Memahami "Baik" Sebagai "Baik"

Sangat memprihatinkan melihat begitu mudahnya terjadi polemik yang berkepanjangan dan disertai hujatan-hujatan terhadap pihak-pihak tertentu. Banyak orang yang berpikir terlalu tinggi dengan menggunakan pengetahuan-pengetahuan canggih level tinggi, tetapi malah melupakan sesuatu yang bersifat esensial dan sangat mendasar. Salah satunya adalah mengenai apa itu “baik”.

Semua orang mengenal kata “baik” dan sangat terbiasa dengan penggunaannya dalam pembicaraan sehari-hari. Sedangkan untuk mendefenisikannya, berbeda orang pasti berbeda pula kriteria-kriteria yang dia punya untuk dirangkum oleh kata “baik” tersebut. Ada yang mengatakan, “baik” dengan kriteria-kriteria ringan seperti: suka memberi, suka menolong orang lain, rajin beribadah, patuh terhadap agama, tidak pelit, tidak kikir, dan lain sebagainya. Sementara, sebagian orang lain pula mendefenisikannya lebih ekstrim dengan menambahkan kata “harus” (walau terkadang secara implisit) di depan kriteria-kriteria yang dia kemukakan, seperti: harus beragama seperti saya, harus punya pandangan seperti saya, harus mematuhi aturan-aturan yang saya setujui, harus sepaham, harus begini-begitu, dan lain sebagainya.

Pendefenisian kata “baik” sangat mempengaruhi cara-cara seseorang dalam menyikapi sesuatu. Sebagian orang hanya membatasi diri untuk tidak melakukan sesuatu yang berbeda dengan kriteria-kriteria yang dia usung. Tetapi ada juga yang cenderung memaksakan defenisi “baik” yang sesuai dengan kriterianya sebagai acuan yang valid untuk semua kalangan. Pada akhirnya, ada yang mengagumi sosok atau hal-hal tertentu, mengikuti ajaran-ajaran tertentu, atau memuji sikap-sikap tertentu. Namun, ada pula yang kemudian menutup diri dari hal-hal tertentu, memberikan cap terhadap hal-hal tertentu, mengutuk hal-hal tertentu atau bahkan memerangi hal-hal tertentu.

Walaupun defenisi dengan kriteria ringan di atas cenderung lebih lembut daripada kriteria ekstrim, kedua cara pendefenisian dan cara menyikapi kata “baik” yang berbeda di atas mempunyai potensi terciptanya paham yang “anti” dan “fanatik”. Jika sudah demikian, maka benturan yang terjadi antara penganut paham “baik” yang satu dengan paham “baik” lainnya akan menjadi akar kuat dalam terjadinya sebuah polemik, pertentangan, atau bahkan konflik.

Lalu, bagaimana seharusnya kita mendefenisikan dan menyikapi kata “baik”?
Saya tertarik dengan uraian dan defenisi yang dikatakan secara teoritis dan filosofis oleh seorang filsuf Inggris kenamaan, George Edward Moore. Dalam uraiannya, beliau membuat sebuah analogi yang masuk akal antara “baik” dan sebuah warna primer, kuning. Kecuali yang memang buta warna, kita pasti mengenal warna kuning.

Kita bisa mengenal mana balon berwarna merah, dan mana balon yang berwarna kuning, kita juga bisa katakan bunga matahari berwarna kuning, tetapi adakah cara kita untuk mendeskripsikan warna kuning dengan defenisi yang lebih sederhana? Kuning itu apa? Jawaban kita yang paling mungkin adalah bahwa kuning itu adalah sejenis warna.

Tetapi, bukankah itu masih terlalu luas? Berbeda jika kita menganalisa warna sekunder lain seperti hijau, orange, ungu, dll. Kita dapat mendefenisikan hijau dengan hasil perpaduan kuning dan biru; orange sebagai warna perpaduan merah dan kuning, ungu sebagai perpaduan merah dan biru. Karena tidak adanya cara mendefenisikan “kuning” untuk mewakili sifat-sifat tertentu, maka cara yang paling tepat adalah dengan mengatakan kuning adalah kuning.

Demikian juga dengan kata “baik”. Moore mengkategorikan “baik” sebagai salah satu sifat primer yang tidak bisa direduksikan lagi dengan lebih mendasar, sama seperti “kuning”. Oleh karena itu dia (baik) tidak bisa dijelaskan dengan sebuah defenisi tertentu, melainkan hanya dengan kriteria-kriteria tertentu yang sifatnya relatif. Karena itu, sebagai kesimpulan akhir, Moore menegaskan bahwa “baik” adalah “baik”. Pendefenisian kata baik sebagai sifat primer, menurut Moore, hanya akan membawa kita pada sebuah kesalahan mendasar.

Memberikan kriteria-kriteria tertentu terhadap kata “baik” itu merupakan hal yang wajar-wajar saja. Yang tidak wajar adalah ketika kita medeskripsikannya secara keras dan mutlak, lalu memaksakan orang lain untuk memiliki kriteria-kriteria yang sama. Ini adalah kesalahan mendasar yang menyebabkan seseorang memiliki prasangka yang buruk terhadap sesuatu atau orang lain yang tidak sesuai dengan kriteria-kriterianya. Jika sudah demikian, maka konflik akan semakin mudah tersulut di antara dua pihak yang sama-sama ngotot pada kriteria-kriteria yang terlanjur mereka batasi tersebut.

Solusi sebagai jalan tengahnya menurut saya adalah menggunakan hak-hak kita dalam membuat kriteria-kriteria sendiri tentang apa “baik”, tetapi juga memahami dan memaklumi kriteria-kriteria “baik” yang dibuat dan dipahami orang lain sebagai acuan. Sebuah toleransi dalam berinteraksi dengan orang lain yang memiliki paham berbeda. Mengunci kriteria-kriteria tertentu tanpa kemungkinan untuk meluas berarti kita menutup diri dari perkembangan pemahaman yang lebih kaya. Mengkerdilkan diri sendiri.

Agama dan norma-norma dalam kehidupan sosial sudah mengajarkan kita tentang apa yang “baik”. Lakukan saja kriteria-kriteria tersebut tanpa harus menutup diri dari kriteria-kriteria orang lain. Saling memahami, memaklumi dan menerima perbedaan adalah jalan menuju perdamaian. (ZZ)

Janda Pejuang: Lagu Menunggu Pulang

Kau yang memahami tingginya rindu–tertinggal di gunung
di antara aroma tusam yang memantik kesendirian
membiarkan layap angin membawa bait-bait sajakmu
bersama nyala tungku, sisir di dipan dan anyaman tikar
di senja yang diam kau menunggu dekat jendela
dengar, lagu hujan, lembut diiringi kecapi tali dua
sayup, suara nyanyian bedil berputar di rekaman kepala
hari itu dia masih pulang, membawa genangan air mata dan tawa
padamu dia ceritakan dua nyawa: Belanda!
memucat di ujung bambu yang kau asah dengan tarian tanganmu.

Dengannya kau habiskan malam dengan nembang syair-syairmu
erkata bedil, i kuta medan ari o turang
ngataken kita lawes erjuang ari o turang

kau antar titik-titik air yang merabas dari risau tidurnya
mimpi nyawa-nyawa yang hilang, mimpi darah, mimpi lelah!
sampai ketika kokok jantan–kau kepul asap di bawah para-para
ketika cerita yang terselip di jendela dan anyaman harus berulang
kau menunggu. bersama aroma getah tusam dan nada rindu
lagu kesendirian yang kembali dilayap angin dari antara pucuknya
hingga senja itu. dia berhenti untuk pulang: tanpa cerita.

rona matahari sudah berganti muka di senja berwajah sama
Kau teruskan anyaman, tanpa menyerah pada mata yang lelah
lumat-lumat pinang, gambir, menjadi satu di mulutmu
lagu-lagu itu masih kau runut di sela kunyahan sirih,
sesekali menyeka air merahnya yang mengalir di keriput wajahmu
tanpa dentingan jari yang beradu senar kecapi tali dua, lagi
kau menunggu waktu pulang, kembali padanya dan pada-Nya.
**
:: nenekku, aku rindu..

catatan:
erkata bedil i kuta medan ari o turang
ngataken kita lawes erperang ari o turang …
== Syair lagu “Erkata Bedil”==
terdengar suara senapan, o turang
tandanya kita akan pergi berperang, o turang
==
turang : panggilan kepada orang tersayang (dalam hubungan pasangan). Juga panggilan perempuan kepada saudara lelaki, dan sebaliknya.

___________
zoel z'anwar

Pulanglah, Perantau!

Lidah angin kelu sudah di gogohnya persada
di penghujan yang bercerita hambur balada picisan
sejenak naik meruap di puncak gunung-gunung cita
lalu tumpah beludak sepanjang bukit barisan

murka langit menjadi ladang jemu semua murba
tertimbun enggan karena laung tak lagi bergaung
tanah tak lagi kawan, sawah ladang durja bahala
keringlah sudah kata gabah di lumbung-lumbung

sejak itukah kau putuskan menjadi perantau jauh?
melupakan coreng-moreng wajah duka nusantara
yang seharusnya kau basuh dengan cucuran peluh
dan menjadi rumah di mana kau lisankan bangga

tanah ramai ini kini sepi sudah berkalang mimpi
sejak hari bertunas dan gugur daun hanya elegi
di kelu lidah angin, gubug-gubug berkisah reyot
di halaman tak berbunga, hujan membawa basat

maka pulanglah, perantau, pulang!
sebelum khianat menjadi luka dahi yang lekat
maka pulanglah, perantau, pulang!
menapiskan kembali butiran daya, bersama.
______________________
zoel z'anwar

Rindu di Kabin

Untukmu,
yang pernah membekas lelah di semburat kaca
lesung pelupuk, busung dada hingga seraut wajah
lantamkan lagu tentang jemari yang mendamba
bertaut hingga dermaga tertentu arah

cerita kita jadilah cerita pergi dan kembali
melepas surih di balik kelambu dan seprai basah
melempar sauh ketika rindu menggili-gili naluri
kembali melayar dua tubuh yang seluruhnya terdedah

sekali waktu itu kita menjejak-jejak lupa
menjadi cawan kosong yang kau aliri desah
sejak senja kita–juga berhenti di balik palka
di kabin kita menggelayuti ombak tanpa jengah

petiklah kecapi dan biarkan aku menari
menemani sisa-sisa nafas yang tertinggal pergi
bersama uap aroma anggur
dengannya kita pernah lebur-melebur

dari kabin rindu memanggil sampai nanti kau kembali
seturut rekah bibir pemasak debar lelaki
membawa seribu deru ombak-ombak berpagut
bersamamu, mengarungi seluruh laut

melepas ingatan yang kembali terlecut
dua nafas beradu
renggut-merenggut
di dalam kabin di balik kelambu

Hak, Kewajiban, Tanggung Jawab dan Kode Etik Penyunting (Editor)


1. Kewajiban Seorang Editor
Hal-hal yang perlu di perhatikan oleh editor atau penyunting sebagai tugasnya adalah:
  • Mengetahui proses komunikasi dalam fungsinya sebagai penghubung antara penerbit dan penulis.
  • Mampu mengevaluasi naskah. 
  • Memahami seluk beluk percetakan naskah menjadi terbitan.
  • Mengerti apa yang diinginkan pembaca.
  • Menguasai bidang ilmu yang dibahas dalam karya ilmiah. 
  • Mengembangkan kemampuan secara kontiniu hingga mempunyai kemampuan bahasa yang tinggi.
  • Mengolah naskah sampai menjadi suatu bahan yang siap cetak dan mengawasi pelaksanaan segi teknis sampai naskah tersebut terbit.
2. Hak
Dalam keseluruhan proses mulai dari penerimaan, penyuntingan, hingga diterbitkannya sebuah naskah, penyunting atau editor memiliki hak untuk:
  • Menggariskan kebijakan dalam menentukan tingkat keteknisan berkala yang diasuhnya. 
  • Memberi petunjuk pada penulis naskah untuk diikuti demi kelayakan sebuah naskah.
  • Menentukan penampilan sebuah majalah, buku, atau karya ilmiah mulai dari ukuran kertas, berikut tata letak perwajahan, serta tebal atau jumlah halaman pernomor atau perjilid.
  • Mengarahkan dan memformulasikan gaya penulisan, gaya selingkung yang mutlak harus diikuti demi kekonsistenannya.
  • Memperbaiki, merevisi, mengatur kembali isi, dan menyelaraskan atau terkadang mengubah gaya karya ilmiah yang diajukan seseorang untuk diterbitkan.
3. Tanggungjawab
Sebagai pihak yang menerima, mengolah dan memiliki hak dalam pengubahan naskah yang akan diterbitkan, maka para editor atau penyunting juga harus:
  • Bertanggungjawab penuh terhadap isi naskah, kesalahan isi dan penyelewengan bahasa di dalam naskah yang telah diterbitkan.
  • Bertanggung jawab untuk memahami kode etik cara bersikap dan bekerja.

Kode Etik Penyunting
  1. Tujuan utama pekerjaan seorang editor adalah mengolah naskah hingga layak terbit sesuai dengan patokan pembakuan yang digariskan dan dipersyaratkan.
  2. Seorang editor perlu memiliki pikiran terbuka terhadap pendapat-pendapat baru yang mungkin bertentangan dengan pendapat umum.
  3. Seorang editor tidak boleh memenangkan suatu pendapat miliknya atau orang lain.
  4. Merupakan tindakan kriminal jika seorang editor mendiamkan suatu naskah atau menggunakan pengetahuan yang diperolehnya dari naskah tersebut untuk menerbitkan tulisan serupa atas namanya sendiri.
  5. Seorang editor harus merahasiakan informasi yang terdapat dalam naskah agar gagasan, pendekatan, metode, hasil penemuan dan simpulannya tidak disadap orang lain. 
  6. Editor bekerja dengan disiplin waktu yang ketat dalam mengolah naskah dan menjadwalkan penerbitan agar tidak merugikan orang lain.
  7. Editor harus jujur pada diri sendiri kalau tidak mampu untuk menilai sebuah naskah.
  8. Hak dan wewenang yang besar yang diberikan kepada editor ditujukan untuk memajukan ilmu dengan melancarkan arus informasi, bukan untuk disalahgunakan. 
  9. Seorang editor hanya bertanggungjawab terhadap bentuk formal penerbitan. Hanya pengarangnyalah yang bertanggungjawab penuh terhadap isi dan segala pernyataan dalam karangannya.
  10. Secara resmi, editor tidak memiliki hak atas kredit apa pun dari suatu karya yang terbit.
  11. Seorang editor harus bertindak sebaik-baiknya sesuai dengan apa yang ia ketahui, sesuai dengan apa yang dia yakini, dan sesuai dengan kemampuan yang dia miliki.
  12. Editor wajib memberi surat tanda tibanya sebuah naskah dan menyidangkan apakah naskah tersebut diterima atau ditolak.
  13. Dalam menelaah dan mengevaluasi naskah, seorang editor harus dapat memberikan alasan yang jelas terhadap perubahan pada naskah.
  14. Editor harus mempertahankan gaya tulisan penulis jika maksud si penulis sudah jelas dan teksnya tidak bertele-tele. Walaupun terkadang gaya tersebut tidak sesuai dengan selera si editor.
  15. Seorang editor tidak dibenarkan mengubah karya seorang penulis hanya untuk menyesuaikannya dengan gaya kalimatnya sendiri.
  16. Seorang editor wajib melakukan perubahan pada naskah dan dengan hati-hati agar tidak terjadi pelencengan makna yang dimaksudkan penulisnya.
  17. Apapun yang terjadi, seorang editor harus selalu berpihak pada penulis.
  18. Menilai kelayakan sebuah naskah dengan seobjektif dan sejujur mungkin.

Peranan Editor

1. Dalam Proses Penerimaan Naskah
Begitu sebuah naskah sampai ke tangan seorang editor, maka setelah editor tersebut melakukan pemberitahuan kepada pengirim naskah tentang sampainya naskah tersebut, maka yang selanjutnya dilakukan adalah:
  • Pencatatan Penerimaan Naskah Secara Lengkap.Catatan tersebut sebaiknya berisi: tanggal penerimaan naskah, cara ketibaan naskah tersebut (pos, kurir, atau diserahkan secara lansung oleh si penulis), jumlah rangkap atau kopi yang diserahkan, nama dan alamat pengarang, judul naskah, jumlah halaman naskah, jumlah gambar dan lampiran lain dan catatan awal kelengkapan naskah. Setelah itu, naskah di arsipkan dengan sistem pendataan yang digunakan.
  • Pemeriksaan Pendahuluan atau Baca Pertama. Dalam pemeriksaan pendahuluan: dilakukan oleh seorang editor utama untuk memeriksa kesesuaian dengan bidang kekhususan atau kebijakan penerbit, kelengkapan naskah, kelayakan secara teknis, dan kemudian memeriksa bobot atau mutu naskah dengan menggunakan jasa penelaah, dan kemungkinan buku tersebut dibeli orang.
  • Memutuskan Naskah Tersebut Diterima, Diperbaiki, atau Ditolak. Diterima atau tidaknya sebuah naskah untuk diterbitkan, ditentukan oleh kesimpulan penelaah dan hasil sidang redaksi. Naskah yang inilai layak terbit tanpa perbaikan dan dengan perbaikan ringan dapat segera disunting untuk diterbitkan. Naskah yang tidak layak terbit atau memerlukan banyak perbaikan, dikembalikan kepada si pengarang dengan melampirkan hasil ulasan penelaah dan latar belakang penolakan tersebut.

2. Dalam Pengolahan Naskah untuk Percetakan
Setelah naskah dianggap dan diputuskan layak untuk diterbitkan, maka para editor harus melakukan hal-hal berikut ini:
  • Penyuntingan Tahap Pertama (Kejelasan Penyajian)
Pada tahap ini, editor memeriksa masalah komunikasi agar keseluruhan isi naskah dapat dengan jelas diterima pembaca. Melakukan perubahan mendasar pada naskah seperti membuang beberapa paragraph, atau menambahkan beberapa kalimat untuk memperjelas makna yang kabur.
  • Penyuntingan Bahasa demi Kesesuaian.
Pada tahap ini, editor memeriksa dan melakukan perbaikan pada kesalahan tata bahasa, baku atau tidaknya pengejaan, susunan kalimat, kejelasan gaya bahasa, penggunaan tanda baca, ketelitian fakta, legalitas dan kesopanan, konsistensi ejaan, transliterasi, penulisan singkatan penggunaan bentuk alternatif, penulisan kata majemuk, penggunaan huruf kapital, kapital kecil, kursif dan kesalahan-kesalahan kecil lainnya. 
  • Penanganan Kopi Naskah buat Percetakan
Pada tahap ini, editor melakukan pemeriksaan dan perbaikan penting pada kopi naskah yang terakhir, sebelum naskah akhirnya diserahkan kepada bagian percetakan untuk diset. Editor dengan konsisten memeriksa kembali kesalahan mendasar seperti pemakaian huruf kapital, penggunaan tanda baca, termasuk juga pengubahan anak judul yang tidak sesuai, penomoran dan daftar pustaka, dll.
Dalam proses ini, seorang editor harus mengerjakan penyusunan naskah yang terdiri dari tujuh hal penting. Tujuh hal yang harus menjadi perhatian utama dari seorang editor ini, adalah:
  1. Dapat dibaca. Seorang editor, dengan cara sedemikian rupa harus menyusun naskah agar dapat dibaca secara visual manusia, tetapi juga mesin pencetak. 
  2. Ketetapan atau konsistensi. Selain mengerjakan tugas utama untuk mengoreksi sebuah naskah, seorang editor juga harus mampu membuat ketetapan-ketetapan dalam pemilihan bentuk ejaan yang berganti-ganti, tanda baca yang digunakan, singkatan, istilah asing, keseragaman untk tabel, catatan kaki halaman, dll. Bahkan jika terdapat dua bentuk ejaan yang benar, pengarang sebaiknya menetapkan satu ejaan saja untuk digunakan. Ejaan yang tidak akan berubah dalam keseluruhan naskah.
  3. Tata bahasa. Seorang editor harus menerapkan tata bahasa yang baik pada naskah, tanpa mengubah tata bahasa dan gaya mendasar bahasa pengarang yang mungkin akan mempengaruhi gagasan yang ingin disampaikan pengarang.
  4. Kejelasan dan gaya bahasa. Gaya bahasa adalah sesuatu yang dianggap sebagai dasar pokok yang melekat pada seorang pengarang dan selayaknya diterima adanya bersamaan dengan naskah yang dituliskannya. Seorang editor dalam hal ini, sedapat mungkin harus berusaha untuk memberikan kejelasan naskah tanpa merusak gaya bahasa pengarang. 
  5. Ketelitian fakta. Seorang editor harus melakukan pengecekan fakta-fakta yang meragukan dalam naskah. Misalnya dalam naskah dikatakan bahwa, tinggi bangunan tertua di kota Medan adalah sekitar 180 meter, sementara selama ini editor tersebut tidak pernah mengetahui bahwa ada bangunan setinggi itu di kota tersebut, maka dia harus menemukan fakta seteliti-telitinya. Mungkin satuan meter dalam naskah tersebut seharusnya adalah kaki. 
  6. Legalitas dan kesopanan. Seorang editor naskah bertanggung jawab kepada penerbit untuk memeriksa secara terperinci segala hal dalam naskah yang kemungkinan bertentangan dengan hukum Negara atau kebijakan usaha penerbitan tersebut mengenai kesopanan dan kepantasan.
  7.  Perincian produksi. Editor juga memperkirakan biaya produksi melalui rincian bentuk buku yang diinginkan. Mulai dari jumlah halaman secara lengkap, jenis huruf, gambar ilustrasi, jenis kertas dan lainnya.

3. Dalam Proses Pencetakan
Kopi naskah yang sudah disunting oleh para editor kemudian diserahkan pada setter dan untuk melakukan pewajahan buku yang akan memasukkan hasil suntingan terakhir. Editor memberi instruksi untuk tipe, bentuk dan ukuran huruf melalui tanda-tanda koreksi dalam suntingan tersebut. Setelah itu cetak gulung (galley proof) atau cetakan uji coba untuk kemudian diperiksa oleh editor.
  • Contoh cetak gulung dan contoh halaman. 
Setelah dilakukannya cetak gulung, maka tugas para editor, atau korektor yang ada percetakan besar untuk memeriksa kesalahan tipografi, mendeteksi penyimpangan terhadap perintah dalam kopi tersunting dan menemukan kesalahan pengesetan.
  • Koreksi contoh cetak. 
Hasil contoh cetak yang sudah diperiksa akan dikembalikan lagi pada penyunting sebanyak tiga kopi. Satu akan dijadikan kopi induk, satu lagi dikoreksi kembali dan yang satu lagi untuk si pengarang. Setelah mengoreksi kembali naskah yang telah di cetak coba maka naskah diserahkan kembali kepada percetakan untuk dicetak terbitkan.

Blusukan dan Penyamaran Pejabat: Era Baru Pemerintahan Merakyat.



Fakta bahwa begitu fenomenalnya Jokowi yang digadang-gadang sebagai pemimpin ideal Republik Indonesia di masa depan tidak terlepas dari kedekatannya dengan rakyat melalui tenik yang dikenal dengan “Blusukan”. Jokowi keluar-masuk kampung di wilayah DKI untuk mengamati dan mendengarkan aspirasi warga secara langsung. Melalui “blusukan” nama Jokowi pun melambung dan mendapat apresiasi yang bukan hanya datang dari warga Jakarta sebagai wilayah kepemimpinannya, tetapi juga dari rakyat Indonesia yang merindukan sosok pemimpin yang merakyat.

Sebelumnya, walaupun tidak setenar setelah kemunculan blusukan Jokowi, hal ini juga pernah dilakukan, walaupun dengan cara dan metode berbeda. 

Sri Sultan Hamenkubuwono IX, Presiden Soekarno, dan Presiden Soeharto.
Strategi penampungan aspirasi dengan cara blusukan Jokowi memang bukan yang pertama di dunia pemerintahan Indonesia. Jauh  sebelum Jokowi, Siri Sultan Hamenkubuwono IX, Presiden Ir. Soekarno dan Presiden Soeharto juga sudah melakukannya pada era kepemimpinan mereka. Tetapi mereka melakukan metode berbeda. Jika Jokowi dalam setiap agenda blusukannya dilakukan secara terbuka, maka Sultan Hamengkubuwono IX, Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto melakukannya dengan metode penyamaran atau dikenal juga dengan sebutan incognito. Berbeda metode, namun dengan tujuan yang sama; untuk lebih mengerti kebutuhan dan keluhan rakyat, lalu mengadakan pembenahan. 

PM Norwegia sampai Presiden China
Belakangan ini beberapa penyamaran juga dilakukan oleh pejabat-pejabat luar negeri. Yang teranyar adalah penyamaran yang dilakukan oleh PM Norwegia, Jens Stoltenberg pada akhir Juni yang lalu. Stoltenberg menyamar sebagai sopir taksi untuk mendengarkan secara langsung aspirasi rakyatnya dengan memperbincangkan masalah isu-isu politik sembari mengantarkan penumpangnya ke tujuan. Terlepas dari anggapan bahwa hal ini dilakukan dengan tujuan pencitraan dan kampanye Stoltenberg terhadap pencalonannya kembali sebagai perdana menteri, langkah penyamaran ini bisa dilihat sebagai kemajuan pola pikir kepolitikan seorang pemimpin.

Selain Stoltenberg, Presiden China, Xi Jinping, juga pernah diberitakan melakukan penyamaran untuk mencitrakan dirinya sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyatnya. Orang nomor satu Negeri Tirai Bambu tersebut melakukan penyamaran dengan bepergian dengan menggunakan taxi, bulan Mei yang lalu. Xi, yang tidak dikenali sang sopir taxi, mendengarkan keluhan sang sopir secara langsung tentang pencemaran udara yang semakin parah di Negara Komunis tersebut dan keluhan-keluhan lainnya. Ketika akhirnya penyamarannya terbongkar dan sopir taxi tersebut memuji dirinya sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat, Xi secara sederhana mengatakan, “Semua orang itu setara. Saya juga datang dari kelas akar rumput.”

Pemerintahan Merakyat
Dengan menjadi warga biasa, hidup ditengah warga lainnya, dan mengetahui pandangan warga terhadap pola kepemimpinannya, seorang pemimpin akan lebih mengerti aspirasi warga mengenai sosok pemimpin ideal, isu-isu yang membutuhkan penanganan, dan metode penanganan yang tepat terhadap sebuah isu dengan cara-cara yang lebih pro-rakyat.

Menjadi pemimpin memang bukan perkara gampang. Apalagi yang dipimpin adalah sebuah kelompok sosial besar yang dihuni oleh beranekaragam pandangan dalam wilayah atau daerah cakupan yang luas. Faktanya sekarang adalah era dimana pemimpin dianggap sebagai figur yang lebih berorientasi “dilayani” telah bergeser pada era dimana pemimpin adalah sosok yang seharusnya “melayani”. Melayani dalam bentuk kepemimpinan yang dekat dan lebih mengerti kemauan rakyat. Karena bagaimanapun, seorang pemimpin juga terlahir dan menjalani hidup sebagai rakyat sebelum dia dipilih berdasarkan kemauan rakyat untuk memberikan pengabdian kepada rakyat pula. Prinsip demokrasi yang seringkali terlupakan oleh seorang pemimpin yang terlalu memilih zona aman dan terkesan jauh dari sifat-sifat merakyat.

Semoga saja fenomena blusukan dan penyamaran yang menjadi tren kepemimpinan ideal ini bukan hanya fenomena sesaat. Sehingga kesenjangan jarak dan aspirasi antara rakyat terhadap pimpinannya bisa semakin terkikis dan pemimpin bukanlah sosok semu yang hanya tahu membuat keputusan tanpa mengetahui apa yang diinginkan oleh rakyatnya. (ZZ)

Baca juga di Kompasiana

Sineas dan "Aku": Tentang Chairil






Di hari dia jadi dari segumpal darah, ada kerinduan pada sosok yang tidak gagah perkasa namun mempesona dalam karsa;  di hari yang sudah terdeklarasi sebagai Hari  Puisi Nasional:  ada kerinduan pada sajaknya; ada kerinduan pada perjalanan singkat hidupnya; ada kerinduan pada lelaki bermata merah basah; ada kerinduan pada CHAIRIL ANWAR! 

Hari puisi pertama yang kita peringati kemarin, 26 Juli, masih terasa datar, peringatannya hanya terasa pada kalangan tertentu saja. Serasa ada yang kurang!

Sebagai penghormatan sosok penting dalam perkembangan kesusastraan Pertiwi, dideklarasikannya hari kelahiran Chairil Anwar menjadi Hari Puisi Nasional pada bulan November tahun lalu, bukanlah hal yang berlebihan. Malah, ini adalah satu terobosan yang agak ketinggalan jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang sudah lebih dahulu memiliki hari yang diperingati sebagai hari puisi sebagai akar budaya peradaban. Tapi tetap saja, keputusan ini adalah keputusan hebat! Setidaknya sekarang, sekali dalam setiap tahunnya akan ada hari yang membuat kita semakin mendalami dan mencintai kebudayaan sendiri, melalui puisi. Lalu apakah berlebihan juga kalau pengagum Chairil seperti saya dan jutaan lainnya di luar sana untuk mengharapkan riwayat yang divisualisasikan dalam sebuah film? Seandainya saja Pak Sjuman Djaya masih hidup. Seandainya saja pula, sekarang ini, ada sineas Pertiwi yang menganggap ini penting. Pertanyaannya sekarang adalah: adakah sineas kita yang menganggap ini penting? Adakah sineas kita yang cukup berani?

Sjuman Djaya
“Aku: Berdasarkan Pengalaman Hidup dan Karya Penyair Chairil Anwar” 
Menangis! Sumpah, aku menangis setelah beberapa kali aku membaca buku riwayat hidup Chairil yang seyogianya sudah selesai difilmkan oleh pak Sjuman Djaya jika saja Beliau berumur sedikit lebih panjang. Bukan saja karena kedalaman riwayat Bung Chairil yang mengambarkan mirisnya kehidupan seorang tokoh  yang dianggap sebagai binatang jalang-nya kesusastraan Indonesia, tetapi juga karena film tersebut akan  menjadi film pertama yang berani keluar dari tema yang didominasi oleh film ber-genre cinta remaja dan polemik kehidupan keluarga. Sayang, cita-cita Pak Sjuman Djaya untuk melakukan gebrakan terhalang usia. Lalu, setelah jampir tiga puluh tahun wacana tersebut menjadi rencana, akankah ada sutradara yang cukup berani meneruskan keberanian Beliau? Butuh niat, keberanian, modal, dan kecintaan terhadap perkembangan kesusastraan kita, tentunya.

Aku, merupakan sebuah buku riwayat berbentuk skenario yang dituliskan secara hidup dan sangat mendetail  tentang kehidupan pelopor angkatan’45 dalam kesusastraan kita, Chairil Anwar. Buku ini semakin dikenal dan dicari sejak kemunculannya  dalam film terobosan yang sukses dalam appresiasi dan segi komersialitas, Ada Apa Dengan Cinta, pada tahun 2002 silam. Awalnya, buku yang pertama sekali diterbitkan oleh PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta pada tahun 1987 ini direncanakan untuk menjadi skenario yang akan di filmkan oleh Pak Sjuman Djaya. Namun, belum sempat cita-cita tersebut terwujud, beliau keburu dipanggil Yang Kuasa. 

Kekuatan buku ini bukan saja terletak pada kemampuan penulisnya untuk menggambarkan situasi negeri pada tahun 1945—1950-an secara hidup sehingga pembacanya bisa hanyut dan seperti sedang berada pada jaman tersebut , atau pada keberadaan Chairil sebagai tokoh besar yang diriwayatkan, tetapi juga pada kekuatan diksi dan pelukisan karakter secara hidup sehingga seolah-olah memiliki jiwa. Pembaca buku ini dibawa untuk mengenal dan mendalami kepribadian Chairil, kecintaannya pada puisi, juga kehidupannya secara keseluruhan. Hal yang sulit untuk digambarkan jika Pak Sjuman tidak memiliki pengetahuan dan penjiwaan terhadap Chairil lewat karya-karyanya. Pak Sjuman membuktikan kapasitasnya sebagai sutradara mapan dan juga penulis yang bercitarasa tinggi melalui buku yang sudah enam kali cetak ulang ini.

Saya menangis membacanya, dan saya yakin bukan hanya saya. Enam kali cetak ulang menggambarkan betapa buku ini menjadi salah satu buku best seller pada eranya. Lalu mengapa sampai lebih dari 25 tahun kemunculannya, belum ada juga yang meneruskannya menjadi sebuah film? Apakah karena para sutradara takut tidak bisa memvisualisasi ke-hidupan buku ini?

Masalah Sarana dan Prasarana
Dalam pengantar buku ini, seorang WS Rendra, si Merak, mengakui bahwa salah satu hambatan untuk memfilmkan buku ini adalah tidak tersedianya studio dalam negeri yang cukup berkualitas dan memadai untuk menggambarkan situasi-situasi dan setting keseluruhan buku ini. Mungkin, apa yang dikatakan Rendra ada benarnya pada masa itu. Lah, sekarang, setelah dua dasawarsa lebih apakah masalahnya tetap itu-itu juga? Kalau memang benar, itu titik persoalannya, lalu bagaimana dengan dua film garapan sineas asing Gareth Evans dan sineas kita, Iko Uwais: Merantau (2009) dan The Raid (2011)? Kenapa kedua film ini mampu menuai pujian dari kritikus film dalam dan luar negeri? Apalagi The Raid, film yang tidak hanya memenangkan penghargaan dalam beberapa festival tapi juga menuai pujian sebagai film laga terbaik setelah bertahun-tahun, yang berhasil nangkring di box office Amerika sejak dirilis disana. Ini membuktikan kalau semua hambatan mengenai sarana dan prasarana dapat diakali.

Apa studio di Amerika juga tidak ada yang memadai?  Saya rasa sudah lebih cukup, malah. Karena bukan satu atau dua film saja yang memiliki setting yang “tua”. Atau memang ada masalah lain? Ketidakberanian para sineas jaman sekarang untuk mencoba keluar dari tema horror dewasa  “buka-bukaan” atau “cinta-cintaan” demi alasan komersialitas, misalnya? Jika pertimbangannya adalah masalah komersialitas maka sebaiknya para sineas kita berkaca kembali pada film The Raid yang mampu meraup untung hingga Rp 11 Miliar. Apalagi sosok Chairil Anwar yang ditampilkan adalah legenda yang sudah pasti pula mempunyai penggemar yang tidak sedikit.  Saya yakin, bukan hanya saya yang menangis membaca buku ini. Pun juga bukan hanya saya yang menantikan kemunculan film ini. 

Apa Untungnya?
Bukan saja dari segi komersialitas yang menjanjikan, karena ada begitu banyak kalangan yang pasti menunggu kehadiran film ini. Disisi lain, ada banyak alasan yang membuat kemunculan film ini terasa penting untuk kemajuan kesusastraan Indonesia. Dengan kemunculan film ini: kecintaan terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa yang layak dihargai dengan penggunaan secara baik dan benar, kecintaan terhadap budaya, kecintaan terhadap kesusastraan Indonesia pada umumnya dan secara khusus kecintaan terhadap puisi, akan semakin menggiatkan generasi muda penerus bangsa untuk berkarya, atau setidaknya mencintai karya anak bangsa dan budaya sendiri. Jangan lupa pula, kemajuan negara sedikit banyaknya dapat dinilai dari tingkat kemajuan kesusastraan yang dimilikinya. 

Nah, jika sedari awal sineas kita memang punya niat sehingga semua permasalahan-permasalahan yang menghambat bisa diakali, maka kemunculan film ini bukan hanya sekadar mimpi Sjuman Djaya yang terhenti. Sekarang bagaimana kalau kita tanyakan kembali: adakah sineas kita yang menganggap ini penting? Adakah sineas kita yang cukup berani? Atau haruskah kita menunggu sineas-sineas asing yang turun tangan, lagi? (ZZ)

Atau Baca Juga di Kompasiana