara superketat (kalau perlu dengan memanfaatkan jasa intelegen).

Setelah tumbangnya rezim Orde Baru di penghujung abad yang lalu (1998), masa-masa stigmatis berwajah “fobisastra” semacam itu kini telah mencair secara drastis seiring dengan embusan angin segar yang dibawa oleh rezim Orde Reformasi. Sekarang, kita sudah berada di sebuah dunia baru, di alaf baru, dengan semangat dan paradigma baru pula. Kehidupan sastra, juga kebudayaan Indonesia pada umumnya, kini sudah dapat bernapas bebas dan bergerak secara sangat leluasa. Tak ada kekang, tak ada tali kendali lagi. Akan tetapi, ditinjau dari kacamata moralitas, tampaknya juga perlu kita sadari bahwa ternyata kebebasan ekspresi dan resepsi sastra itu memang tidak selalu menguntungkan. Ternyata pula, kebebasan itu tidaklah identik dengan kemajuan dan tidak pula selalu bermakna positif bagi peradaban suatu bangsa.

Semakin menguatnya arus keterbukaan berpikir dan berekspresi yang telah terbangun dalam sepuluh tahun terakhir (sejak lahirnya Orde Reformasi) pada kenyataannya memang membawa dampak yang sangat signifikan bagi perkembangan dunia sastra dan kebudayaan umumnya di tanah air. Munculnya trend karya-karya sastrawangi yang beredar bebas di pasaran, misalnya, diasumsikan telah turut memberi andil pada kian merosotnya moral bangsa dewasa ini —terutama dalam konteks perilaku seks bebas (free sex) dan pelecehan seksual (sexual harassment). Kendati, tentu saja, hal itu bukan satu-satunya faktor penyebab.

Perkembangan sastra Indonesia yang demikian pesat dalam beberapa tahun terakhir pada akhirnya juga menimbulkan risiko sampingan di bidang teori, sejarah, kritik, dan pendidikan sastra. Sebab, para pengamat (termasuk teoretisi, sejarawan, kritikus, dan guru sastra), siapa pun dia dan dari mana pun asalnya, pastilah akan merasa sangat kesulitan untuk dapat memantau perkembangan sastra kita dewasa ini secara objektif dan komprehensif. Barangkali, untuk lebih praktisnya, guna mengatasi kesulitan tersebut mau tidak mau perhatian mereka terpaksa hanya akan terfokus pada bentuk buku dan sejumlah media massa tertentu yang beredar secara nasional serta dipandang representatif sebagai barometer perkembangan sastra Indonesia mutakhir.
Sekarang, gejala apa lagi yang bakal muncul dalam peta sejarah sastra Indonesia mutakhir? Apakah dalam sepuluh tahun ke depan ia akan melahirkan suatu kecenderungan estetik yang baru lagi? Entahlah. Agak muskil, juga terlalu dini, untuk dapat memprediksikannya dengan pasti. Namun, oleh karena sastra merupakan dunia yang mungkin (oleh Budi Darma pernah disebutnya sebagai dunia jungkir-balik), gejala apa pun yang muncul kemudian selalu akan bersifat dialektis dan menjadi sesuatu yang niscaya. Panta Rei! Segalanya akan terus mengalir, mengalir, dan terus mengalir, sebagaimana mengalirnya air sungai yang pernah dianalogikan Herakleitos berabad-abad silam dalam salah satu diktum filsafatnya. Jadi, bagaimana masa depan sastra Indonesia nanti? Quo Vadis? Kita tunggu saja!

Pelaihari, 16 Oktober 2011

[1]Diskusi singkat tentang pengertian “sastra Indonesia” dapat dibaca, misalnya, dalam buku Sapardi Djoko Damono, Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan (Jakarta: Gramedia, 1983), hlm. 131—133. Namun, untuk kepentingan pembahasan ini saya lebih cenderung mengikuti rumusan Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (Bandung: Binacipta, 1991), hlm. 10.

[2]Pembicaraan mengenai estetika kepenyairan Afrizal Malna yang dipandang sebagai ikon pembaruan dalam perpuisian Indonesia di tahun 1980—1990-an telah banyak dilakukan orang, baik dalam bentuk esai-esai singkat di media massa maupun ulasan yang agak panjang berupa kertas kerja untuk forum-forum diskusi sastra. Ulasan yang cukup representatif dapat dibaca, misalnya, dalam tulisan Agus R. Sarjono, “Afrizal Malna: Puisi Dada dan Kecemasan” (Horison, Desember 1992).

[3] Kumpulan sajak awalnya yang sampai sekarang tidak diterbitkan berjudul Catatan yang Bertindak dan Mitos-mitos Kecemasan (naskah ini hanya dibukukan secara sederhana dalam bentuk fotokopi), kendati beberapa sajak di antaranya telah ikut dimuat dalam penerbitan buku pertama (1984) dan buku keduanya (1990) sebagaimana tersebut di atas.

[4] Lihat esai pengantar Korrie Layun Rampan (Ed.) untuk bukunya, Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (Jakarta: PT Grasindo, 2000), hlm. xxxviii.

[5] Harap mafhum, tentu tidak semua nama penyair dapat saya sebutkan di sini. Urutan penyebutan nama-nama di atas juga tidak merepresentasikan tingkatan kualitas karya maupun para penyairnya, tetapi sekadar menderetkan nama-nama yang cukup dikenal dalam kancah perpuisian Indonesia mutakhir. Hal yang sama juga berlaku untuk penyebutan nama-nama penulis fiksi pada uraian selanjutnya.
[6] Upaya-upaya pemetaan dan ulasan tentang berbagai kecenderungan estetik dalam perpuisian Indonesia terkini sesungguhnya juga telah banyak dilakukan oleh para kritikus dan pengamat sastra. Baca, misalnya,  beberapa esai Afrizal Malna yang terhimpun dalam buku Sesuatu Indonesia: Personifikasi Pembaca-yang-Tak-Bersih (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000); Agus R. Sarjono, Sastra dalam Empat Orba (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2001); dan Korrie Layun Rampan, op. cit.

[7] Untuk novel Saman, misalnya, di cover belakang buku Ayu Utami tersebut Sapardi Djoko Damono memberi komentar yang sangat apresiatif, bahkan cenderung berlebihan: “Dahsyat… memamerkan teknik komposisi yang —sepanjang pengetahuan saya— belum pernah dicoba pengarang lain di Indonesia, bahkan mungkin di luar negeri.” Adapun penemuan teknik penceritaan baru —yang dikatakan sangat eksperimental dan khas inovasi Djenar— untuk beberapa cerpen Djenar Maesa Ayu telah dicobatunjukkan oleh Richard Oh dalam esai pengantarnya untuk kumpulan cerpen Djenar yang kedua. Lihat Richard Oh.,  “Jangan Main-main dengan Djenar,” dalam Djenar Maesa Ayu, Jangan Main-main (dengan Kelaminmu) (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. Xiii—xxvii. Namun, Katrin Bandel kemudian telah menunjukkan kelemahan karya-karya Djenar —khususnya novel Nayla— melalui sebuah esainya, “Nayla: Potret Sang Pengarang sebagai Selebritis,” Horison (Tahun XXXX, No.1/2006), hlm. 6—15 yang kemudian dimuat dalam bukunya, Sastra, Perempuan, Seks (Yogyakarta & Bandung: Jalasutra, 2006), hlm. 143—163.

[8] Sekaitan dengan masalah trend sastrawangi dan dampak moralitasnya, menarik sekali untuk disimak ulasan kritis Medy Loekito, ”Perempuan dan Sastra Seksual” dalam Ahmadun Yosi Herfanda dkk. (Ed.), Sastra Kota: Bunga Rampai Esai Temu Sastra Jakarta 2003 (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003), hlm. 130—156.

[9] Seorang ustadz saat berceramah di kampung saya pernah mensinyalir karya-karya Habiburrahman El-Shirazy (terutama menunjuk novel Ayat-ayat Cinta) —yang mungkin hanya dipantaunya melalui film— sebagai propaganda poligami. Sehingga, menurut simpulannya, dengan mengangkat poligami sebagai pesan utama seolah-olah Islam itu identik dengan praktek poligami.

[10] Lokalitas sebagai suatu kecenderungan estetik dalam tradisi sastra Indonesia mutakhir pernah saya bahas secara khusus dalam sebuah esai bertajuk “Kebanggaan Sastra sebagai Kebanggaan Daerah: Sumber Kreativitas dan Inovasi Penciptaan” (makalah Seminar Internasional: Dialog Borneo-Kalimantan XI pada 13—15 Juli 2011 di Samarinda, Kalimantan Timur); dimuat dalam Korrie Layun Rampan (Ed.), Sumbangan Borneo-Kalimantan Terhadap Sastra Indonesia, Brunei Darussalam, dan Malaysia (Yogyakarta: DBK—Araska, 2011), hlm. 83—104.

[11] Banyak sekali media alternatif lainnya yang tidak bisa disebutkan di sini, baik berupa majalah maupun sekadar buletin yang diterbitkan secara swakelola dan bersifat nirlaba oleh komunitas tertentu. Akan tetapi, perkembangan nasib mereka hampir sama, nyaris selalu terbentur masalah klise: pendanaan dan pemasaran. Media alternatif ini pada umumnya hanya sempat terbit satu kali atau beberapa nomor penerbitan saja, setelah itu mati (seperti kata Chairil Anwar: sekali berarti, sudah itu mati).

[12] Pelacakan dan kajian awal (tetapi cukup memadai) tentang fenomena sastra-internet ini dapat dibaca dalam salah satu tulisan Faruk H.T. melalui bukunya, Beyond Imagination: Sastra Mutakhir dan Ideologi (Yogyakarta: Gama Media, 2001), hlm. 215—263; pernah disinggung sekilas oleh Ahmadun Yosi Herfanda melalui esai bertajuk “Kapitalisasi Sistem Produksi” dalam Ahmadun Y. Herfanda dkk. (Ed.), op. cit., hlm. 21—37; dan untuk pelacakan lebih lanjut silakan klik di http://www.Cybersastra.net dan beberapa situs atau laman terkait.

[13] Bandingkan dengan Faruk H.T., ibid., hlm. 220.

[14] Terkait dengan masalah seleksi karya yang akan dimuat, keadilan para redaktur media massa cetak konvensional (koran, tabloid, majalah, jurnal) yang seringkali dipertanyakan pada kenyataannya juga berlaku pada para redaktur media sastra internet ini. Jadi, subjektivitas pribadi sang pengelola blog (blogger) tetap memegang peranan penting. Untuk pembuktian empiris, silakan lacak beberapa blog sastra yang terutama berbasis komunitas (meski dikelola oleh perseorangan).

[15] Pada awalnya, publikasi karya diterbitkan mingguan dengan karya menampilkan karya terpilih (puisi, cerpen, dan esai/kritik sastra). Belakangan, dengan format baru dan penambahan rubrik ”kuntum” (untuk karya-karya pelajar), durasi penerbitan telah diubah menjadi berkala bulanan. Untuk lebih jelasnya, silakan kunjungi di http://www.sastradigital.gmail.com

Sumber tulisan: horisononline.or.id/esai

Chairil Anwar terlalu kebarat-baratan ataukah pembacanya di Indonesia terlalu keindonesia-indonesiaan? Telaah sajak Isa

| Ditulis oleh E.P. Wieringa |

Di Eropa ada beberapa proyek untuk melaksanakan ‘Karya Lengkap’ seorang sastrawan dalam suntingan ilmiah, misalnya die grosse kommentierte Frankfurter Ausgabe (GKFA) atau ‘Suntingan Frankfurt yang besar dan berkomentar’, yaitu suatu edisi komplit yang direncanakan dalam 38 jilid agar segala tulisan Thomas Mann (1875-1955) dicantumkan, pengarang kenamaan Jerman dan penerima Hadiah Nobel untuk Sastra.[1] Di negeri Belanda sejak tahun 1979 diadakan seri Monumenta Literaria Neerlandica (‘Karya Agung Sastra Belanda’) yang diterbitkan di bawah koordinasi Akademi Ilmu Kerajaan Belanda (Koninklijke Nederlandse Akademie van Wetenschappen, KNAW).[2] Tujuannya adalah untuk menciptakan satu seri buku dalam edisi ilmiah dari teks-teks yang telah dianggap ‘klasik’, termasuk hasil sastra modern dari abad ke-20. Di negara Eropa yang lain juga ada seri-seri semacam itu seperti Oxford World’s Classics (Inggris) atau La Bibliothèque de la Pléiade (Perancis) yang berupaya mengabadikan teks-teks yang diperkirakan ‘klasik’ dalam arti mempunyai nilai tinggi serta langgeng.[3]

Sebaliknya, di Indonesia ilmu filologi pada umumnya masih hanya berkecimpung dalam bidang ‘sastra lama’ dan dunia pernaskahan saja. Buku Zaenal Hakim yang berjudul Edisi kritis puisi Chairil Anwar merupakan kasus pengecualian yang mencoba ‘mengisi kekosongan’ dalam penyuntingan edisi ilmiah teks modern.[4] Karena saya ingin tahu bagaimana bentuk sajak Isa yang sebenarnya, maka saya cari dalam edisi tersebut dan ternyata teks ciptaan Chairil Anwar (1922-1949) berbunyi seperti berikut (penomoran saya tambahkan untuk mempermudah rujukan selanjutnya):[5]

ISA

Kepada Nasrani sejati

1    Itu Tubuh
2    mengucur darah
3    mengucur darah

4    rubuh
5    patah

6    mendampar tanya: aku salah?

7    kulihat Tubuh mengucur darah
8    aku berkaca dalam darah

9    terbayang terang di mata masa
10  bertukar rupa ini segara

11  mengatup luka

12  aku bersuka

13  itu Tubuh
14  mengucur darah
15  mengucur darah

12 November 1943

Menurut catatan kaki di dalam edisi Zaenal Hakim hampir tidak ada variasi yang penting antara terbitan pertama di dalam majalah Pantja Raja (tanggal 15 Nopember 1946) dan terbitan kedua di dalam Deru Tjampur Debu (Deru Campur Debu, DCD) pada tahun 1949 selain kata terakhir pada larik ke-10, yaitu segara: di dalam terbitan DCD kata tersebut diganti dengan segera. Namun perbedaan satu huruf tidak boleh disepelekan karena perbedaan antara segera dan segara jauh sekali dan sangat mempengaruhi tafsiran sajak ini. Ternyata penyunting Zaenal Hakim memutuskan untuk memilih kata segara sebagai benar, sedangkan kata segera dicapnya sebagai salah. Menurut indeks kosakata puisi karya Chairil Anwar di dalam edisi tersebut kata segara hanya timbul dalam sajak Isa dan kata segera sama sekali tidak terdaftar.[6] Sayangnya, tidak ada argumentasi tentang salah-benarnya masalah segera/segara.
Rupanya versi dengan kata segara sekarang dianggap sebagai baku di Indonesia: di dalam edisi suntingan Pamusuk Eneste kita menemukan sajak Isa seperti dikutip di atas dan kata segera bahkan sama sekali tidak disebutkan lagi.[7] Pamusuk Eneste juga tidak merasa perlu untuk membenarkan pilihannya. Atas halaman judul buku yang dieditnya ada pernyataan resmi bahwa suntingan tersebut “[t]elah disahkan penggunaannya di sekolah dengan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 019a/C/KEP/R’87 Tanggal: 07-02-1987”.[8] Dengan kata yang lain, bacaan segara di dalam sajak Isa sudah sah dan baik guru maupun murid tidak usah menghadapi pemilihan yang sulit lagi.
Apakah masalahnya sekarang selesai? Kemudian, apakah sajak ini menjadi lebih jelas? Ternyata tidak. Sampai sekarang tetap ada kekacauan. Misalnya, kritikus terkemuka profesor Teeuw teguh berpendapat bahwa segera benar sedangkan segara dianggapnya salah, namun argumentasi pembuktiannya tetap diabaikan.[9] Kecuali masalah segara/segera ada perbedaan yang jauh sekali antara beberapa interpretasi. Misalnya, Aloys Budi Purnomo, rohaniwan dan pemimpin redaksi majalah Inspirasi, Lentera yang Membebaskan, pada tahun 2007 tidak memusingkan keputusan Depdikbud tentang bacaan sah, namun menurutnya “[s]ecara teologis, permenungan puitis Chairil Anwar benar!”[10] Di dalam interpretasi Purnomo,[11]

[d]i mata Chairil, salib bermakna ganda, bermata dua. Mata pertama memandang salib sebagai kucuran darah dari sang Tubuh yang roboh dan patah. Mata kedua memancarkan peristiwa salib sebagai rupa yang segera bertukar, dari ‘darah yang mengucur dari Tubuh yang roboh dan patah’ menjadi ‘luka yang mengatup dan mendatangkan terang serta suka(cita)’.

Sepertinya Chairil Anwar, si penyair yang lazimnya terkenal karena kehidupan yang nyentrik (‘si binatang jalang yang terbuang dari kumpulannya’) dan beragama Islam KTP doang, juga bekerja sampingan sebagai rohaniawan alias teolog kristiani yang unggul. Interpretasi yang lain lagi dikemukakan oleh Arief Budiman yang menerima bacaan segara dan menganggap sajak Isa sebagai pengungkapan isi hati Chairil Anwar:[12]

Di sini, Chairil tiba-tiba tertegun terhadap penderitaan yang dialami oleh nabi Isa di kayu salib. Dan sang nabi mengalami semua ini bukan untuk dirinya, melainkan untuk orang lain, untuk seluruh umat manusia. Berbeda sekali dengan dirinya, yang mau hidup sendiri dengan kemerdekaannya, tanpa peduli orang lain, tanpa peduli sekelilingnya. Mungkin karena perbandingan dari dua keadaan yang saling sangat bertentangan inilah maka Chairil ketika melihat “itu tubuh/ mengucur darah/ mengucur darah/ rubuh/ patah”, tiba-tiba jadi bertanya: “aku salah?”.
Apakah semua pengorbanan ini ada artinya? Chairil, dalam sajak ini, hampir percaya akan hal itu. Dia membayangkan “terang di mata masa” dan segara (laut) jadi “bertukar rupa”. Kalau memang ini yang akan terjadi, maka luka-luka yang diderita nabi Isa seakan-akan jadi terkatub dan Chairil bisa berteriak “aku bersuka”. Bersuka bukan saja karena melihat penderitaan nabi Isa tidak sia-sia, tapi barangkali juga bersuka karena dia berhasil menemukan jawab bagi arti kehidupannya sendiri. Tapi semua ini hanyalah harapannya, karena yang dihadapinya masih tetap “itu tubuh/ mengucur darah/ mengucur darah”.

Subagio Sastrowardoyo pernah mengutarakan bahwa puisi Chairil Anwar sebenarnya berkiblat kepada kebudayaan Barat dan pada hematnya “ia merendamkan diri ke dalam semangat hidup yang keeropah-eropahan”.[13] Subagio mengingatkan bahwa sajak-sajak Chairil Anwar sangat terpengaruh oleh unsur-unsur latar belakang Barat yang terasa asing bagi khalayak pembaca Indonesia. Misalnya, siapa di Indonesia mengenal tokoh Ahasveros yang disebutkan dalam sajak Tak Sepadan (“Sedang aku mengembara serupa Ahasveros”) atau tahu bahwa kata Thermopylae dalam sajak Malam merujuk kepada penjagalan di dalam peperangan di Yunani kuno itu?[14] Terlebih lagi Subagio ragu-ragu terhadap pengertian khalayak pembaca Indonesia dalam kasus sajak Isa:[15]

Apa pula yang hendak diharapkan dari pembaca untuk menangkap makna gatra di dalam sajak “Isa”: “Itu tubuh/ mengucur darah/ mengucur darah/ rubuh/ patah”, yang diakhiri dengan kata-kata:

mendampar tanya: aku salah?

Pertanyaan itu menyangkut filsafah yang khas Kristen, yang menganggap kematian Isa bermakna sebagai penebusan dosa manusia. Chairil bertanya, adakah karena ia berdosa maka Isa harus bergantung di salib dan bercucuran darah? Tetapi bersamaan dengan itu, kita pun dapat bertanya, akan mungkinkah pembaca di Indonesia, yang umumnya memeluk agama yang bukan Nasrani, dapat mengajuk ke dalam filsafat Kristen itu dan dengan begitu dapat menangkap gatra sajaknya? Tanpa pengertian tentang sangkutan pikiran kepada penebusan dosa Nabi Isa itu, maka kata-kata selanjutnya ini di dalam sajak itu sama sekali tidak memberi arti apa-apa:

kulihat Tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah

terbayang terang di mata masa
bertukar rupa ini segera [sic]

mengatup luka

aku bersuka
Itu tubuh
mengucur darah
mengucur darah

Chairil mendasarkan pemakaian gatranya pada pola berpikir yang sudah tersedia di Barat, tetapi yang tidak terangkum di dalam alam cita dan pikiran Indonesia. Di tengah masyarakat kita sangkutan pikiran itu akan menemukan gatra sajak yang lain yang dikenal oleh kesadaran sejarah dan filsafat masyarakat pembacanya. Dengan pemakaian gatra demikian Chairil telah memilih sebagai publik pembacanya masyarakat Budaya Eropah. Ia tidak setia kepada dunia angan-angan masyarakat sekelilingnya, sedang ia masih berhutang bahasa yang dipergunakannya.

Sebenarnya tidak terlalu mengherankan bahwa sajak Isa terasa kebarat-baratan.[16] Di dalam bukunya Chairil Anwar pelopor angkatan 45 H.B. Jassin melaporkan bahwa pada tahun 1956 perhatiannya diarahkan oleh seorang rohaniawan Katolik, Rama R.H. Lomme, kepada persamaan antara Isa dengan sajak Belanda Lied (‘Lagu’) yang diterbitkan oleh Gerard Wijdeveld dalam buku Het Voorschot (‘Persekot’).[17] Ternyata H.B. Jassin tidak tahu bahwa pada tahun 1954 R[aden] B[enedictus] Slametmuljana di dalam disertasinya di Universitas Leuven (Belgia), Poëzie in Indonesie: een literaire en taalkundige studie (‘Puisi di Indonesia: pengkajian dari segi kesusastraan dan ilmu bahasa’), sudah menyatakan kemiripan dua sajak tersebut.[18] Akan tetapi, baik Slametmuljana maupun Jassin hanya mengutip kedua sajak itu saja tanpa melakukan perbandingan antara dua teks itu, seolah-olah persamaan antara kedua sajak tersebut langsung kelihatan. Teks sajak Lied berbunyi seperti berikut: [19]

LIED

Er is een Lam, dat bloedt
Er is een Lam, dat bloedt

En ik, die Hem[20] aanschouwen moet
en van mij zelven zeggen moet:
ik ben het, die U bloeden doet.[21]

En dat ik U zo bloeden zag
Zal ’t mij behoeden eenen[22] dag
Voor weder, weder zonden?
Ik zal U talloos wonden[23]
en roepen om Uw bloed........

Wat ik U daarom zeggen moet?
Wat ik U zeggen moet?

Er is een Lam, dat bloedt........

Terlebih dahulu saya ingin memberikan beberapa catatan tambahan mengenai penyair Belanda itu dan sajaknya. Gerard Wijdeveld (1905-1997) termasuk angkatan ‘pemuda Katolik’ sebelum Perang Dunia Kedua di dalam sejarah sastra Belanda. Dia ahli bahasa klasik dan meraih gelar doktor pada tahun 1937 di Amsterdam dengan disertasi mengenai De vera religione (‘Mengenai agama yang benar’) oleh Augustinus. Wijdeveld berasal dari kota Nijmegen di Belanda selatan dan pada masa antarperang kota tersebut terkenal sebagai benteng idealisme dan radikalisme Katolik. Di sana Wijdeveld salah satu pemuda radikal yang teramat kuat kepercayaan terhadap agama Katolik.[24] Pada tahun 1930 sajaknya yang berjudul De droom van Nolens (‘Mimpi Nolens’) mengkritik Nolens secara tajam, yaitu pemimpin partai politik Katolik di Belanda waktu itu, antara lain karena Nolens menurut Wijdeveld kurang mendukung penyebarluasan agama Katolik di Hindia Belanda.[25] Pada masa Perang Dunia Kedua (1940-1945) dia menjadi fanatik terhadap ideologi Nazi dan berusaha me-Nazi-kan kesusastraan Belanda. Pada tanggal 20 April 1944 dia malah menerbitkan ode dalam rangka perayaan HUT Adolf Hitler yang ke-55 di dalam koran Algemeen Handelsblad.[26] Pada masa pascaperang Wijdeveld masih dapat bekerja sebagai guru bahasa Latin di Amsterdam, tetapi masa lalunya sebagai pengikut Nazi dan pengkhianat negara selama-lamanya membayangi kehidupannya. Dia mengasingkan diri dan sebagai narapidana bertahun-tahun kena larangan publikasi.[27]
Pada tahun 1997 peminat sastra Belanda Kees Fens (1929-2008) memperingati Wijdeveld di dalam artikel in memoriam di dalam koran Volkskrant dan mengutip beberapa larik dari sajaknya Lied: “Er is een Lam dat bloedt / er is een Lam dat bloedt ... / en ik die het aanschouwen moet / en van mijzelve zeggen moet: / ik ben het, die u bloeden doet”. Fens, sebagai orang keturunan keluarga Katolik yang taat, jelas menghafal sajak tersebut, tetapi ragu-ragu apakah sajak ini pernah disukainya atau malah dahulu dianggapnya sebagai sumber inspirasi religius. Fens berpendapat bahwa ‘zaman sekarang’ sajak Lied telah kedaluwarsa, milik masa lampau. Dalam penilaiannya Fens menggunakan ungkapan Latin Requiescat in pace (‘Beristirahatlah dalam damai’) seolah-olah sajak ini sudah masuk kuburan sejarah. Menurut Fens pola pikiran tradisional mengenai Anak Domba Allah diungkapkan lebih intensif dan lebih bagus oleh Revius dan sajak Wijdeveld hanya merupakan gema yang jauh dari sajak Revius.[28] Fens tidak menjelaskan acuannya, tetapi tentu saja sajak yang dimaksudkannya berjudul Hy droegh onse smerten (‘Dia memikul penderitaan kita’) oleh Jacobus Revius (lahir sebagai Jakob Reef(f)sen, 1586-1658). Larik pertama berbunyi T’en syn de Joden niet, Heer Jesu, die u cruysten (‘Dan bukanlah orang Yahudi, Tuhan Yesus, yang menyalibkanMu’) dan di dalam sajak ini si aku lirik mengakui bersalah atas penyaliban Yesus.
Saya setuju dengan Jassin bahwa sajak Lied dan sajak Isa “tidak memberi kesan (...) bahwa di sini ada penterjemahan atau penyaduran, karena sajak Chairil punya jalan pikiran sendiri, diksi sendiri, pembayangan sendiri, gaya dan nafas sendiri”.[29] Hanya ada beberapa kesamaan pada tingkat struktural, yaitu (1) tema (darah Yesus), (2) gejala pengulangan larik dan (3) pertanyaan si aku lirik tentang perilaku diri sendiri. Kemungkinan besar bahwa Chairil Anwar diilhami oleh sajak Wijdeveld, namun sajak Isa lain sekali. Sajak Isa tergolong aliran ekspresionisme dan pengaruh Marsman paling penting di sini. Slametmuljana meletakkan sajak Isa di sebelah sajak Delft ciptaan Hendrik Marsman (1899-1940) dan menyatakan bahwa “hanya kelihatan deretan kata-kata tunggal di bawahnya”.[30] Tidak ada kalimat, cuma kata-kata yang lepas.[31]
Di dalam aliran ekspresionisme kalimat bukan merupakan dasar atau asas sajak melainkan kata.[32] Bahasa yang dipakai oleh penyair ekspresionisme adalah ‘bahasa seni’ dan bukan bahasa sehari-hari.[33] Oleh karena penekanan pada gambaran dan makna kata-kata di dalam aliran ekspresionisme, maka menurut saya pendekatan ergosentrik paling cocok untuk menginterpretasikan sajak Isa.[34] Sebenarnya Boen S. Oemarjati pada tahun 1972 di dalam disertasinya di Universitas Leiden, Chairil Anwar: The poet and his language, sudah pernah menerapkannya, tetapi saya rasa bahwa analisanya yang memang patut dipuji masih dapat diperdalam sana-sini.[35]
Sebenarnya masalah segara/segera mendorong saya untuk sekali lagi berusaha untuk menginterpretasikan sajak Isa. Menurut buku pelajaran tentang ‘seni interpretasi puisi’ yang ditulis oleh Hans-Dieter Gelfert, seorang profesor Jerman dalam bidang sastra Inggris, ‘retakan’ di dalam sajak merupakan ‘kunci’ untuk mendalami teks.[36] Kata segara atau segera pada larik ke-10 di dalam sajak Isa dapat dianggap ‘retak’ dan memaksakan kita untuk merenungkan larik tersebut: apa hubungannya antara keempat kata bertukar rupa ini segara/segera? Seperti dijelaskan oleh Oemarjati, secara teoretis ada tiga kemungkinan:

  1. segara ini bertukar rupa
  2. segera rupa ini bertukar
  3. segera ini bertukar rupa

Saya kira bahwa kebanyakan kritikus terkendali oleh larik ke-7, yaitu kulihat Tubuh mengucur darah sehingga analisanya berpusat pada penyaliban Yesus.[37] Misalnya, profesor A.H. Johns dari ANU di Canberra pada tahun 1964 menilai sajak tersebut sebagai “virtually a meditation on the crucifixion” dan Bani Sudardi, sekarang profesor di UNS di Surakarta, menulis pada tahun 2001 bahwa sajak Isa “tidak lain adalah gambaran tentang Yesus yang disalib yang banyak dijumpai di tempat-tempat tertentu”.[38] Di dalam edisi Deru Campur Debu yang berilustrasi dengan hiasan oleh Oesman Effendi sajak Isa malah disertai gambar penyaliban Yesus dengan darah yang menetes-netes (lihat gambar di bawah ini). Ilustrasi tersebut jelas-jelas berdampak besar pada pemahaman pembaca sajak ini.





[4]Zaenal Hakim, 1996, Edisi kritis puisi Chairil Anwar, Jakarta: Dian Rakyat.

[5]Lihat Zaenal Hakim, Edisi kritis, hlm. 49.

[6]Lihat Zaenal Hakim, Edisi kritis, hlm. 135.

[7]Pamusuk Eneste, 1990, Chairil Anwar, Aku ini binatang jalang. Koleksi sajak 1942-1949, Jakarta: Penerbit PT Gramedia [cetakan empat], hlm. 40

[8]Buku suntingan Pamusuk Eneste pertama kali dicetak pada Maret 1986. Saya menggunakan cetakan keempat yang diterbitkan pada Juni 1990.

[9]Misalnya A. Teeuw, 1971, ‘Modern Indonesian literature abroad’, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 127, hlm. 261 dan juga A. Teeuw, 1988, Sastra dan ilmu sastra. Pengantar teori sastra, Jakarta: Pustaka Jaya [cetakan kedua], hlm. 257.

[10]Lihat http://www.mirifica.net/printPage.php?aid=3927. Terakhir kali dikunjungi 21 Juni 2011.

[11]Idem.

[12]Arief Budiman, 2007, Chairil Anwar, sebuah pertemuan, Tegal: Wacana Bangsa, hlm. 51-52 [diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Pustaka Jaya, Jakarta, 1976]. Bandingkan kritik Teeuw atas kebiasaan di Indonesia untuk menyamakan si aku lirik dengan kedirian penyair, terutama dalam kasus Chairil Anwar, lihat A. Teeuw, Sastra, hlm. 168.

[13]Subagio Sastrowardoyo, 1980, ‘Orientasi budaya Chairil Anwar’, di dalam bukunya Sosok pribadi dalam sajak, Jakarta: Pustaka Jaya, hlm. 54.

[14]Idem, hlm. 40-41.

[15]Idem, hlm. 41-42.

[16]Persoalan yang lain adalah pertanyaan “benarkah perpuisian Chairil Anwar hanya berminat besar dan terpengaruh kesusastraan Eropa saja, sebagaimana dikatakan kritikus selama ini?” Di dalam esai ini saya hanya ingin membicarakan sajak Isa saja dan tidak akan lebih lanjut membahas permasalahan tersebut yang dikemukakan dan kemudian dibicarakan oleh Abdul Wachid B.S., 2005, ‘Kerancuan pemikiran dalam puisi Chairil Anwar’, Membaca makna (dari Chairil Anwar ke A. Mustofa Bisri), Yogyakarta: Grafindo Litera Media, hlm. 1-2). Bandingkan juga renungan Nirwan Dewanto yang menekankan Chairil Anwar sebagai “penerus tradisi persajakan sebelumnya” dan bukan sebagai pembaharu dan pendobrak sastra, http://nirwandewanto.blogspot.com/2011/04/situasi-chairil-anwar-4.html (diposkan 28 April 2011), terakhir kali dikunjungi 15 Juni 2011. Esainya tentang Chairil Anwar terpotong dalam beberapa bagian kecil dan sampai sekarang masih bersambung: sementara nomor 6 (http://nirwandewanto.blogspot.com/2011/05/situasi-chairil-anwar-6.html) merupakan sumbangan terakhir, diposkan 11 Mei 2011, terakhir kali dikunjungi 15 Juni 2011.

[17]H.B. Jassin, 1978, Chairil Anwar pelopor angkatan 45, Jakarta: Gunung Agung (cetakan keempat), hlm. 49. Menurut Jassin terbitan Het Voorschot terjadi pada tahun 1939 atau 1940, tetapi buku tersebut pertama kali diterbitkan pada tahun 1935, lihat http://www.dbnl.org/auteurs/auteur.php?id=wijd001. Sajak Lied sudah terdaftar pada tahun 1934: di dalam NMI, yaitu Nederlands Muziek Instituut atau Netherlands Music Institute, lagu ini terdaftar dengan nomor kode 125/194, lihat http://www.nederlandsmuziekinstituut.nl/en/archives/list-of-music-archives?task=listhandschriften&tmpl=lexicon&id=125&start=140. Menurut Jassin sajak Wijdenveld berjudul Het Lam (‘Anak Domba Allah’).

[18]R.B. Slametmuljana, 1854, Poëzie in Indonesia: Een literaire en taalkundige studie, Leuven: Leuvense Universitaire uitgaven; Instituut voor Oriëntalistisme, hlm. 171-172.

[19]Kutipan diambil dari Slametmuljana, Poëzie, hlm. 172. Teks itu agak lain di dalam Jassin, Chairil Anwar, hlm. 50.

[20]Jassin, Chairil Anwar, hlm. 50: Het.

[21]Idem: Ben ik het, die U bloeden doet’.

[22]Idem: enen.

[23]Tidak dikutip di dalam Jassin, Chairil Anwar, hlm. 50.

[24]Marjet Derks, 2007, Heilig moeten: radicaal-katholiek en retro-modern in de jaren twintig en dertig, Hilversum: Uitgeverij Verloren, hlm. 210.

[25]Frans Ruiter dan Wilbert Smulders, Literatuur en moderniteit in Nederland 1840-1990, Amsterdam: Arbeiderspers, hlm. 256. Sajak tersebut memang menghebohkan pada waktu itu, lihat L. de Jong, 1969, Het Koninkrijk der Nederlanden in de Tweede Wereldoorlog. Deel 1: Voorspel, ’s-Gravenhage: Staatsutigeverij, hlm. 238. Untuk informasi yang lebih lengkap tentang perkembangan pikiran Wijdeveld, lihat Adriaan Venema, 1988, Schrijvers, uitgevers en hun collaboratie. Deel 1: Het systeem, Amsterdam: Arbeiderspers, hlm. 272-285 [dapat diakses melalui internet lewat http://www.dbnl.org/tekst/vene001schr01_01/vene001schr01_01.pdf atau http://www.dbnl.org/tekst/vene001schr01_01/vene001schr01_01_0007.php].

[26]Venema, Schrijvers, hlm. 282.

[27]Asselbergs, 1955, ‘Wijdeveld, Gerard’, P. van der Meer, F. Baur dan L. Engelbregt (peny.), De katholieke encyclopaedia, Amsterdam: Van den Vonden; Antwerpen: Standaard-Boekhandel [edisi kedua], hlm. 42 hanya memberi biografi yang sangat singkat dan sama sekali tidak menyebutkan latar belakang politik Nazi itu.

[28]Kees Fens, 1997, ‘De vertaler van ‘De stad Gods’’, Volkskrant (dapat diakses melalui http://niekvanbaalen.net/fens/publ_images_new.php?Nummer=4642&Jaar=1997).

[29]Jassin, Chairil Anwar, hlm. 49. Maka cukup mengherankan bahwa Jassin tidak mencantumkan sajak Isa di dalam kumpulan puisi Chairil Anwar yang disuntingkannya, tetapi mungkin hanya karena kekhilafan dan tidak sengaja.

[30]Slametmuljana, Poëzie, hlm. 171.

[31]Idem.

[32]Hannemieke Postma, 1977, Marsmans ‘Verzen’. Toetsing van een ergocentrisch interpretatiemodel, Groningen: Wolters-Noordhoff / Bouma’s Boekhuis [disertasi Universitas Utrecht], hlm. 268.

[33]Idem. Bandingkan juga komentar Teeuw, Sastra, hlm. 75 atas ungkapan Chairil yang terkenal, yaitu aku ini binatang jalang / dari kumpulannya terbuang: “aku di sini tidak seperti dalam bahasa sehari-hari mengacu pada pembicara, pemakai kata itu, yaitu Chairil Anwar, melainkan pada seorang yang ke-aku-annya kita jabarkan atas bahan sajak ini sendiri, berdasarkan kemampuan kita sebagai pemakai bahasa Indonesia, lepas dari acuan yang konkrit dalam kenyataan (realitas)”.

[34]Introduksi pada pendekatan ergosentrik (dari bahasa Yunani ergon, yakni ‘diri sendiri’) dapat ditemukan misalnya di dalam Suroso, Puji Santosa dan Pardi Suratno, 2009, Kritik sastra. Teori, metodologi, dan aplikasi, Yogyakarta: Elmatera, hlm. 30-36. Buku Postma, Marsmans ‘Verzen’, yang dikutip di atas, menerapkan metodologi tersebut atas puisi Marsman.

[35]Boen S. Oemarjati, 1972, Chairil Anwar: The poet and his language, The Hague: Nijhoff.

[36]Hans-Dieter Gelfert, 1990, Wie interpretiert man ein Gedicht?, Stuttgart: Reclam, hlm. 99.

[37]Lihat, misalnya, esai ‘Isa dan beberapa metamorfosis’ oleh Goenawan Mohamad, 2002, di dalam bukunya Eksotopi: tentang kekuasaan, tubuh, dan identitas, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, hlm. 225-243. Catatan pinggir saya: peminat sastra yang cerdas itu juga bertitik tolak dari bacaan segera, tanpa menghiraukan atau mempermasalahkan keputusan resmi dari Depdikbud.


[38]A.H. Johns, 1964, ‘Chairil Anwar: An interpretation’, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 120, hlm. 401 [lihat http://www.kitlv-journals.nl/index.php/btlv/article/viewFile/2689/3450]. Bani Sudardi, 2001, Tonggak-tonggak sastra Sufistik di Indonesia. Petualangan batin manusia Indonesia sepanjang zaman, Surakarta: Sebelas Maret University Press, hlm. 110. Bani Sudardi berdasarkan “Teeuw 1982:121-122” (namun tidak dirujuk di dalam
daftar pustakanya) untuk kutipan lengkap sajak Isa (tentu saja dengan kata segera).

Gambar penyaliban Yesus oleh Oesman Effendi yang menyertai sajak Isa. Diambil dari edisi Deru Campur Debu terbitan PT Dian Rakyat Jakarta (cetakan pertama 1987), hlm. 14-15. Sebenarnya diterbitkan pertama kali oleh Yayasan Pembangunan tahun 1959.

Akan tetapi, saya berpendapat bahwa konsep ‘ekaristi’ lebih penting untuk memahami sajak ini, yaitu ‘tubuh dan darah Kristus dalam rupa roti dan anggur dalam perayaan Misa Kudus’.[1] Susunan kata Itu Tubuh pada larik pertama berbeda dengan struktur Bahasa Indonesia pada umumnya. Oemarjati menjelaskan bahwa gejala inversi adalah ciri khas puisi Chairil dan juga terbiasa di dalam dialek Jakarta.[2] Bagi seorang Nasrani sejati – yaitu orang yang menurut persembahan sajak ini merupakan ‘alamatnya’ – larik Itu Tubuh merupakan gema dari ucapan Yesus sendiri pada Perjamuan Terakhir, yaitu “Ambillah, makanlah, inilah tubuhKu” (Mat 26:26; bandingkan Mrk 14:22) atau seperti dinyatakan di dalam Injil Lukas: “Inilah tubuhKu yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” (Luk 22:19; bandingkan 1Kor 11:24).[3] Kalimat imperatif “perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” menjadi dasar terselenggaranya Perayaan Ekaristi. Menurut Injil Matius penetapannya seperti berikut (Mat 26:26-29):

26 Dan ketika mereka sedang makan, Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada murid-muridNya dan berkata: “Ambillah, makanlah, inilah tubuhKu.” 27 Sesudah itu Ia mengambil cawan, mengucap syukur lalu memberikannya kepada mereka dan berkata: “Minumlah, kamu semua, dari cawan ini. 28 Sebab inilah darahKu, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa. 29 Akan tetapi Aku berkata kepadamu: mulai dari sekarang Aku tidak akan minum lagi hasil pokol anggur ini sampai pada hari Aku meminumnya, yaitu yang baru, bersama-sama dengan kamu dalam Kerajaan BapaKU.”

Pengulangan mengucur darah pada larik kedua dan ketiga menyatakan bahwa Yesus mengorbankan diriNya untuk selama-lamanya sebagai korban penebus dosa (lihat Mat 26:28 yang dikutip di atas). KBBI hanya menjelaskan mengucur sebagai ‘memancur’, namun ternyata KU lebih berguna, yaitu menurut Poerwadarminta kata mengucur ‘bahasa Jakarta’ dan berarti ‘bercucuran; memancur’. Di dalam KU ada contoh ‘darahnya bercucuran’, jadi kalau kita ingin ‘menormalisasikan’ larik mengucur darah maka susunan kata tersebut boleh dianggap sebagai inversi, yaitu darah mengucur, yang berarti ‘darah bercucuran’ di dalam bahasa sehari-hari. Akan tetapi, juga ada kemungkinan untuk membaca larik pertama hingga ketiga sebagai satu kalimat dan menganggap mengucur sebagai mengucurkan, sehingga pengorbanan Yesus tampil lebih aktif.[4] Ejaan kata rubuh tidak benar menurut tata bahasa resmi, seharusnya roboh, tetapi rubuh bersajak dengan Tubuh, sedangkan patah bersajak dengan darah. Keadaan tubuh Yesus yang hancur itu, yaitu pengorbananNya di atas Kayu Salib, mengemukakan pertanyaan: aku salah? (larik ke-6).
Ketiga kata kerja yang dipakai dari larik ke-7 hingga ke-9 semuanya berhubungan dengan visi, yaitu ‘kemampuan untuk melihat pada inti persoalan’: kulihat, berkaca dan terbayang. Si aku lirik melihat tubuh Yesus, yaitu ‘menggunakan mata untuk memandang’ yang berasosiasi dengan mata masa (larik ke-9). Apakah si aku lirik benar-benar melihat atau sebenarnya membayangkan tubuh Yesus, yaitu ‘menggambarkan dalam pikiran, mengangan-angan’? Kata berkaca juga dipakai di dalam sajak Chairil Anwar yang lain, yaitu Selamat Tinggal (“Aku berkaca / Ini muka penuh luka / Siapa punya?”) dan Rakhmat Joko Pradopo menjelaskan bahwa berkaca “berarti melihat muka sendiri, dapat berarti lebih luas, yaitu melihat keadaan diri sendiri, melihat masalah-masalah sendiri, melihat cacat-cacat, kejelekan, dan kekurangan diri sendiri”.[5] Makna tersebut juga tepat sekali di dalam sajak Isa, tetapi menurut saya asosiasi lebih luas lagi, terutama sebagai kiasan, yaitu ‘mengambil sebagai contoh teladan’. Bukankah Nasrani sejati disuruh untuk mengikuti contoh teladan Kristus (bahasa Latin: imitatio Christi)? Karena saya bertitik tolak dari hipotesis bahwa sajak ini bertema ekaristi, saya menganggap mata di dalam ungkapan mata masa yang tidak terdaftar di dalam KBBI sebagai ‘yang terpenting’, ‘sesuatu yang menjadi pusat; yang di tengah-tengah benar’ (bandingkan ungkapan seperti mata kayu dan mata air). Terjemahan Oemarjati dalam bahasa Inggris sebagai “crucial moment” menurut saya sangat tepat: di sini mata masa memang merupakan ‘saat krusial’.[6]
Ungkapan di mata masa terasa agak aneh: menurut tata bahasa baku Bahasa Indonesia dewasa ini, kata depan di seharusnya dipakai untuk menandai tempat, sedangkan kata depan pada (yang sebenarnya searti dengan di) dipakai untuk menandai waktu.[7] Meskipun demikian, pada periode ini di juga sering digunakan untuk menandai waktu, misalnya ‘di zaman sekarang’, ‘di Senen’ atau ‘di waktu-waktu yang akhir ini’.[8] Di dalam disertasi pada tahun 1948 di Universitas Utrecht tentang preposisi dalam bahasa Melayu tradisional dan modern Roolvink menyatakan keterangan waktu dengan di bersama zaman, musim, siang hari, waktu dan masa.[9]
Perlu dicatat bahwa terbayang berasosiasi dengan berkaca pada larik sebelumnya. Kalau seseorang berkaca atau bercermin walhasil ‘bayangannya’ dilihatnya sendiri. Seandainya terbayang terang dianggap sebagai kesatuan, rupanya agak paradoksal. Morfem dasar bayang adalah ‘rupa (wujud) yang kurang jelas dalam gelap; sesuatu yang seakan-akan ada, tetapi sebenarnya tidak ada’. Sebaliknya, kata terang mengungkapkan ‘dalam keadaan dapat dilihat; nyata; jelas’. Paradoks, yaitu pernyataan yang seolah-olah bertentangan dengan kebenaran, menurut saya sangat cocok di sini: ekaristi dianggap oleh orang Katolik sebagai mukjizat dan misteri. Mukjizat merupakan ‘kejadian (peristiwa) ajaib yang sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia’.
Kata terbayang dijelaskan di dalam KBBI sebagai (1) ‘seakan-akan tampak’; (2) ‘tampak bayang-bayangnya’; (3) ‘sudah ada tanda-tandanya (akan berhasil dsb)’ dan (4) ‘dapat dilihat; tampak’. Oemarjati mengusulkan untuk menganggap terang di sini sebagai kata benda (‘keterangan’) dan terjemahannya di dalam Bahasa Inggris berbunyi “brightness is reflected at the crucial moment”.[10] Akan tetapi, saya menafsirkan terang sebagai keterangan adverbial (‘terbayang secara terang’ atau ‘terbayang dengan terang’). Apa yang tampak secara jelas pada saat krusial ini dinyatakan pada larik ke-10.
Oemarjati sudah membicarakan secara panjang lebar hampir segala kemungkinan interpretasi dan menentukan makna larik ini (walaupun ragu-ragu) sebagai “this immediately changes form”.[11] Saya setuju bahwa bertukar rupa harus dianggap sebagai kesatuan, tetapi di dalam tafsiran Oemarjati makna ini tidak jelas. Bahkan Oemarjati sendiri menulis: “Nor does it become clear here what ini, ‘this’, refers to”.[12] Ungkapan bertukar rupa tidak terdaftar di dalam KBBI, namun saya berpendapat bahwa formasi ini merupakan neologisme yang menguraikan istilah teologis ‘transubstansiasi’ (bahasa Latin: transsubstantiatio).[13] Ciptaan baru bertukar rupa dapat dianggap sebagai unsur ciri khas aliran ekspresionisme.[14] Menurut ajaran gereja Katolik, transubstansiasi adalah perubahan hakekat dari hosti (roti) dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus yang terjadi dalam perayaan ekaristi.[15] Dengan ikut perayaan ekaristi, orang beriman beroleh kesatuan dan kebersamaan dengan Yesus sendiri seperti diungkapkan dalam Injil Yohanes: “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku dalam dia” (Yoh 6:56).
Kata segera berkaitan dengan waktu, yaitu berarti ‘lekas; lekas-lekas; buru-buru; tergesa-gesa; cepat (tentang peralihan waktu)’. Mungkin ada hubungan dengan mata masa pada larik sebelumnya? Di dalam teologi Katolik memang ditekankan bahwa roti dan anggur secara langsung berubah menjadi Tubuh dan Darah Yesus. Kalau segera benar-benar dimaksudkan di sini, kata ini sepertinya mengacu kepada Tubuh mengucur darah yang disebutkan pada larik ke-7. Akan tetapi, menurut Jassin segera hanya merupakan salah cetak untuk segara.[16] Kalau begitu, pemakaian kata ini sesuai dengan kesukaan Chairil terhadap susunan terbalik, yaitu ini segara daripada segara ini. Sajak Isa hanya terdiri dari 39 kata dan di antaranya kata darah merupakan kata kunci yang paling sering dipakai (sampai enam kali). Perlu dicatat juga bahwa darah merupakan kata yang terpenting untuk rima dan dipandang dari sudut pola persajakan segara lebih cocok daripada segera. Kata segara yang diberi label ragam bahasa ‘kesusasteraan lama’ dalam KU dan KBBI berarti ‘laut(an)’ dan berhubungan dengan konsep ‘cairan’ yang dominan di dalam sajak ini. Misalnya, pada larik ke-6 ada ungkapan mendampar tanya yang aneh: yang dimaksudkan ‘mengemukakan/melemparkan pertanyaan’, tetapi kata mendampar berkaitan dengan laut. Bandingkan keterangan tentang dampar di dalam KBBI:

  • mendampar ‘mengempas; hanyut ke pantai’;
  • mendamparkan 1 ‘menghanyutkan dan mencampakkan ke darat; 2 melanggarkan (menabrakkan) perahu (kapal) ke dasar laut (karang dsb)’;
  • terdampar 1hanyut dan tercampak ke darat; 2 terlanggar pada dasar laut (karang dsb); kandas’.

Cucuran darah dari tubuh Yesus menggenang seperti laut: darah Anak Domba Allah harus tercurah agar setiap dosa umat manusia dapat dihapuskan (Yoh 3:16). Teringat betapa banyak dosa yang dilakukan oleh umat manusia, saya berpendapat bahwa kiasan segara bukan ungkapan yang berlebih-lebihan.
Saya setuju dengan interpretasi Oemarjati bahwa susunan kata mengatup luka dapat dianggap sebagai inversi dari luka mengatup, sehingga terjemahannya dalam bahasa Inggris berbunyi “the wound(s) closes (close)”.[17] Kata mengatup berarti ‘menutup rapat-rapat’, tetapi apa dimaksudkan dengan luka di sini? Oemarjati memberi dua kemungkinan, yaitu (1) luka pada tubuh Yesus atau (2) luka dalam arti simbolis sebagai ‘dosa’ umat manusia: “Though it is difficult to decide which alternative is the more likely, especially in view of the metaphorical meaning of luka – which might here be interpreted either as referring to the ‘wound(s)’ on Jesus’ Body in particular or, interpreting it within the context of Christianity, as symbolizing ‘sin’ – we prefer the first alternative”.[18] Saya berpendapat bahwa ambiguitas justru merupakan pokok puisi. Kemungkinan adanya makna atau penafsiran yang lebih dari satu bukan kelemahan dan tidak harus membatasi pembacaan.
Larik ke-12, yaitu aku bersuka, tidak begitu sulit: si aku lirik ‘berkeadaan senang (girang)’. Hubungan antara mengatup luka (larik ke-11) dan suka juga jelas: keadaan yang duka selesai, ajaran Injil dianggap oleh penganutnya sebagai ‘kabar gembira’. Istilah ekaristi berasal dari bahasa Yunani eucharistia yang berarti ‘berterima kasih’ atau ‘bergembira’. Jemaah Katolik percaya bahwa mereka yang menerima sakramen ekaristi dipersatukan dengan Yesus. Kehidupan seorang Nasrani sejati berlangsung dari satu misa ke misa berikutnya maka sajak ini bersifat siklis: larik 13-15 merupakan perulangan larik 1-3.
Berdasarkan informasi biografis oleh Jassin diketahui bahwa sajak Isa bersama dengan sajak Doa dipersembahkan Chairil Anwar kepada Wilfridus Josephus Sabarija Poerwadarminta (1904-1968) “yang dianggapnya sebagai Nasrani sejati dan pemeluk teguh di masa Jepang”.[19] Sebagai contoh untuk kata ‘saleh’ Pierre Labrousse di dalam kamusnya malah mengutip ucapan Ajip Rosidi bahwa “W.J.S. Poerwadarminta terkenal saleh di antara kawan-kawannya”.[20] Keterangan itu dapat semakin mengarahkan interpretasi sajak Isa ke aspek keagamaan. Padahal rupanya sajak Isa sudah sangat bersifat gerejawi dan menyebarkan bau dupa. Akan tetapi, puisi tidak dapat dianggap sebagai pencurahan isi hati yang spontan dan sejati belaka, ‘puisi emosi semata-mata’ dalam frasa Asrul Sani pada tahun 1948.[21]
Perlu ditekankan bahwa Chairil Anwar sendiri tidak beragama Katolik, namun paham tentang konvensi dan norma-norma sastra yang berlaku dalam aliran ekspresionisme di Eropa, terutama lewat sajak-sajak Marsman. Marsman sendiri keturunan keluarga Protestan yang taat, namun dia sebentar mencondongkan hatinya ke agama Katolik dan menurut suatu biografi sastrawan Belanda dia “seumur hidup bergulat dengan Allah”.[22] Banyak sudah ditulis tentang pengaruh penyair-penyair asing atas karya Chairil Anwar, tetapi pada umumnya tanpa menyadari bahwa setiap penulis adalah sekaligus pembaca juga. Chairil Anwar meneladani Marsman, namun Marsman terpengaruh oleh banyak penyair lain lagi, antara lain tokoh-tokoh Jerman seperti Trakl, Stramm dan Heynicke yang pada gilirannya juga terpengaruh oleh banyak penyair lain lagi dan seterusnya berturut-turut, tiada habis-habisnya.[23] Menurut saya sajak Isa terpengaruh oleh aliran ekspresionisme dengan tema ciri khas tentang jagat raya, yaitu tema bahwa Allah, si aku lirik dan semua yang ada saling menyatu. Tema pemersatuan kosmos itu, yaitu pembauran alam semesta, berulang kali diterapkan di dalam sajak-sajak penyair Kurt Heynicke (1891-1985) dan Franz Werfel (1890-1945), tetapi anehnya justru tidak ada di dalam puisi Marsman.[24]
Tuduhan para kritikus Indonesia bahwa puisi Chairil Anwar terlalu kebarat-baratan juga dapat diputarbalikkan: boleh jadi pembaca Indonesialah yang pada umumnya terlalu keindonesia-indonesiaan. Chairil Anwar mengetahui konvensi penulisan sastra Barat, namun konvensi pembacaan sastra sampai sekarang berbeda di Barat dan di Indonesia. Pembaca sastra di Barat dididik di sekolah bahwa penulis darah daging belum tentu mencerminkan penulis dalam teks. Bagaimana mungkin fakta-fakta biografis dapat digali dari sumber yang berasal dari alam khayal? Seorang seniman yang menghasilkan karya yang jelas-jelas otobiografis pun tetap tidak dapat dipercaya – begitulah wanti-wanti yang disampaikan guru kepada muridnya di Barat. Akan tetapi, seperti pernah dicatat Teeuw, di Indonesia rata-rata “puisi pertama-tama dipandang sebagai sarana atau jalan untuk mendalami jiwa seniman; dan si aku dalam puisi biasanya secara otomatik diidentikkan dengan kedirian penyair”.[25] Teeuw menulis bahwa di Indonesia “[j]arang ada tulisan atau pandangan kritik mengenai puisi Chairil Anwar yang tidak mempersamakan aku-nya dalam berbagai sajak, khususnya sajak Aku, dengan kepribadian Chairil”.[26] Oleh karena adat kebiasaan pembacaan puisi di Indonesia itu dapat dimengerti mengapa para komentator Indonesia biasanya tidak begitu berkonsentrasi pada teks sendiri namun lebih mengutamakan penciptanya: ‘Chairil begini dan begitu’. Maka tidak mengherankan bahwa seorang pakar sastra dari Indonesia pernah mengemukakan bahwa sajak Isa merupakan ungkapkan pribadi si penyair tentang keragu-raguan agamawinya: sajaknya menyatakan “pergolakan Chairil Anwar dalam berusaha mencari Tuhannya”.[27] Ajip Rosidi yang lebih hati-hati daripada kebanyakan peminat sastra Indonesia menulis bahwa Chairil Anwar melalui sajaknya Aku

memperlihatkan diri sebagai seorang individualis. Namun dalam sajak-sajaknya yang lain, ia pun memperlihatkan pula dirinya sebagai seorang yang sangat religius (misalnya “Do’a” dan “Isa”), seorang patriot (misalnya “Persetujuan dengan Bung Karno”, “Diponegoro”, “Krawang Bekasi”, dan lain-lain), seorang yang kesepian (“Hampa”), seorang yang romantis (“Senja di Pelabuhan Kecil”) dan lain-lain.[28]

Kata kunci dalam penilaian Ajip Rosidi tentang Chairil Anwar adalah “memperlihatkan diri”: penyair tersebut seperti bunglon yang pendiriannya tidak dapat diketahui dengan pasti. Aku dalam Aku bukan Chairil Anwar sendiri dan pengertian ini berlaku bagi puisinya secara menyeluruh.
Pandangan saya terhadap puisi Chairil Anwar tentu saja diwarnai kacamata buatan Barat yang saya pakai, tetapi mengapa sajak-sajaknya hanya harus diartikan sebagai anekdot saja? Sebaiknya sajak tidak dicampuradukkan dengan cerita singkat yang mengesankan berdasarkan kejadian yang benar. Seperti dalam peribahasa Melayu: Sungguh berjanggut tiada berjubah atau – demi kesetaraan gender – sungguh bersubang tidak berdara.[29] Orang Nasrani sejati dipersilakan membaca Mat 7:21-23; Luk 6:46.






E.P. Wieringa adalah Guru Besar dalam bidang Bahasa dan Sastra Indonesia dan Pengkajian Islam di Universitas Cologne, Jerman.



[1]Definisi ini diambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (KBBI), edisi empat (pemimpin redaksi Dendy Sugono), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm. 354. Di dalam analisa berikutnya buku rujukan itu selalu dipakai sebagai sumber terpenting untuk penjelasan kata-kata di dalam sajak Isa. Definisi-definisi KBBI yang saya pakai akan muncul dalam tanda kutip, tetapi saya kira tidak perlu untuk menyebutkan nomor halaman pada catatan kaki. Kadangkala saya juga merujuk kepada pendahulu KBBI, yaitu Kamus Umum Bahasa Indonesia (KU) yang tersusun oleh W.J.S. Poerwadarminta, diterbitkan di Jakarta oleh Balai Pustaka, tahun 1966, cetakan keempat.

[2]Oemarjati, Chairil Anwar, hlm. 127-129.

[3]Segala kutipan dari Alkitab diambil dari edisi Lembaga Alkitab Indonesia (Jakarta 1990) yang diterima dan diakui oleh Konperensi Waligereja Indonesia.

[4]Teeuw mengemukakan interpretasi yang lain lagi: “Biasanya kata mengucur dipakai secara intransitif, tidak memakai obyek, sedangkan subyeknya selalu zat cair (air mata, darah, hujan). Dalam sajak Isa Chairil Anwar membalikkan makna tatabahasa kata mengucur, semacam defamiliarisasi, meniadakan yang sudah terbiasa. Bukan darah yang mengucur lagi, tetapi tubuhlah yang mengucur, lagi pula ditambahkannya obyek darah ini memang penyimpangan yang menjadikan kata ini segar-hidup dan menambah efek puitisnya”. Lihat hlm. A. Teeuw, 1983, ‘Sudah larut sekali. Chairil anwar: Kawanku dan Aku’, di dalam bukunya Tergantung pada kata. Sepuluh sajak Indonesia, Jakarta: Pustaka Jaya [cetakan kedua], hlm. 17.

[5]Rakhmat Joko Pradopo, 2009, Pengkajian puisi: analisis strata norma dan analisis struktural dan semiotik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press [cetakan ke-11], hlm. 176.

[6]Oemarjati, Chairil Anwar, hlm. 72.

[7]Lihat misalnya J.S. Badudu, 1976, Pelik-pelik Bahasa Indonesia, Bandung: Pustaka Prima [cetakan keempat], hlm. 117-118. Badudu, Pelik-pelik, hlm. 118 juga mengkritik bahwa aturan tersebut “sangat diabaikan orang”, bahkan pengarang-pengarang terkenal menggunakan ungkapan seperti ‘di malam hari’ atau ‘di pagi yang cerah’.

[8]Contoh tersebut diambil dari Roelof Roolvink, 1948, De voorzetsels in klassiek en modern Maleis, Dokkum: Kamminga [disertasi Universitas Utrecht], hlm. 87.

[9]Roolvink, De voorzetsels in klassiek en modern Maleis, hlm. 87.

[10]Oemarjati, Chairil Anwar, hlm. 72.

[11]Idem, hlm. 70-72.

[12]Idem, hlm. 71.

[13]Anehnya, istilah ‘transubstansiasi’ belum masuk KBBI.

[14]Bandingkan Postma, Marsmans ‘Verzen’, hlm. 268.

[15]Untuk pembicaraan gagasan transubstansiasi lihat lemanya di dalam Catholic Encyclopedia yang dapat diakses melalui internet lewat http://www.newadvent.org/cathen/05573a.htm#section3.

[16]Lihat Oemarjati, Chairil Anwar, hlm. 145 catatan nomor 42.

[17]Oemarjati, Chairil Anwar, hlm. 73.

[18]Idem.

[19]Jassin, Chairil Anwar, hlm. 49.

[20]Pierre Labrousse, 1984, Dictionnaire général indonésien-français, Paris: Association Archipel, hlm. 710.

[21]Kutipan Asrul Sani dari Nirwan Dewanto, ‘Situasi Chairil Anwar (6)’, diposkan di lamannya pada tanggal 11 Mei 2011, http://nirwandewanto.blogspot.com/2011/05/situasi-chairil-anwar-6.html.

[22]G.J. van Bork dan P.J. Verkruijsse (peny.), 1985, De Nederlandse en Vlaamse auteurs van middeleeuwen tot heden met inbegrip van de Friese auteurs, Weesp: De Haan, hlm. 375 [dapat diakses melalui internet lewat http://www.dbnl.org/tekst/bork001nede01_01/bork001nede01_01_0842.php]

[23]Ton Anbeek, 1990, Geschiedenis van de Nederlandse literatuur 1885-1985, Amsterdam: Arbeiderspers, hlm. 128-129.

[24]Postma, Marsmans ‘Verzen’, hlm. 275.

[25]Teeuw, Sastra, hlm. 168.

[26]Idem.

[27]Lihat interpretasi Bani Sudardi, Tonggak-tonggak, hlm. 110.

[28]Ajip Rosidi, 1987, Puisi Indonesia modern, Jakarta: Pustaka Jaya, hlm. 82.

[29]Celakanya, kedua peribahasa tersebut tidak ada di dalam KBBI! Akan tetapi, pepatah pertama terdaftar dengan nomor 658 di dalam buku rujukan Peribahasa yang disusun K. St. Pamuntjak, N. St. Iskandar dan A. Dt. Madjoindo, Djakarta: Balai Pustaka [1949, cetakan ketiga], hlm. 98 dan dijelaskan sebagai “Keadaan seseorang yang sebenarnya tidaklah seperti yang diperagakannya”. C.C. Brown, 1951, Malay sayings, London: Routledge and Kegan Paul, hlm. 152 menerjemahkan peribahasa ini sebagai “He may have the beard, but he hasn’t the cassock, of a holy man” dengan penjelasan “Not all he professes to be” (varian: sudah berjanggut tidak berjubah dan sungguh berserban tidak berjubah). Anehnya, peribahasa kedua tidak ada di dalam buku susunan ketiga ahli Minangkabau yang dikutip di atas, tetapi malah ada di dalam Brown, Malay sayings, hlm. 5 dan 151.


sumber: horisononline.or.id