| Ditulis oleh E.P. Wieringa |
Di Eropa ada beberapa proyek untuk melaksanakan ‘Karya Lengkap’ seorang sastrawan dalam suntingan ilmiah, misalnya die grosse kommentierte Frankfurter Ausgabe
(GKFA) atau ‘Suntingan Frankfurt yang besar dan berkomentar’, yaitu
suatu edisi komplit yang direncanakan dalam 38 jilid agar segala tulisan
Thomas Mann (1875-1955) dicantumkan, pengarang kenamaan Jerman dan
penerima Hadiah Nobel untuk Sastra.[1] Di negeri Belanda sejak tahun
1979 diadakan seri Monumenta Literaria Neerlandica (‘Karya Agung Sastra Belanda’) yang diterbitkan di bawah koordinasi Akademi Ilmu Kerajaan Belanda (Koninklijke Nederlandse Akademie van Wetenschappen,
KNAW).[2] Tujuannya adalah untuk menciptakan satu seri buku dalam
edisi ilmiah dari teks-teks yang telah dianggap ‘klasik’, termasuk
hasil sastra modern dari abad ke-20. Di negara Eropa yang lain juga ada
seri-seri semacam itu seperti Oxford World’s Classics (Inggris) atau La Bibliothèque de la Pléiade (Perancis) yang berupaya mengabadikan teks-teks yang diperkirakan ‘klasik’ dalam arti mempunyai nilai tinggi serta langgeng.[3]
Sebaliknya,
di Indonesia ilmu filologi pada umumnya masih hanya berkecimpung dalam
bidang ‘sastra lama’ dan dunia pernaskahan saja. Buku Zaenal Hakim
yang berjudul Edisi kritis puisi Chairil Anwar merupakan kasus
pengecualian yang mencoba ‘mengisi kekosongan’ dalam penyuntingan edisi
ilmiah teks modern.[4] Karena saya ingin tahu bagaimana bentuk sajak Isa
yang sebenarnya, maka saya cari dalam edisi tersebut dan ternyata teks
ciptaan Chairil Anwar (1922-1949) berbunyi seperti berikut (penomoran
saya tambahkan untuk mempermudah rujukan selanjutnya):[5]
ISA
Kepada Nasrani sejati
1 Itu Tubuh
2 mengucur darah
3 mengucur darah
4 rubuh
5 patah
6 mendampar tanya: aku salah?
7 kulihat Tubuh mengucur darah
8 aku berkaca dalam darah
9 terbayang terang di mata masa
10 bertukar rupa ini segara
11 mengatup luka
12 aku bersuka
13 itu Tubuh
14 mengucur darah
15 mengucur darah
12 November 1943
Menurut catatan kaki di dalam edisi Zaenal Hakim hampir tidak ada variasi yang penting antara terbitan pertama di dalam majalah Pantja Raja (tanggal 15 Nopember 1946) dan terbitan kedua di dalam Deru Tjampur Debu (Deru Campur Debu, DCD) pada tahun 1949 selain kata terakhir pada larik ke-10, yaitu segara: di dalam terbitan DCD kata tersebut diganti dengan segera. Namun perbedaan satu huruf tidak boleh disepelekan karena perbedaan antara segera dan segara jauh sekali dan sangat mempengaruhi tafsiran sajak ini. Ternyata penyunting Zaenal Hakim memutuskan untuk memilih kata segara sebagai benar, sedangkan kata segera dicapnya sebagai salah. Menurut indeks kosakata puisi karya Chairil Anwar di dalam edisi tersebut kata segara hanya timbul dalam sajak Isa dan kata segera sama sekali tidak terdaftar.[6] Sayangnya, tidak ada argumentasi tentang salah-benarnya masalah segera/segara.
Rupanya versi dengan kata segara sekarang dianggap sebagai baku di Indonesia: di dalam edisi suntingan Pamusuk Eneste kita menemukan sajak Isa seperti dikutip di atas dan kata segera
bahkan sama sekali tidak disebutkan lagi.[7] Pamusuk Eneste juga tidak
merasa perlu untuk membenarkan pilihannya. Atas halaman judul buku
yang dieditnya ada pernyataan resmi bahwa suntingan tersebut “[t]elah
disahkan penggunaannya di sekolah dengan Keputusan Direktur Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Nomor: 019a/C/KEP/R’87 Tanggal: 07-02-1987”.[8] Dengan kata yang lain,
bacaan segara di dalam sajak Isa sudah sah dan baik guru maupun murid tidak usah menghadapi pemilihan yang sulit lagi.
Apakah
masalahnya sekarang selesai? Kemudian, apakah sajak ini menjadi lebih
jelas? Ternyata tidak. Sampai sekarang tetap ada kekacauan. Misalnya, kritikus terkemuka profesor Teeuw teguh berpendapat bahwa segera benar sedangkan segara dianggapnya salah, namun argumentasi pembuktiannya tetap diabaikan.[9] Kecuali masalah segara/segera
ada perbedaan yang jauh sekali antara beberapa interpretasi. Misalnya,
Aloys Budi Purnomo, rohaniwan dan pemimpin redaksi majalah Inspirasi, Lentera yang Membebaskan,
pada tahun 2007 tidak memusingkan keputusan Depdikbud tentang bacaan
sah, namun menurutnya “[s]ecara teologis, permenungan puitis Chairil
Anwar benar!”[10] Di dalam interpretasi Purnomo,[11]
[d]i
mata Chairil, salib bermakna ganda, bermata dua. Mata pertama memandang
salib sebagai kucuran darah dari sang Tubuh yang roboh dan patah. Mata
kedua memancarkan peristiwa salib sebagai rupa yang segera bertukar,
dari ‘darah yang mengucur dari Tubuh yang roboh dan patah’ menjadi
‘luka yang mengatup dan mendatangkan terang serta suka(cita)’.
Sepertinya
Chairil Anwar, si penyair yang lazimnya terkenal karena kehidupan yang
nyentrik (‘si binatang jalang yang terbuang dari kumpulannya’) dan
beragama Islam KTP doang, juga bekerja sampingan sebagai
rohaniawan alias teolog kristiani yang unggul. Interpretasi yang lain
lagi dikemukakan oleh Arief Budiman yang menerima bacaan segara dan menganggap sajak Isa sebagai pengungkapan isi hati Chairil Anwar:[12]
Di
sini, Chairil tiba-tiba tertegun terhadap penderitaan yang dialami
oleh nabi Isa di kayu salib. Dan sang nabi mengalami semua ini bukan
untuk dirinya, melainkan untuk orang lain, untuk seluruh umat manusia.
Berbeda sekali dengan dirinya, yang mau hidup sendiri dengan
kemerdekaannya, tanpa peduli orang lain, tanpa peduli sekelilingnya.
Mungkin karena perbandingan dari dua keadaan yang saling sangat
bertentangan inilah maka Chairil ketika melihat “itu tubuh/ mengucur darah/ mengucur darah/ rubuh/ patah”, tiba-tiba jadi bertanya: “aku salah?”.
Apakah
semua pengorbanan ini ada artinya? Chairil, dalam sajak ini, hampir
percaya akan hal itu. Dia membayangkan “terang di mata masa” dan segara
(laut) jadi “bertukar rupa”. Kalau memang ini yang akan terjadi, maka
luka-luka yang diderita nabi Isa seakan-akan jadi terkatub dan Chairil
bisa berteriak “aku bersuka”. Bersuka bukan saja karena melihat
penderitaan nabi Isa tidak sia-sia, tapi barangkali juga bersuka karena
dia berhasil menemukan jawab bagi arti kehidupannya sendiri. Tapi semua
ini hanyalah harapannya, karena yang dihadapinya masih tetap “itu tubuh/ mengucur darah/ mengucur darah”.
Subagio
Sastrowardoyo pernah mengutarakan bahwa puisi Chairil Anwar sebenarnya
berkiblat kepada kebudayaan Barat dan pada hematnya “ia merendamkan
diri ke dalam semangat hidup yang keeropah-eropahan”.[13] Subagio
mengingatkan bahwa sajak-sajak Chairil Anwar sangat terpengaruh oleh
unsur-unsur latar belakang Barat yang terasa asing bagi khalayak
pembaca Indonesia. Misalnya, siapa di Indonesia mengenal tokoh Ahasveros
yang disebutkan dalam sajak Tak Sepadan (“Sedang aku mengembara serupa Ahasveros”) atau tahu bahwa kata Thermopylae dalam sajak Malam
merujuk kepada penjagalan di dalam peperangan di Yunani kuno itu?[14]
Terlebih lagi Subagio ragu-ragu terhadap pengertian khalayak pembaca
Indonesia dalam kasus sajak Isa:[15]
Apa pula
yang hendak diharapkan dari pembaca untuk menangkap makna gatra di
dalam sajak “Isa”: “Itu tubuh/ mengucur darah/ mengucur darah/ rubuh/
patah”, yang diakhiri dengan kata-kata:
mendampar tanya: aku salah?
Pertanyaan
itu menyangkut filsafah yang khas Kristen, yang menganggap kematian
Isa bermakna sebagai penebusan dosa manusia. Chairil bertanya, adakah
karena ia berdosa maka Isa harus bergantung di salib dan bercucuran
darah? Tetapi bersamaan dengan itu, kita pun dapat bertanya, akan
mungkinkah pembaca di Indonesia, yang umumnya memeluk agama yang bukan
Nasrani, dapat mengajuk ke dalam filsafat Kristen itu dan dengan begitu
dapat menangkap gatra sajaknya? Tanpa pengertian tentang sangkutan
pikiran kepada penebusan dosa Nabi Isa itu, maka kata-kata selanjutnya
ini di dalam sajak itu sama sekali tidak memberi arti apa-apa:
kulihat Tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah
terbayang terang di mata masa
bertukar rupa ini segera [sic]
mengatup luka
aku bersuka
Itu tubuh
mengucur darah
mengucur darah
Chairil
mendasarkan pemakaian gatranya pada pola berpikir yang sudah tersedia
di Barat, tetapi yang tidak terangkum di dalam alam cita dan pikiran
Indonesia. Di tengah masyarakat kita sangkutan pikiran itu akan
menemukan gatra sajak yang lain yang dikenal oleh kesadaran sejarah dan
filsafat masyarakat pembacanya. Dengan pemakaian gatra demikian Chairil
telah memilih sebagai publik pembacanya masyarakat Budaya Eropah. Ia
tidak setia kepada dunia angan-angan masyarakat sekelilingnya, sedang ia
masih berhutang bahasa yang dipergunakannya.
Sebenarnya tidak terlalu mengherankan bahwa sajak Isa terasa kebarat-baratan.[16] Di dalam bukunya Chairil Anwar pelopor angkatan 45
H.B. Jassin melaporkan bahwa pada tahun 1956 perhatiannya diarahkan
oleh seorang rohaniawan Katolik, Rama R.H. Lomme, kepada persamaan
antara Isa dengan sajak Belanda Lied (‘Lagu’) yang diterbitkan oleh Gerard Wijdeveld dalam buku Het Voorschot
(‘Persekot’).[17] Ternyata H.B. Jassin tidak tahu bahwa pada tahun
1954 R[aden] B[enedictus] Slametmuljana di dalam disertasinya di
Universitas Leuven (Belgia), Poëzie in Indonesie: een literaire en taalkundige studie
(‘Puisi di Indonesia: pengkajian dari segi kesusastraan dan ilmu
bahasa’), sudah menyatakan kemiripan dua sajak tersebut.[18] Akan
tetapi, baik Slametmuljana maupun Jassin hanya mengutip kedua sajak itu
saja tanpa melakukan perbandingan antara dua teks itu, seolah-olah
persamaan antara kedua sajak tersebut langsung kelihatan. Teks sajak Lied berbunyi seperti berikut: [19]
LIED
Er is een Lam, dat bloedt
Er is een Lam, dat bloedt
En ik, die Hem[20] aanschouwen moet
en van mij zelven zeggen moet:
ik ben het, die U bloeden doet.[21]
En dat ik U zo bloeden zag
Zal ’t mij behoeden eenen[22] dag
Voor weder, weder zonden?
Ik zal U talloos wonden[23]
en roepen om Uw bloed........
Wat ik U daarom zeggen moet?
Wat ik U zeggen moet?
Er is een Lam, dat bloedt........
Terlebih
dahulu saya ingin memberikan beberapa catatan tambahan mengenai
penyair Belanda itu dan sajaknya. Gerard Wijdeveld (1905-1997) termasuk
angkatan ‘pemuda Katolik’ sebelum Perang Dunia Kedua di dalam sejarah
sastra Belanda. Dia ahli bahasa klasik dan meraih gelar doktor pada
tahun 1937 di Amsterdam dengan disertasi mengenai De vera religione
(‘Mengenai agama yang benar’) oleh Augustinus. Wijdeveld berasal dari
kota Nijmegen di Belanda selatan dan pada masa antarperang kota tersebut
terkenal sebagai benteng idealisme dan radikalisme Katolik. Di sana
Wijdeveld salah satu pemuda radikal yang teramat kuat kepercayaan
terhadap agama Katolik.[24] Pada tahun 1930 sajaknya yang berjudul De droom van Nolens
(‘Mimpi Nolens’) mengkritik Nolens secara tajam, yaitu pemimpin partai
politik Katolik di Belanda waktu itu, antara lain karena Nolens menurut
Wijdeveld kurang mendukung penyebarluasan agama Katolik di Hindia
Belanda.[25] Pada masa Perang Dunia Kedua (1940-1945) dia menjadi
fanatik terhadap ideologi Nazi dan berusaha me-Nazi-kan kesusastraan
Belanda. Pada tanggal 20 April 1944 dia malah menerbitkan ode dalam
rangka perayaan HUT Adolf Hitler yang ke-55 di dalam koran Algemeen Handelsblad.[26]
Pada masa pascaperang Wijdeveld masih dapat bekerja sebagai guru
bahasa Latin di Amsterdam, tetapi masa lalunya sebagai pengikut Nazi
dan pengkhianat negara selama-lamanya membayangi kehidupannya. Dia
mengasingkan diri dan sebagai narapidana bertahun-tahun kena larangan
publikasi.[27]
Pada tahun 1997 peminat sastra Belanda Kees Fens (1929-2008) memperingati Wijdeveld di dalam artikel in memoriam di dalam koran Volkskrant dan mengutip beberapa larik dari sajaknya Lied: “Er
is een Lam dat bloedt / er is een Lam dat bloedt ... / en ik die het
aanschouwen moet / en van mijzelve zeggen moet: / ik ben het, die u
bloeden doet”. Fens, sebagai orang keturunan keluarga Katolik yang
taat, jelas menghafal sajak tersebut, tetapi ragu-ragu apakah sajak ini
pernah disukainya atau malah dahulu dianggapnya sebagai sumber
inspirasi religius. Fens berpendapat bahwa ‘zaman sekarang’ sajak Lied telah kedaluwarsa, milik masa lampau. Dalam penilaiannya Fens menggunakan ungkapan Latin Requiescat in pace
(‘Beristirahatlah dalam damai’) seolah-olah sajak ini sudah masuk
kuburan sejarah. Menurut Fens pola pikiran tradisional mengenai Anak
Domba Allah diungkapkan lebih intensif dan lebih bagus oleh Revius dan
sajak Wijdeveld hanya merupakan gema yang jauh dari sajak Revius.[28]
Fens tidak menjelaskan acuannya, tetapi tentu saja sajak yang
dimaksudkannya berjudul Hy droegh onse smerten (‘Dia memikul penderitaan kita’) oleh Jacobus Revius (lahir sebagai Jakob Reef(f)sen, 1586-1658). Larik pertama berbunyi T’en syn de Joden niet, Heer Jesu, die u cruysten
(‘Dan bukanlah orang Yahudi, Tuhan Yesus, yang menyalibkanMu’) dan di
dalam sajak ini si aku lirik mengakui bersalah atas penyaliban Yesus.
Saya setuju dengan Jassin bahwa sajak Lied dan sajak Isa
“tidak memberi kesan (...) bahwa di sini ada penterjemahan atau
penyaduran, karena sajak Chairil punya jalan pikiran sendiri, diksi
sendiri, pembayangan sendiri, gaya dan nafas sendiri”.[29] Hanya ada
beberapa kesamaan pada tingkat struktural, yaitu (1) tema (darah
Yesus), (2) gejala pengulangan larik dan (3) pertanyaan si aku lirik
tentang perilaku diri sendiri. Kemungkinan besar bahwa Chairil Anwar
diilhami oleh sajak Wijdeveld, namun sajak Isa lain sekali. Sajak Isa tergolong aliran ekspresionisme dan pengaruh Marsman paling penting di sini. Slametmuljana meletakkan sajak Isa di sebelah sajak Delft
ciptaan Hendrik Marsman (1899-1940) dan menyatakan bahwa “hanya
kelihatan deretan kata-kata tunggal di bawahnya”.[30] Tidak ada kalimat,
cuma kata-kata yang lepas.[31]
Di dalam aliran ekspresionisme
kalimat bukan merupakan dasar atau asas sajak melainkan kata.[32] Bahasa
yang dipakai oleh penyair ekspresionisme adalah ‘bahasa seni’ dan bukan
bahasa sehari-hari.[33] Oleh karena penekanan pada gambaran dan makna
kata-kata di dalam aliran ekspresionisme, maka menurut saya pendekatan
ergosentrik paling cocok untuk menginterpretasikan sajak Isa.[34] Sebenarnya Boen S. Oemarjati pada tahun 1972 di dalam disertasinya di Universitas Leiden, Chairil Anwar: The poet and his language, sudah pernah menerapkannya, tetapi saya rasa bahwa analisanya yang memang patut dipuji masih dapat diperdalam sana-sini.[35]
Sebenarnya masalah segara/segera mendorong saya untuk sekali lagi berusaha untuk menginterpretasikan sajak Isa.
Menurut buku pelajaran tentang ‘seni interpretasi puisi’ yang ditulis
oleh Hans-Dieter Gelfert, seorang profesor Jerman dalam bidang sastra
Inggris, ‘retakan’ di dalam sajak merupakan ‘kunci’ untuk mendalami
teks.[36] Kata segara atau segera pada larik ke-10 di dalam sajak Isa dapat dianggap ‘retak’ dan memaksakan kita untuk merenungkan larik tersebut: apa hubungannya antara keempat kata bertukar rupa ini segara/segera? Seperti dijelaskan oleh Oemarjati, secara teoretis ada tiga kemungkinan:
- segara ini bertukar rupa
- segera rupa ini bertukar
- segera ini bertukar rupa
Saya kira bahwa kebanyakan kritikus terkendali oleh larik ke-7, yaitu kulihat Tubuh mengucur darah
sehingga analisanya berpusat pada penyaliban Yesus.[37] Misalnya,
profesor A.H. Johns dari ANU di Canberra pada tahun 1964 menilai sajak
tersebut sebagai “virtually a meditation on the crucifixion” dan Bani
Sudardi, sekarang profesor di UNS di Surakarta, menulis pada tahun 2001
bahwa sajak Isa “tidak lain adalah gambaran tentang Yesus yang disalib yang banyak dijumpai di tempat-tempat tertentu”.[38] Di dalam edisi Deru Campur Debu yang berilustrasi dengan hiasan oleh Oesman Effendi sajak Isa
malah disertai gambar penyaliban Yesus dengan darah yang menetes-netes
(lihat gambar di bawah ini). Ilustrasi tersebut jelas-jelas berdampak
besar pada pemahaman pembaca sajak ini.
[2]Lihat http://www.huygensinstituut.knaw.nl/producten/boekenseries/monumenta-literaria-neerlandica.
[3]Lihat http://ukcatalogue.oup.com/category/academic/series/general/owc.do dan http://www.gallimard.fr/collections/pleiade.htm.
[4]Zaenal Hakim, 1996, Edisi kritis puisi Chairil Anwar, Jakarta: Dian Rakyat.
[5]Lihat Zaenal Hakim, Edisi kritis, hlm. 49.
[6]Lihat Zaenal Hakim, Edisi kritis, hlm. 135.
[7]Pamusuk Eneste, 1990, Chairil Anwar, Aku ini binatang jalang. Koleksi sajak 1942-1949, Jakarta: Penerbit PT Gramedia [cetakan empat], hlm. 40
[8]Buku
suntingan Pamusuk Eneste pertama kali dicetak pada Maret 1986. Saya
menggunakan cetakan keempat yang diterbitkan pada Juni 1990.
[9]Misalnya A. Teeuw, 1971, ‘Modern Indonesian literature abroad’, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 127, hlm. 261 dan juga A. Teeuw, 1988, Sastra dan ilmu sastra. Pengantar teori sastra, Jakarta: Pustaka Jaya [cetakan kedua], hlm. 257.
[10]Lihat http://www.mirifica.net/printPage.php?aid=3927. Terakhir kali dikunjungi 21 Juni 2011.
[11]Idem.
[12]Arief Budiman, 2007, Chairil Anwar, sebuah pertemuan,
Tegal: Wacana Bangsa, hlm. 51-52 [diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit Pustaka Jaya, Jakarta, 1976]. Bandingkan kritik Teeuw atas
kebiasaan di Indonesia untuk menyamakan si aku lirik dengan kedirian
penyair, terutama dalam kasus Chairil Anwar, lihat A. Teeuw, Sastra, hlm. 168.
[13]Subagio Sastrowardoyo, 1980, ‘Orientasi budaya Chairil Anwar’, di dalam bukunya Sosok pribadi dalam sajak, Jakarta: Pustaka Jaya, hlm. 54.
[14]Idem, hlm. 40-41.
[15]Idem, hlm. 41-42.
[16]Persoalan
yang lain adalah pertanyaan “benarkah perpuisian Chairil Anwar hanya
berminat besar dan terpengaruh kesusastraan Eropa saja, sebagaimana
dikatakan kritikus selama ini?” Di dalam esai ini saya hanya ingin
membicarakan sajak Isa saja dan tidak akan lebih lanjut
membahas permasalahan tersebut yang dikemukakan dan kemudian dibicarakan
oleh Abdul Wachid B.S., 2005, ‘Kerancuan pemikiran dalam puisi Chairil
Anwar’, Membaca makna (dari Chairil Anwar ke A. Mustofa Bisri),
Yogyakarta: Grafindo Litera Media, hlm. 1-2). Bandingkan juga renungan
Nirwan Dewanto yang menekankan Chairil Anwar sebagai “penerus tradisi
persajakan sebelumnya” dan bukan sebagai pembaharu dan pendobrak
sastra, http://nirwandewanto.blogspot.com/2011/04/situasi-chairil-anwar-4.html
(diposkan 28 April 2011), terakhir kali dikunjungi 15 Juni 2011.
Esainya tentang Chairil Anwar terpotong dalam beberapa bagian kecil dan
sampai sekarang masih bersambung: sementara nomor 6 (http://nirwandewanto.blogspot.com/2011/05/situasi-chairil-anwar-6.html) merupakan sumbangan terakhir, diposkan 11 Mei 2011, terakhir kali dikunjungi 15 Juni 2011.
[17]H.B. Jassin, 1978, Chairil Anwar pelopor angkatan 45, Jakarta: Gunung Agung (cetakan keempat), hlm. 49. Menurut Jassin terbitan Het Voorschot terjadi pada tahun 1939 atau 1940, tetapi buku tersebut pertama kali diterbitkan pada tahun 1935, lihat http://www.dbnl.org/auteurs/auteur.php?id=wijd001. Sajak Lied
sudah terdaftar pada tahun 1934: di dalam NMI, yaitu Nederlands Muziek
Instituut atau Netherlands Music Institute, lagu ini terdaftar dengan
nomor kode 125/194, lihat http://www.nederlandsmuziekinstituut.nl/en/archives/list-of-music-archives?task=listhandschriften&tmpl=lexicon&id=125&start=140. Menurut Jassin sajak Wijdenveld berjudul Het Lam (‘Anak Domba Allah’).
[18]R.B. Slametmuljana, 1854, Poëzie in Indonesia: Een literaire en taalkundige studie, Leuven: Leuvense Universitaire uitgaven; Instituut voor Oriëntalistisme, hlm. 171-172.
[19]Kutipan diambil dari Slametmuljana, Poëzie, hlm. 172. Teks itu agak lain di dalam Jassin, Chairil Anwar, hlm. 50.
[20]Jassin, Chairil Anwar, hlm. 50: Het.
[21]Idem: Ben ik het, die U bloeden doet’.
[22]Idem: enen.
[23]Tidak dikutip di dalam Jassin, Chairil Anwar, hlm. 50.
[24]Marjet Derks, 2007, Heilig moeten: radicaal-katholiek en retro-modern in de jaren twintig en dertig, Hilversum: Uitgeverij Verloren, hlm. 210.
[25]Frans Ruiter dan Wilbert Smulders, Literatuur en moderniteit in Nederland 1840-1990, Amsterdam: Arbeiderspers, hlm. 256. Sajak tersebut memang menghebohkan pada waktu itu, lihat L. de Jong, 1969, Het Koninkrijk der Nederlanden in de Tweede Wereldoorlog. Deel 1: Voorspel,
’s-Gravenhage: Staatsutigeverij, hlm. 238. Untuk informasi yang lebih
lengkap tentang perkembangan pikiran Wijdeveld, lihat Adriaan Venema,
1988, Schrijvers, uitgevers en hun collaboratie. Deel 1: Het systeem, Amsterdam: Arbeiderspers, hlm. 272-285 [dapat diakses melalui internet lewat http://www.dbnl.org/tekst/vene001schr01_01/vene001schr01_01.pdf atau http://www.dbnl.org/tekst/vene001schr01_01/vene001schr01_01_0007.php].
[26]Venema, Schrijvers, hlm. 282.
[27]Asselbergs, 1955, ‘Wijdeveld, Gerard’, P. van der Meer, F. Baur dan L. Engelbregt (peny.), De katholieke encyclopaedia,
Amsterdam: Van den Vonden; Antwerpen: Standaard-Boekhandel [edisi
kedua], hlm. 42 hanya memberi biografi yang sangat singkat dan sama
sekali tidak menyebutkan latar belakang politik Nazi itu.
[28]Kees Fens, 1997, ‘De vertaler van ‘De stad Gods’’, Volkskrant (dapat diakses melalui http://niekvanbaalen.net/fens/publ_images_new.php?Nummer=4642&Jaar=1997).
[29]Jassin, Chairil Anwar, hlm. 49. Maka cukup mengherankan bahwa Jassin tidak mencantumkan sajak Isa di dalam kumpulan puisi Chairil Anwar yang disuntingkannya, tetapi mungkin hanya karena kekhilafan dan tidak sengaja.
[30]Slametmuljana, Poëzie, hlm. 171.
[31]Idem.
[32]Hannemieke Postma, 1977, Marsmans ‘Verzen’. Toetsing van een ergocentrisch interpretatiemodel, Groningen: Wolters-Noordhoff / Bouma’s Boekhuis [disertasi Universitas Utrecht], hlm. 268.
[33]Idem. Bandingkan juga komentar Teeuw, Sastra, hlm. 75 atas ungkapan Chairil yang terkenal, yaitu aku ini binatang jalang / dari kumpulannya terbuang:
“aku di sini tidak seperti dalam bahasa sehari-hari mengacu pada
pembicara, pemakai kata itu, yaitu Chairil Anwar, melainkan pada seorang
yang ke-aku-annya kita jabarkan atas bahan sajak ini sendiri,
berdasarkan kemampuan kita sebagai pemakai bahasa Indonesia, lepas dari
acuan yang konkrit dalam kenyataan (realitas)”.
[34]Introduksi pada pendekatan ergosentrik (dari bahasa Yunani ergon, yakni ‘diri sendiri’) dapat ditemukan misalnya di dalam Suroso, Puji Santosa dan Pardi Suratno, 2009, Kritik sastra. Teori, metodologi, dan aplikasi, Yogyakarta: Elmatera, hlm. 30-36. Buku Postma, Marsmans ‘Verzen’, yang dikutip di atas, menerapkan metodologi tersebut atas puisi Marsman.
[35]Boen S. Oemarjati, 1972, Chairil Anwar: The poet and his language, The Hague: Nijhoff.
[36]Hans-Dieter Gelfert, 1990, Wie interpretiert man ein Gedicht?, Stuttgart: Reclam, hlm. 99.
[37]Lihat, misalnya, esai ‘Isa dan beberapa metamorfosis’ oleh Goenawan Mohamad, 2002, di dalam bukunya Eksotopi: tentang kekuasaan, tubuh, dan identitas,
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, hlm. 225-243. Catatan pinggir saya:
peminat sastra yang cerdas itu juga bertitik tolak dari bacaan segera, tanpa menghiraukan atau mempermasalahkan keputusan resmi dari Depdikbud.
[38]A.H. Johns, 1964, ‘Chairil Anwar: An interpretation’, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 120, hlm. 401 [lihat http://www.kitlv-journals.nl/index.php/btlv/article/viewFile/2689/3450]. Bani Sudardi, 2001, Tonggak-tonggak sastra Sufistik di Indonesia. Petualangan batin manusia Indonesia sepanjang zaman,
Surakarta: Sebelas Maret University Press, hlm. 110. Bani Sudardi
berdasarkan “Teeuw 1982:121-122” (namun tidak dirujuk di dalam
daftar pustakanya) untuk kutipan lengkap sajak Isa (tentu saja dengan kata segera).
Gambar penyaliban Yesus oleh Oesman Effendi yang menyertai sajak Isa. Diambil dari edisi Deru Campur Debu
terbitan PT Dian Rakyat Jakarta (cetakan pertama 1987), hlm. 14-15.
Sebenarnya diterbitkan pertama kali oleh Yayasan Pembangunan tahun 1959.
Akan
tetapi, saya berpendapat bahwa konsep ‘ekaristi’ lebih penting untuk
memahami sajak ini, yaitu ‘tubuh dan darah Kristus dalam rupa roti dan
anggur dalam perayaan Misa Kudus’.[1] Susunan kata Itu Tubuh
pada larik pertama berbeda dengan struktur Bahasa Indonesia pada
umumnya. Oemarjati menjelaskan bahwa gejala inversi adalah ciri khas
puisi Chairil dan juga terbiasa di dalam dialek Jakarta.[2] Bagi seorang
Nasrani sejati – yaitu orang yang menurut persembahan sajak ini merupakan ‘alamatnya’ – larik Itu Tubuh
merupakan gema dari ucapan Yesus sendiri pada Perjamuan Terakhir, yaitu
“Ambillah, makanlah, inilah tubuhKu” (Mat 26:26; bandingkan Mrk 14:22)
atau seperti dinyatakan di dalam Injil Lukas: “Inilah tubuhKu yang
diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” (Luk
22:19; bandingkan 1Kor 11:24).[3] Kalimat imperatif “perbuatlah ini
menjadi peringatan akan Aku” menjadi dasar terselenggaranya Perayaan
Ekaristi. Menurut Injil Matius penetapannya seperti berikut (Mat
26:26-29):
26 Dan ketika mereka sedang
makan, Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu
memberikannya kepada murid-muridNya dan berkata: “Ambillah, makanlah,
inilah tubuhKu.” 27 Sesudah itu Ia mengambil cawan,
mengucap syukur lalu memberikannya kepada mereka dan berkata:
“Minumlah, kamu semua, dari cawan ini. 28 Sebab inilah darahKu, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa. 29
Akan tetapi Aku berkata kepadamu: mulai dari sekarang Aku tidak akan
minum lagi hasil pokol anggur ini sampai pada hari Aku meminumnya, yaitu
yang baru, bersama-sama dengan kamu dalam Kerajaan BapaKU.”
Pengulangan mengucur darah
pada larik kedua dan ketiga menyatakan bahwa Yesus mengorbankan
diriNya untuk selama-lamanya sebagai korban penebus dosa (lihat Mat
26:28 yang dikutip di atas). KBBI hanya menjelaskan mengucur sebagai ‘memancur’, namun ternyata KU lebih berguna, yaitu menurut Poerwadarminta kata mengucur
‘bahasa Jakarta’ dan berarti ‘bercucuran; memancur’. Di dalam KU ada
contoh ‘darahnya bercucuran’, jadi kalau kita ingin ‘menormalisasikan’
larik mengucur darah maka susunan kata tersebut boleh dianggap sebagai inversi, yaitu darah mengucur,
yang berarti ‘darah bercucuran’ di dalam bahasa sehari-hari. Akan
tetapi, juga ada kemungkinan untuk membaca larik pertama hingga ketiga
sebagai satu kalimat dan menganggap mengucur sebagai mengucurkan, sehingga pengorbanan Yesus tampil lebih aktif.[4] Ejaan kata rubuh tidak benar menurut tata bahasa resmi, seharusnya roboh, tetapi rubuh bersajak dengan Tubuh, sedangkan patah bersajak dengan darah. Keadaan tubuh Yesus yang hancur itu, yaitu pengorbananNya di atas Kayu Salib, mengemukakan pertanyaan: aku salah? (larik ke-6).
Ketiga
kata kerja yang dipakai dari larik ke-7 hingga ke-9 semuanya
berhubungan dengan visi, yaitu ‘kemampuan untuk melihat pada inti
persoalan’: kulihat, berkaca dan terbayang. Si aku lirik melihat tubuh Yesus, yaitu ‘menggunakan mata untuk memandang’ yang berasosiasi dengan mata masa (larik ke-9). Apakah si aku lirik benar-benar melihat atau sebenarnya membayangkan tubuh Yesus, yaitu ‘menggambarkan dalam pikiran, mengangan-angan’? Kata berkaca juga dipakai di dalam sajak Chairil Anwar yang lain, yaitu Selamat Tinggal (“Aku berkaca / Ini muka penuh luka / Siapa punya?”) dan Rakhmat Joko Pradopo menjelaskan bahwa berkaca
“berarti melihat muka sendiri, dapat berarti lebih luas, yaitu melihat
keadaan diri sendiri, melihat masalah-masalah sendiri, melihat
cacat-cacat, kejelekan, dan kekurangan diri sendiri”.[5] Makna tersebut
juga tepat sekali di dalam sajak Isa, tetapi menurut saya asosiasi lebih luas lagi, terutama sebagai kiasan, yaitu ‘mengambil sebagai contoh teladan’. Bukankah Nasrani sejati disuruh untuk mengikuti contoh teladan Kristus (bahasa Latin: imitatio Christi)? Karena saya bertitik tolak dari hipotesis bahwa sajak ini bertema ekaristi, saya menganggap mata di dalam ungkapan mata masa
yang tidak terdaftar di dalam KBBI sebagai ‘yang terpenting’, ‘sesuatu
yang menjadi pusat; yang di tengah-tengah benar’ (bandingkan ungkapan
seperti mata kayu dan mata air). Terjemahan Oemarjati dalam bahasa Inggris sebagai “crucial moment” menurut saya sangat tepat: di sini mata masa memang merupakan ‘saat krusial’.[6]
Ungkapan di mata masa terasa agak aneh: menurut tata bahasa baku Bahasa Indonesia dewasa ini, kata depan di seharusnya dipakai untuk menandai tempat, sedangkan kata depan pada (yang sebenarnya searti dengan di) dipakai untuk menandai waktu.[7] Meskipun demikian, pada periode ini di
juga sering digunakan untuk menandai waktu, misalnya ‘di zaman
sekarang’, ‘di Senen’ atau ‘di waktu-waktu yang akhir ini’.[8] Di dalam
disertasi pada tahun 1948 di Universitas Utrecht tentang preposisi
dalam bahasa Melayu tradisional dan modern Roolvink menyatakan
keterangan waktu dengan di bersama zaman, musim, siang hari, waktu dan masa.[9]
Perlu dicatat bahwa terbayang berasosiasi dengan berkaca pada larik sebelumnya. Kalau seseorang berkaca atau bercermin walhasil ‘bayangannya’ dilihatnya sendiri. Seandainya terbayang terang dianggap sebagai kesatuan, rupanya agak paradoksal. Morfem dasar bayang
adalah ‘rupa (wujud) yang kurang jelas dalam gelap; sesuatu yang
seakan-akan ada, tetapi sebenarnya tidak ada’. Sebaliknya, kata terang
mengungkapkan ‘dalam keadaan dapat dilihat; nyata; jelas’. Paradoks,
yaitu pernyataan yang seolah-olah bertentangan dengan kebenaran, menurut
saya sangat cocok di sini: ekaristi dianggap oleh orang Katolik
sebagai mukjizat dan misteri. Mukjizat merupakan ‘kejadian (peristiwa)
ajaib yang sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia’.
Kata terbayang
dijelaskan di dalam KBBI sebagai (1) ‘seakan-akan tampak’; (2) ‘tampak
bayang-bayangnya’; (3) ‘sudah ada tanda-tandanya (akan berhasil dsb)’
dan (4) ‘dapat dilihat; tampak’. Oemarjati mengusulkan untuk menganggap
terang di sini sebagai kata benda (‘keterangan’) dan
terjemahannya di dalam Bahasa Inggris berbunyi “brightness is reflected
at the crucial moment”.[10] Akan tetapi, saya menafsirkan terang
sebagai keterangan adverbial (‘terbayang secara terang’ atau ‘terbayang
dengan terang’). Apa yang tampak secara jelas pada saat krusial ini
dinyatakan pada larik ke-10.
Oemarjati sudah membicarakan secara
panjang lebar hampir segala kemungkinan interpretasi dan menentukan
makna larik ini (walaupun ragu-ragu) sebagai “this immediately changes
form”.[11] Saya setuju bahwa bertukar rupa harus dianggap sebagai kesatuan, tetapi di dalam tafsiran Oemarjati makna ini tidak jelas. Bahkan Oemarjati sendiri menulis: “Nor does it become clear here what ini, ‘this’, refers to”.[12] Ungkapan bertukar rupa
tidak terdaftar di dalam KBBI, namun saya berpendapat bahwa formasi ini
merupakan neologisme yang menguraikan istilah teologis
‘transubstansiasi’ (bahasa Latin: transsubstantiatio).[13] Ciptaan baru bertukar rupa
dapat dianggap sebagai unsur ciri khas aliran ekspresionisme.[14]
Menurut ajaran gereja Katolik, transubstansiasi adalah perubahan
hakekat dari hosti (roti) dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus
yang terjadi dalam perayaan ekaristi.[15] Dengan ikut perayaan
ekaristi, orang beriman beroleh kesatuan dan kebersamaan dengan Yesus
sendiri seperti diungkapkan dalam Injil Yohanes: “Barangsiapa makan
daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku dalam
dia” (Yoh 6:56).
Kata segera berkaitan dengan waktu,
yaitu berarti ‘lekas; lekas-lekas; buru-buru; tergesa-gesa; cepat
(tentang peralihan waktu)’. Mungkin ada hubungan dengan mata masa
pada larik sebelumnya? Di dalam teologi Katolik memang ditekankan
bahwa roti dan anggur secara langsung berubah menjadi Tubuh dan Darah
Yesus. Kalau segera benar-benar dimaksudkan di sini, kata ini sepertinya mengacu kepada Tubuh mengucur darah yang disebutkan pada larik ke-7. Akan tetapi, menurut Jassin segera hanya merupakan salah cetak untuk segara.[16] Kalau begitu, pemakaian kata ini sesuai dengan kesukaan Chairil terhadap susunan terbalik, yaitu ini segara daripada segara ini. Sajak Isa hanya terdiri dari 39 kata dan di antaranya kata darah merupakan kata kunci yang paling sering dipakai (sampai enam kali). Perlu dicatat juga bahwa darah merupakan kata yang terpenting untuk rima dan dipandang dari sudut pola persajakan segara lebih cocok daripada segera. Kata segara
yang diberi label ragam bahasa ‘kesusasteraan lama’ dalam KU dan KBBI
berarti ‘laut(an)’ dan berhubungan dengan konsep ‘cairan’ yang dominan
di dalam sajak ini. Misalnya, pada larik ke-6 ada ungkapan mendampar tanya yang aneh: yang dimaksudkan ‘mengemukakan/melemparkan pertanyaan’, tetapi kata mendampar berkaitan dengan laut. Bandingkan keterangan tentang dampar di dalam KBBI:
- mendampar ‘mengempas; hanyut ke pantai’;
- mendamparkan 1 ‘menghanyutkan dan mencampakkan ke darat; 2 melanggarkan (menabrakkan) perahu (kapal) ke dasar laut (karang dsb)’;
- terdampar 1 ‘hanyut dan tercampak ke darat; 2 terlanggar pada dasar laut (karang dsb); kandas’.
Cucuran
darah dari tubuh Yesus menggenang seperti laut: darah Anak Domba Allah
harus tercurah agar setiap dosa umat manusia dapat dihapuskan (Yoh
3:16). Teringat betapa banyak dosa yang dilakukan oleh umat manusia,
saya berpendapat bahwa kiasan segara bukan ungkapan yang berlebih-lebihan.
Saya setuju dengan interpretasi Oemarjati bahwa susunan kata mengatup luka dapat dianggap sebagai inversi dari luka mengatup, sehingga terjemahannya dalam bahasa Inggris berbunyi “the wound(s) closes (close)”.[17] Kata mengatup berarti ‘menutup rapat-rapat’, tetapi apa dimaksudkan dengan luka
di sini? Oemarjati memberi dua kemungkinan, yaitu (1) luka pada tubuh
Yesus atau (2) luka dalam arti simbolis sebagai ‘dosa’ umat manusia:
“Though it is difficult to decide which alternative is the more likely,
especially in view of the metaphorical meaning of luka – which
might here be interpreted either as referring to the ‘wound(s)’ on
Jesus’ Body in particular or, interpreting it within the context of
Christianity, as symbolizing ‘sin’ – we prefer the first
alternative”.[18] Saya berpendapat bahwa ambiguitas justru merupakan
pokok puisi. Kemungkinan adanya makna atau penafsiran yang lebih dari
satu bukan kelemahan dan tidak harus membatasi pembacaan.
Larik ke-12, yaitu aku bersuka, tidak begitu sulit: si aku lirik ‘berkeadaan senang (girang)’. Hubungan antara mengatup luka (larik ke-11) dan suka
juga jelas: keadaan yang duka selesai, ajaran Injil dianggap oleh
penganutnya sebagai ‘kabar gembira’. Istilah ekaristi berasal dari
bahasa Yunani eucharistia yang berarti ‘berterima kasih’ atau
‘bergembira’. Jemaah Katolik percaya bahwa mereka yang menerima sakramen
ekaristi dipersatukan dengan Yesus. Kehidupan seorang Nasrani sejati berlangsung dari satu misa ke misa berikutnya maka sajak ini bersifat siklis: larik 13-15 merupakan perulangan larik 1-3.
Berdasarkan informasi biografis oleh Jassin diketahui bahwa sajak Isa bersama dengan sajak Doa
dipersembahkan Chairil Anwar kepada Wilfridus Josephus Sabarija
Poerwadarminta (1904-1968) “yang dianggapnya sebagai Nasrani sejati dan
pemeluk teguh di masa Jepang”.[19] Sebagai contoh untuk kata ‘saleh’
Pierre Labrousse di dalam kamusnya malah mengutip ucapan Ajip Rosidi
bahwa “W.J.S. Poerwadarminta terkenal saleh di antara
kawan-kawannya”.[20] Keterangan itu dapat semakin mengarahkan
interpretasi sajak Isa ke aspek keagamaan. Padahal rupanya sajak Isa
sudah sangat bersifat gerejawi dan menyebarkan bau dupa. Akan tetapi,
puisi tidak dapat dianggap sebagai pencurahan isi hati yang spontan dan
sejati belaka, ‘puisi emosi semata-mata’ dalam frasa Asrul Sani pada
tahun 1948.[21]
Perlu ditekankan bahwa Chairil Anwar sendiri tidak
beragama Katolik, namun paham tentang konvensi dan norma-norma sastra
yang berlaku dalam aliran ekspresionisme di Eropa, terutama lewat
sajak-sajak Marsman. Marsman sendiri keturunan keluarga Protestan yang
taat, namun dia sebentar mencondongkan hatinya ke agama Katolik dan
menurut suatu biografi sastrawan Belanda dia “seumur hidup bergulat
dengan Allah”.[22] Banyak sudah ditulis tentang pengaruh
penyair-penyair asing atas karya Chairil Anwar, tetapi pada umumnya
tanpa menyadari bahwa setiap penulis adalah sekaligus pembaca juga.
Chairil Anwar meneladani Marsman, namun Marsman terpengaruh oleh banyak
penyair lain lagi, antara lain tokoh-tokoh Jerman seperti Trakl,
Stramm dan Heynicke yang pada gilirannya juga terpengaruh oleh banyak
penyair lain lagi dan seterusnya berturut-turut, tiada
habis-habisnya.[23] Menurut saya sajak Isa terpengaruh oleh
aliran ekspresionisme dengan tema ciri khas tentang jagat raya, yaitu
tema bahwa Allah, si aku lirik dan semua yang ada saling menyatu. Tema
pemersatuan kosmos itu, yaitu pembauran alam semesta, berulang kali
diterapkan di dalam sajak-sajak penyair Kurt Heynicke (1891-1985) dan
Franz Werfel (1890-1945), tetapi anehnya justru tidak ada di dalam
puisi Marsman.[24]
Tuduhan para kritikus Indonesia bahwa puisi
Chairil Anwar terlalu kebarat-baratan juga dapat diputarbalikkan: boleh
jadi pembaca Indonesialah yang pada umumnya terlalu
keindonesia-indonesiaan. Chairil Anwar mengetahui konvensi penulisan
sastra Barat, namun konvensi pembacaan sastra sampai sekarang berbeda
di Barat dan di Indonesia. Pembaca sastra di Barat dididik di sekolah
bahwa penulis darah daging belum tentu mencerminkan penulis dalam teks.
Bagaimana mungkin fakta-fakta biografis dapat digali dari sumber yang
berasal dari alam khayal? Seorang seniman yang menghasilkan karya yang
jelas-jelas otobiografis pun tetap tidak dapat dipercaya – begitulah
wanti-wanti yang disampaikan guru kepada muridnya di Barat. Akan
tetapi, seperti pernah dicatat Teeuw, di Indonesia rata-rata “puisi
pertama-tama dipandang sebagai sarana atau jalan untuk mendalami jiwa
seniman; dan si aku dalam puisi biasanya secara otomatik diidentikkan
dengan kedirian penyair”.[25] Teeuw menulis bahwa di Indonesia
“[j]arang ada tulisan atau pandangan kritik mengenai puisi Chairil Anwar
yang tidak mempersamakan aku-nya dalam berbagai sajak, khususnya sajak Aku,
dengan kepribadian Chairil”.[26] Oleh karena adat kebiasaan pembacaan
puisi di Indonesia itu dapat dimengerti mengapa para komentator
Indonesia biasanya tidak begitu berkonsentrasi pada teks sendiri namun
lebih mengutamakan penciptanya: ‘Chairil begini dan begitu’. Maka tidak
mengherankan bahwa seorang pakar sastra dari Indonesia pernah
mengemukakan bahwa sajak Isa merupakan ungkapkan pribadi si
penyair tentang keragu-raguan agamawinya: sajaknya menyatakan
“pergolakan Chairil Anwar dalam berusaha mencari Tuhannya”.[27] Ajip
Rosidi yang lebih hati-hati daripada kebanyakan peminat sastra Indonesia
menulis bahwa Chairil Anwar melalui sajaknya Aku
memperlihatkan
diri sebagai seorang individualis. Namun dalam sajak-sajaknya yang
lain, ia pun memperlihatkan pula dirinya sebagai seorang yang sangat
religius (misalnya “Do’a” dan “Isa”), seorang patriot (misalnya
“Persetujuan dengan Bung Karno”, “Diponegoro”, “Krawang Bekasi”, dan
lain-lain), seorang yang kesepian (“Hampa”), seorang yang romantis
(“Senja di Pelabuhan Kecil”) dan lain-lain.[28]
Kata kunci
dalam penilaian Ajip Rosidi tentang Chairil Anwar adalah
“memperlihatkan diri”: penyair tersebut seperti bunglon yang
pendiriannya tidak dapat diketahui dengan pasti. Aku dalam Aku bukan Chairil Anwar sendiri dan pengertian ini berlaku bagi puisinya secara menyeluruh.
Pandangan
saya terhadap puisi Chairil Anwar tentu saja diwarnai kacamata buatan
Barat yang saya pakai, tetapi mengapa sajak-sajaknya hanya harus
diartikan sebagai anekdot saja? Sebaiknya sajak tidak dicampuradukkan
dengan cerita singkat yang mengesankan berdasarkan kejadian yang benar.
Seperti dalam peribahasa Melayu: Sungguh berjanggut tiada berjubah atau – demi kesetaraan gender – sungguh bersubang tidak berdara.[29] Orang Nasrani sejati dipersilakan membaca Mat 7:21-23; Luk 6:46.
E.P. Wieringa adalah Guru Besar dalam bidang Bahasa dan Sastra Indonesia dan Pengkajian Islam di Universitas Cologne, Jerman.
[1]Definisi ini diambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa
(KBBI), edisi empat (pemimpin redaksi Dendy Sugono), Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2008, hlm. 354. Di dalam analisa berikutnya buku rujukan
itu selalu dipakai sebagai sumber terpenting untuk penjelasan
kata-kata di dalam sajak Isa. Definisi-definisi KBBI yang saya
pakai akan muncul dalam tanda kutip, tetapi saya kira tidak perlu
untuk menyebutkan nomor halaman pada catatan kaki. Kadangkala saya juga
merujuk kepada pendahulu KBBI, yaitu Kamus Umum Bahasa Indonesia (KU) yang tersusun oleh W.J.S. Poerwadarminta, diterbitkan di Jakarta oleh Balai Pustaka, tahun 1966, cetakan keempat.
[2]Oemarjati, Chairil Anwar, hlm. 127-129.
[3]Segala
kutipan dari Alkitab diambil dari edisi Lembaga Alkitab Indonesia
(Jakarta 1990) yang diterima dan diakui oleh Konperensi Waligereja
Indonesia.
[4]Teeuw mengemukakan interpretasi yang lain lagi: “Biasanya kata mengucur dipakai secara intransitif, tidak memakai obyek, sedangkan subyeknya selalu zat cair (air mata, darah, hujan). Dalam sajak Isa Chairil Anwar membalikkan makna tatabahasa kata mengucur,
semacam defamiliarisasi, meniadakan yang sudah terbiasa. Bukan darah
yang mengucur lagi, tetapi tubuhlah yang mengucur, lagi pula
ditambahkannya obyek darah ini memang penyimpangan yang
menjadikan kata ini segar-hidup dan menambah efek puitisnya”. Lihat hlm.
A. Teeuw, 1983, ‘Sudah larut sekali. Chairil anwar: Kawanku dan Aku’,
di dalam bukunya Tergantung pada kata. Sepuluh sajak Indonesia, Jakarta: Pustaka Jaya [cetakan kedua], hlm. 17.
[5]Rakhmat Joko Pradopo, 2009, Pengkajian puisi: analisis strata norma dan analisis struktural dan semiotik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press [cetakan ke-11], hlm. 176.
[6]Oemarjati, Chairil Anwar, hlm. 72.
[7]Lihat misalnya J.S. Badudu, 1976, Pelik-pelik Bahasa Indonesia, Bandung: Pustaka Prima [cetakan keempat], hlm. 117-118. Badudu, Pelik-pelik,
hlm. 118 juga mengkritik bahwa aturan tersebut “sangat diabaikan
orang”, bahkan pengarang-pengarang terkenal menggunakan ungkapan seperti
‘di malam hari’ atau ‘di pagi yang cerah’.
[8]Contoh tersebut diambil dari Roelof Roolvink, 1948, De voorzetsels in klassiek en modern Maleis, Dokkum: Kamminga [disertasi Universitas Utrecht], hlm. 87.
[9]Roolvink, De voorzetsels in klassiek en modern Maleis, hlm. 87.
[10]Oemarjati, Chairil Anwar, hlm. 72.
[11]Idem, hlm. 70-72.
[12]Idem, hlm. 71.
[13]Anehnya, istilah ‘transubstansiasi’ belum masuk KBBI.
[14]Bandingkan Postma, Marsmans ‘Verzen’, hlm. 268.
[15]Untuk
pembicaraan gagasan transubstansiasi lihat lemanya di dalam Catholic
Encyclopedia yang dapat diakses melalui internet lewat http://www.newadvent.org/cathen/05573a.htm#section3.
[16]Lihat Oemarjati, Chairil Anwar, hlm. 145 catatan nomor 42.
[17]Oemarjati, Chairil Anwar, hlm. 73.
[18]Idem.
[19]Jassin, Chairil Anwar, hlm. 49.
[20]Pierre Labrousse, 1984, Dictionnaire général indonésien-français, Paris: Association Archipel, hlm. 710.
[21]Kutipan Asrul Sani dari Nirwan Dewanto, ‘Situasi Chairil Anwar (6)’, diposkan di lamannya pada tanggal 11 Mei 2011, http://nirwandewanto.blogspot.com/2011/05/situasi-chairil-anwar-6.html.
[22]G.J. van Bork dan P.J. Verkruijsse (peny.), 1985, De Nederlandse en Vlaamse auteurs van middeleeuwen tot heden met inbegrip van de Friese auteurs, Weesp: De Haan, hlm. 375 [dapat diakses melalui internet lewat http://www.dbnl.org/tekst/bork001nede01_01/bork001nede01_01_0842.php]
[23]Ton Anbeek, 1990, Geschiedenis van de Nederlandse literatuur 1885-1985, Amsterdam: Arbeiderspers, hlm. 128-129.
[24]Postma, Marsmans ‘Verzen’, hlm. 275.
[25]Teeuw, Sastra, hlm. 168.
[26]Idem.
[27]Lihat interpretasi Bani Sudardi, Tonggak-tonggak, hlm. 110.
[28]Ajip Rosidi, 1987, Puisi Indonesia modern, Jakarta: Pustaka Jaya, hlm. 82.
[29]Celakanya,
kedua peribahasa tersebut tidak ada di dalam KBBI! Akan tetapi,
pepatah pertama terdaftar dengan nomor 658 di dalam buku rujukan Peribahasa
yang disusun K. St. Pamuntjak, N. St. Iskandar dan A. Dt. Madjoindo,
Djakarta: Balai Pustaka [1949, cetakan ketiga], hlm. 98 dan dijelaskan
sebagai “Keadaan seseorang yang sebenarnya tidaklah seperti yang
diperagakannya”. C.C. Brown, 1951, Malay sayings, London:
Routledge and Kegan Paul, hlm. 152 menerjemahkan peribahasa ini sebagai
“He may have the beard, but he hasn’t the cassock, of a holy man”
dengan penjelasan “Not all he professes to be” (varian: sudah berjanggut tidak berjubah dan sungguh berserban tidak berjubah).
Anehnya, peribahasa kedua tidak ada di dalam buku susunan ketiga ahli
Minangkabau yang dikutip di atas, tetapi malah ada di dalam Brown, Malay sayings, hlm. 5 dan 151.
sumber: horisononline.or.id