| Ditulis oleh Jamal T. Suryanata |
Memperbincangkan
ihwal sastra Indonesia mutakhir, sebagai suatu tema besar, tentu saja
bukan sebuah persoalan yang tanpa risiko. Di samping karena begitu
luasnya cakupan pengertian “sastra Indonesia” itu sendiri, juga
dilantarankan oleh ketakrifan istilah “mutakhir” yang digunakan dalam
judul tulisan ini memang cenderung bermakna bias (baca: bersifat
deiktis). Oleh karena itu, sekadar upaya penyederhanaan konseptual,
istilah “sastra Indonesia” dalam konteks ini hanya akan merujuk pada
karya-karya sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia; sedangkan
istilah “mutakhir” lebih dimaksudkan untuk menunjuk perkembangan sastra
Indonesia sepanjang lebih-kurang sepuluh tahun terakhir, sejak memasuki
tahun 2000 hingga sekarang (dekade pertama abad ke-21). [1]
Akan
tetapi, dengan pembatasan semacam itu tidaklah berarti bahwa
perkembangan sastra Indonesia pada masa-masa sebelumnya praktis akan
kehilangan relevansinya. Bahkan, untuk memulai diskusi ini saya akan
banyak menyinggung perkembangan sastra Indonesia di penghujung abad
ke-20 melewat. Sebab, bagaimanapun, perjalanan sejarah adalah sebuah
mata rantai yang sambung-sinambung dan senantiasa bersifat dialektis.
Sastra Indonesia terkini tidak akan pernah ada tanpa melalui proses
sejarah yang panjang sejak lahirnya karya-karya sastra Nusantara klasik
yang hidup dan berkembang dalam tradisi lisan di abad-abad silam. Sastra
Indonesia terkini adalah anak-anak yang dibesarkan oleh tradisi sastra
sebelumnya. Sastra Indonesia abad ke-21 adalah warisan langsung dari
tradisi sastra Indonesia abad ke-20 yang lalu.
Selain
itu, mengingat betapa luas dan beragamnya pemahaman atas konsep sastra,
di sini juga perlu diberikan batasan yang lebih jelas mengenai genre
sastra yang hendak dijadikan pokok masalahnya. Maka, dengan pertimbangan
praktis saja, dalam pembicaraan ini saya hanya akan menyinggung
perkembangan dua genre sastra kreatif, yakni puisi (sajak) dan fiksi
(cerita rekaan). Sebab, pada kenyataannya, kedua ragam inilah yang
selama ini paling pesat perkembangannya dalam lingkungan pembaca sastra
Indonesia modern sebagaimana telah ditunjukkan oleh tingginya tingkat
frekuensi pembicaraan tentangnya di banyak media dan penerbitan di
negeri ini hingga sekarang. Sementara, kendati dari tahun ke tahun
karya-karya drama juga tetap ditulis orang, tetapi lantaran proses
kreatif penulisannya yang pada umumnya terbatas hanya untuk kepentingan
pementasan (teater), hal ini sungguh menyulitkan cara kerja seorang
pengamat atau kritikus sastra untuk dapat melacaknya secara relatif
lengkap.
Kalaulah acuan kita terbatas pada karya-karya
drama yang diterbitkan dalam bentuk buku, misalnya, hingga sekarang
hanya sedikit buku drama yang telah diterbitkan dan beredar di pasaran.
Bahkan, jika kemudian kita ingin menjadikan faktor ketokohan para
dramawan (baca: penulis naskah drama) sebagai patokan tentunya juga
hanya sedikit nama yang bisa disebutkan —umumnya terbatas pada nama-nama
yang sudah sangat populer dalam kancah drama dan teater di tanah air
selama ini (antara lain Arifin C. Noer, N. Riantiarno, W.S. Rendra, Putu
Wijaya, Emha Ainun Nadjib, atau Remy Silado). Padahal, pada
kenyataannya pula, hampir di setiap daerah di Indonesia ada saja
kelompok-kelompok teater yang aktif dan bahkan secara ajek melakukan
pementasan drama —baik mementaskan naskah sendiri maupun bertotak dari
naskah orang lain.
/ 2 /
Jika
pembicaraan sastra Indonesia mutakhir ini kita mulai dari genre puisi,
tak dapat disangkal bahwa sejak pertengahan tahun 1980-an hingga ke
penghujung tahun 1990-an yang lalu peta estetika perpuisian Indonesia
modern tampak lebih didominasi oleh sosok kepenyairan Afrizal Malna.
Dalam konteks ini tentu bukan maksud saya untuk membesar-besarkan nama
Afrizal, tetapi pada kenyataannya selama rentang waktu tersebut memang
ada kecenderungan bahwa estetika perpuisian yang dibawanya telah menjadi
semacam acuan kolektif (kalau bukan menjadi “kiblat” utama), khususnya
di kalangan penyair muda (apalagi masih berkategori pemula) yang hingga
beberapa waktu kemudian masih saja menjadi para epigon dan tetap berada
di bawah bayang-bayang trend “Afrizalian” —demikian gejala
perpuisian Indonesia kontemporer ini sering disebutkan, baik dengan
konotasi pujian maupun bernada ejekan.
Diakui atau
tidak, sepanjang dekade 90-an, sosok kepenyairan Afrizal Malna yang
sisa-sisa pengaruhnya bahkan masih terasa sampai sekarang memang telah
menjadi sebuah fenomena baru dalam jagat sastra di tanah air. Pembaruan
estetika perpuisian yang dibawanya barangkali dapat disetarakan dengan
dobrakan-dobrakan estetik yang dulu pernah dilakukan Amir Hamzah
(1930-an), Chairil Anwar (1940-an), atau Sutardji Calzoum Bachri dan
Sapardi Djoko Damono (1970-an). Sajak-sajaknya —yang gelap maupun yang
terang, yang pedih maupun yang riang— bukan saja dianggap telah
memberikan kesegaran dan wawasan estetik baru (yang sekaligus telah
menempatkan dirinya sebagai pemimpin literer perpuisian Indonesia pada
masanya), melainkan juga telah berhasil mengangkat dan meramu dunia
benda menjadi sesuatu yang berjiwa dengan penuh vitalitas.[2]
Gaya pengucapannya yang khas merepresentasikan kegamangan antroposentrisme manusia urban di tengah gebalau peradaban postmodern itu secara konsisten diusungnya hingga sekarang, sebagaimana tampak dalam beberapa kumpulan sajaknya; mulai dari Abad yang Berlari (1984), Yang Berdiam dalam Mikropon (1990), Arsitektur Hujan (1995), Kalung dari Teman (1999), sampai Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing (2002).[3]
Lantaran
kebaruan bahasa dan pengucapan estetiknya itulah hingga Korrie Layun
Rampan pernah menyimpulkan bahwa puncak pencapaian estetik dalam mainstream
perpuisian Indonesia terkini (yang diproklamirkannya sebagai Angkatan
2000 itu) secara monolit jatuh pada sajak-sajak Afrizal Malna.[4]
Pada
paro kedua dekade 90-an yang lalu, seorang penyair muda yang dapat
dianggap sebagai tipikal epigon gaya kepenyairan Afrizal Malna (baca:
Afrizalian) adalah T. Wijaya —sebagaimana tampak dalam dua kumpulan
puisinya, Krisis di Kamar Mandi (1995) dan Dari Pesan Nyonya
(1996). Kecuali penyair kelahiran Palembang (25 Desember 1970)
tersebut, tentu saja masih ada sederet nama lain yang secara langsung
maupun tidak telah ikut terhanyut dalam kecenderungan (trend)
serupa. Namun demikian, kendati gaya Afrizalian itu cukup dominan
mewarnai estetika perpuisian Indonesia mutakhir, tidaklah berarti semua
penyair muda telah secara latah menjadi epigon-epigon Afrizal pula.
Sejumlah
penyair lain, baik yang sudah eksis sejak dasawarsa 80-an —antara lain
mereka yang telah “dilegitimasi” melalui Forum Puisi Indonesia ’87
(1987)— maupun yang baru berkiprah sejak dekade 90-an atau awal tahun
2000-an —antara lain mereka yang telah “dibaptis” melalui perhelatan
akbar Mimbar Penyair Abad 21 (1996) dan Cakrawala Sastra Indonesia
(2005)— sebagian besar tampaknya justru sudah mampu memperlihatkan
jatidiri kepenyairannya masing-masing. Dari kalangan yang lebih senior
dapat disebutkan, misalnya, nama-nama Isbedy Setiawan ZS, Ahmad
Nurullah, Ahmadun Y. Herfanda, Radhar Panca Dahana, Sitok Srengenge,
Remmy Novaris DM, Acep Zamzam Noor, Soni Farid Maulana, Mathori A. Elwa,
Ahmad Subhanuddin Alwy, Gus tf, Beni Setia, Wahyu Prasetya, Agus R.
Sarjono, Nirwan Dewanto, Saut Situmorang, Jamal D.
Rahman,
Tjahjono Widarmanto, Dorothea Rosa Herliany, Abidah el-Khalieqy,
Ulfatin Ch., juga Ajamuddin Tifani dan Eza Thabry Husano (sebelum
keduanya meninggal), Burhanuddin Soebely, Micky Hidayat, Maman S. Tawie,
Tarman Effendi Tarsyad, dan Arsyad Indradi —untuk menyebut beberapa di
antaranya. Lalu, dari generasi selanjutnya (berdasarkan awal kiprah
kepenyairannya) dapat disebutkan nama-nama Cecep Syamsul Hari, Joko
Pinurbo, Abdul Wachid BS, Dimas Arika Mihardja, Arif B. Prasetyo, Iyut
Fitra, Ari Setya Ardhi, Adri Sandra, Aslan Abidin, Amien Wangsitalaja,
Wowok Hesti Prabowo, HU Mardiluhung, Endang Supriadi, Kurnia Efendi,
Putu Fajar Arcana, Warih Wisatsana, Tan Lioe Ie, Yusrizal KW,
Kusprihyanto Namma, Panji Utama, ES. Wibowo, Moh. Wan Anwar (sebelum
meninggal), Raudhal Tanjung Banua, Marhalim Zaini, Hasan Aspahani, Ahda
Imran, Ali Syamsudin Arsi, Oka Rusmini, Nenden Lilis A., Nur Wahida
Idris, Arini Hidajati, Pranita Dewi, Hudan Nur, dan sederet nama lagi
—juga sekadar menyebut nama beberapa saja.[5]
Bertolak
dari sederet nama di atas, tentu saja dengan memperhitungkan
kecenderungan umum dan karakteristik karya mereka masing-masing, maka
untuk memetakan secara hitam-putih kecenderungan estetik atau gaya
perpuisian dalam ekologi kepenyairan Indonesia terkini jelas merupakan
sesuatu yang sangat muskil (kalau bukan mustahil). Dalam konteks
pemetaan teoretis-historis, sekali lagi dengan mempertimbangkan kian
tingginya kompleksitas kecenderungan estetik tersebut, keinginan untuk
bertindak objektif (apalagi bertendensi sebagai seorang perfeksionis)
dalam kondisi chaos demikian pada akhirnya akan dapat menjebak
kita ke dalam perangkap labirin sehingga hanya akan menghasilkan
simpulan-simpulan prematur atau bahkan terasa kedodoran. Sebab, pada
kenyataannya, kecenderungan estetik dalam karya-karya mereka sudah
demikian variatifnya, lengkap dengan segala corak dan warnanya. Di situ
ada sajak-sajak bergaya liris, prosais, imagis, religius, sufistik,
balada, kocak, penuh kritik sosial, dan entah apalagi namanya setelah
kita temukan karya-karya yang mungkin bersifat eksperimental.[6]
Upaya
pemetaan estetika perpuisian Indonesia mutakhir ini lebih-lebih akan
menjadi semakin rumit jika memperhitungkan pula —memang begitulah
seharusnya— karya-karya para penyair yang lebih senior lagi (sebut saja
para penyair gaek) yang ternyata masih tetap eksis berkarya
dalam sepuluh tahun terakhir; semisal Taufiq Ismail, Sapardi Djoko
Damono, D. Zawawi Imron, Goenawan Mohamad, Sutardji Calzoum Bachri,
Hamid Jabbar (sebelum meninggal), A. Mustofa Bisri, Abdul Hadi WM,
Mochtar Pabottingi, dan sejumlah nama lagi. Dengan mempertimbangkan
banyak sisi, betapa tingkat hiterogenitas kecenderungan estetik
perpuisian Indonesia terkini tampak menjadi semakin kompleks saja dan
pada akhirnya memang mustahil untuk dapat dipetakan secara objektif dan
komprehensif. Oleh karena itu, persoalannya sekarang bukan lagi pada
keharusan upaya pemetaan teoretis-determinatifnya, melainkan lebih pada
usaha-usaha ekstensifikatif maupun intensifikatif dalam rangka
peningkatan apresiasi sastra di tengah masyarakat Indonesia yang tidak
melek sastra.
/ 3 /
Ketika
perbincangan selanjutnya kita fokuskan pada ragam fiksinya, pada
kenyataannya kita pun akan menemui fenomena yang tidak jauh berbeda
dengan perkembangan yang telah dicapai dalam dunia perpuisiannya. Dalam
satu dasawarsa terakhir ini, betapa kita sudah dihadapkan pada suasana
yang sangat riuh oleh munculnya begitu banyak karya fiksi (khususnya
dalam bentuk novel dan cerpen) yang ditandai dengan semakin tingginya
tingkat kebebasan berekspresi, dengan segala kekhasan dan keragamannya,
juga dengan segala risiko sosiokultural maupun sosiopsikologisnya yang
mungkin ada —tentu saja kalau kita memang meyakini bahwa kehadiran
sebuah karya sastra akan membawa pengaruh yang signifikan terhadap
dinamika sosial dalam suatu lingkungan masyarakat pada zamannya
masing-masing.
Fiksi Indonesia mutakhir juga
menyiratkan sebuah dunia yang kompleks, sebagaimana sebuah taman dengan
areal yang luas serta ditumbuhi beragam jenis dan warna bunga dari
spesis yang berbeda. Kompleksitas itu bukan saja tampak pada keragaman
tema-tema yang ditawarkan, melainkan juga dalam gaya bahasa, teknik
bercerita, dan corak pengungkapannya. Kemudian, sebagaimana juga terjadi
dalam dunia perpuisian, karya-karya fiksi Indonesia mutakhir pun
ternyata tidak melulu dihasilkan oleh para penulis muda atawa pendatang baru (new comers).
Sebab, pada kenyataannya, cukup banyak novel dan kumpulan cerpen yang
diterbitkan dalam beberapa tahun belakangan (apalagi jika rentang
waktunya diperluas hingga ke tahun-tahun 1990-an) justru terlahir dari
tangan pengarang-pengarang senior semisal Y.B. Mangunwijaya, Remy
Sylado, Abrar Yusra, Suparto Brata, Putu Oka Sukanta, Hamsad Rangkuti,
Umar Kayam, Budi Darma, Danarto, Kuntowijoyo, Putu Wijaya, Sapardi Djoko
damono, Ahmad Tohari, Korrie Layun Rampan, Ediruslan Pe Amanreza,
Harris Effendi Tahar, N.H. Dini, atau Titis Basino P.I. Selain mereka,
kita juga masih bisa melihat produktivitas Seno Gumira Ajidarma, Taufik
Ikram Jamil, Jujur Prananto, Yanusa Nugroho, Bre Redana, Gus tf Sakai,
Agus Noor, Triyanto Triwikromo, Afrizal Malna, Esbedy Setyawan ZS,
Martin Aleida, Herleno Soleman, Ratna Indraswari Ibrahim, dan lain-lain.
Selanjutnya,
setidaknya sejak akhir dekade 90-an atau awal tahun 2000-an, muncul
pula wajah-wajah baru yang lebih didominasi oleh para pengarang
perempuan muda semisal Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Dinar Rahayu, Fira
Basuki, Dee, Ani Sekarningsih, Clara Ng., Linda Christanty, Dewi
Sartika, Lan Fang, Yetti A. KA., Ratih Kumala, di samping Naning
Pranoto, Abidah el-Khalieqy, Oka Rusmini, Nenden Lilis Aisyah, Helvy
Tiana Rosa, dan Asma Nadia. Kecuali mereka, tentu saja kita tidak boleh
melupakan pengarang-pengarang berbakat lainnya seperti Joni Ariadinata,
Andrea Hirata, Indra Tranggono, Agus Vrisaba, Puthut E.A., Yusrizal
K.W., Marhalim Zaini, Eka Kurniawan, Zen Hae, Raudal
Tanjung Banua, Sunlie Thomas Alexander, Wayan Sunarta, Sandi Fily,
Hajriansyah, dan Harie Insani Putra yang rata-rata kelahiran antara
tahun 1960-an hingga 1980-an. Namun begitu, pada kenyataannya tidak
semua penulis fiksi Indonesia mutakhir berhasil menerbitkan karya-karya
mereka dalam bentuk buku (karya tunggal), khususnya untuk genre cerpen.
Hanya segelintir pengarang yang beruntung dapat menerbitkan buku mereka,
baik dengan prosedur penerbitan formal-konvensional maupun secara
swakelola (self-publishing).
Sepanjang dekade
pertama tahun 2000-an ini, beberapa fenomena menarik yang dapat saya
catatkan dari perkembangan fiksi Indonesia mutakhir, antara lain
munculnya suatu fenomena yang dengan konotasi tertentu sering disebut
“sastrawangi”. Kemunculan gejala baru yang kontroversial ini agaknya
dipicu oleh terbitnya karya-karya fiksi beraroma seksual dari tangan
segelintir pengarang perempuan muda (dengan konotasi cantik, seksi,
berpendidikan tinggi, dan bergaya hidup metropolis). Kemunculan gejala
ini terutama ditandai dengan terbitnya novel Saman (Ayu Utami, 1998), kemudian disusul Larung (Ayu Utami, 2001), Ode untuk Leopold von Sacher-Masoch (Dinar Rahayu, 2002), Tujuh Musim Setahun (Clara Ng.), Dadaisme (Dewi Sartika, 2004), Nayla (Djenar Maesa Ayu, 2005), juga kumpulan cerpen Mereka Bilang, Saya Monyet! (Djenar Maesa Ayu, 2002), Jangan Main-main (dengan Kelaminmu) (Djenar Maesa Ayu, 2004), dan Cerita Pendek tentang Cerita Cinta Pendek (Djenar Maesa Ayu, 2006).
Karya-karya
tersebut sempat menimbulkan pro-kontra di kalangan pembaca maupun para
pengamat dan kritikus sastra kontemporer di tanah air, setidaknya
sepanjang tahun 2002—2005. Sebab, kecuali dari satu sisi dipandang telah
memberikan kesegaran baru dalam estetika sastra (fiksi) Indonesia (baik
dari segi teknik bercerita maupun sentuhan stilistiknya), di sisi lain
kontroversi itu terutama disulut oleh keberanian para pengarangnya dalam
“dobrakan radikal” mereka mengungkapkan ketabuan dan keliaran seksual
secara gamblang, tanpa tedeng aling-aling, dan terasa sangat vulgar
sehingga cenderung menjurus pada pornografi.[7]
Kendati
persoalan seks dalam sastra Indonesia bukanlah sesuatu yang baru,
tetapi dibandingkan dengan para pengarang pendahulunya (khususnya N.H.
Dini dengan dua novelnya, Namaku Hiroko dan Pada Sebuah Kapal),
kelompok penulis sastrawangi ini tampak lebih berani dalam hal
“menelanjangi” tubuh mereka sendiri, tak terkecuali “melumat-lumat”
kebugilan tubuh lawan jenisnya. Mereka, agaknya sekadar ingin berbeda
dan mencari sensasi, dengan sengaja mengeksploitasi kata-kata yang
menurut ukuran moral seharusnya tidak diungkapkan secara vulgar —antara
lain (maaf): penis, zakar, kontol, klentit, atau vagina. Di satu pihak,
oleh beberapa pengamat yang mendewa-dewakan nilai seninya —l’art pour l’art
(baca: sastra untuk sastra)— karya-karya tersebut dipandang sebagai
suatu kemajuan dalam perkembangan estetika sastra Indonesia atau
seni-budaya pada umumnya. Namun, di lain pihak, bagi kaum moralis
(agamis) karya-karya demikian dinilai sebagai karya antimoral dan bahkan
kurang-ajar karena telah melanggar wilayah sakral manusia yang
seyogianya ditabukan. Sebab, dengan segala ketelanjangannya itu,
karya-karya jenis ini dinilai dapat meruntuhkan tatanan moral bangsa,
terutama di kalangan generasi muda.[8]
Kecuali trend
sastrawangi yang lumayan menghebohkan itu, fenomena lainnya yang tampak
mulai merasuki dunia fiksi Indonesia terkini adalah masuknya ikon-ikon
teknologi informasi mutakhir semacam internet dan telepon genggam yang
menjadi bagian integral dalam membangun makna sebuah karya sastra.
Terlepas dari soal pro-kontra ihwal muatan seksualitasnya yang cenderung
antimoral itu, pada beberapa halaman penutup novel Saman,
misalnya, Ayu Utami dengan lincahnya mengeksplorasi dialog antartokoh
(antara Saman dan Yasmin) dengan memanfaatkan surat elektronik (e-mail, salah satu fasilitas internet) sebagai media komunikasi. Sementara, pemanfaatan handphone dengan fasilitas short message system (sms)-nya antara lain telah dieksplorasi Djenar Maesa Ayu dalam cerpen bertajuk “SMS”.
Dalam
kajian sosiologi sastra, munculnya gejala semacam ini dipandang sebagai
salah satu penanda atau merupakan representasi kemajuan peradaban yang
telah dicapai manusia pada masa penciptaannya; bahwa karya-karya sastra
pada dasarnya dapat diposisikan sebagai artifak kebudayaan yang relatif
mampu mencatat atau merefleksikan kondisi zamannya sehingga pada
akhirnya ia dapat berfungsi sebagai sejarah alternatif, di samping
fungsi karya sejarah dalam arti sebenarnya. Dengan begitu, dalam konteks
ini, teori sosiologi sastra yang memandang sastra sebagai cermin
masyarakat (sebagaimana yang dikemukakan Ian Watt, misalnya) tampak
menjadi kian jelas relevansinya.
Kemudian, hampir
bersamaan dengan munculnya fenomena sastrawangi, satu gejala lagi yang
dipandang telah memberi warna tersendiri dalam perjalanan sastra
Indonesia mutakhir adalah munculnya karya-karya ”fiksi religius” (baca
juga: fiksi Islami). Kecenderungan baru genre fiksi yang dikononkan
sebagai karya-karya sastra ”pembangun jiwa” ini pada awalnya digagas dan
dimotori oleh Helvy Tiana Rosa (kemudian bersama Asma Nadia dan
kawan-kawan) melalui Forum Lingkar Pena (FLP) yang pernah dirintis dan
diasuhnya. Munculnya gejala ini, pada tataran tertentu, boleh jadi
merupakan upaya penyeimbang (balancer) atau sebagai budaya
tanding atas dominasi karya-karya bercorak seksual ala sastrawangi yang
cukup menghebohkan lantaran “kegenitan estetik”-nya itu. Melalui lembaga
yang merupakan sebuah jaringan (network) besar itulah —karena
kini telah memiliki banyak cabang di berbagai daerah di Indonesia— para
pengarang muda banyak bermunculan dari komunitas ini, bahkan sudah
melahirkan puluhan novel maupun kumpulan cerpen (remaja) Islami.
Dalam
karya-karya mereka, unsur dakwah agama (baca: Islam) dan upaya
penyadaran moral memang sangat menonjol (kalau bukan sebagai tujuan
utama), tanpa harus terjerumus ke dalam propaganda yang terlampau
tendensius. Kelompok pengarang fiksi religius ini pada umumnya lebih
banyak mengeksplorasi persoalan kehidupan remaja yang secara psikologis
masih dalam kondisi labil, tetapi nyaris selalu digambarkan sukses dalam
menghadapi problem yang mereka alami. Dalam kaitan ini, agama
dihadirkan sebagai pembuka jalan dan sekaligus sebagai pemecahan
masalah. Sementara itu, dalam hal usaha penerbitan karya, mereka telah
melakukan kerja sama (secara simbiosis-mutualis) dengan beberapa
penerbit yang secara ideologis tentunya juga memiliki visi yang sama
dengan kelompok penulis sastra Islami ini (semisal DAR Mizan, Syaamil,
Naviri, dan Inisiasi Press).
Sejak genre sastra Islami
digagas dan dipopulerkan oleh FLP, pada tahun-tahun berikutnya tampak
semakin marak bermunculan karya-karya sastra serupa (novel dan cerpen
Islami) dari tangan para pengarang di luar lingkaran FLP sendiri.
Bahkan, di penghujung dasawarsa pertama tahun 2000-an yang baru saja
berlalu, sastra Islami boleh dikata merupakan sebuah trend baru dalam estetika sastra (fiksi) Indonesia mutakhir. Fenomena ini terutama ditandai dengan terbitnya novel Ayat-ayat Cinta (2006) karya Habiburrahman El-Shirazy yang mengalami booming
dan sukses luar biasa, lebih-lebih setelah novel ini diangkat ke dalam
bentuk film layar lebar. Dalam hal ini, perlu dicatat bahwa kesuksesan
keduanya (novel maupun film tersebut) tentu saja bersifat kausal,
timbal-balik, dan saling melengkapi.
Kesuksesan Habiburrahman melalui novel Ayat-ayat Cinta-nya
ini kemudian segera diikuti oleh sejumlah penulis muda lainnya, baik
dari kelompok FLP maupun dari kalangan penulis di luarnya. Sederet nama
baru bermunculan, sebagian di antaranya telah tercatat dalam sejarah
sastra Indonesia terkini. Namun, kendati berbeda dengan kasus epigonisme
gaya Afrizalian (khas estetika kepenyairan Afrizal Malna) dalam jagat
puisi Indonesia mutakhir, di sini juga tampak adanya tendensi pengekoran
terhadap kesuksesan dan popularitas Habiburrahman dengan Ayat-ayat Cinta-nya. Gejala
ini terutama sangat kentara jika kita lihat dari aspek temanya yang
cenderung seragam, teknik berceritanya yang hampir selalu mengeksplorasi
emosi kesedihan, juga keterikatan kosa kata tertentu pada judul-judul
buku yang mereka terbitkan —lihat saja judul-judul buku yang mereka
gunakan, pada umumnya selalu memakai kata “cinta” sebagai ikonnya.
Sederet karya (baca: novel) yang —dengan pengamatan sepintas lalu saja sudah dapat diduga— mengikuti trend tersebut (baca: dengan kecenderungan sastra Islami, terutama berkaitan dengan popularitas dan kesuksesan Ayat-ayat Cinta), antara lain Persembahan Cinta Sari Surga (Nurrahman Effendi), Menggapai Sang Cinta (In’am Ibnu Shalih), Jejak Cinta Sang Kiai (Imam Sibawaih El-Hasani), Kisah Cinta Insan dan Kamil (Kinoysan), Kafilah Cinta (Syakaro Ahmad el-Alyyi), Sujudilah Cintamu! (Zhaenal Fanani), Sujud Cinta di Masjid Nabawi (Putri Indah Wulandari), Para Mujahid Cinta (Najieb Kailani), Kelan Cinta Shafiyya (Fitria Pratiwi)), Habib Palsu Tersandung Cinta (Ubay Baequni), Kerudung Cinta dari Langit ke Tujuh (Wahyu Sujana), Ketika Tuhan Jatuh Cinta (Wahyu Sujana), Napas Cinta Para Ahli Doa (Wahyu Sujada), dan Jazirah Cinta
(Randu Alamsyah). —bahkan, tampak ada kecenderungan bahwa Habiburrahman
sendiri kemudian ingin mengulang kesuksesan yang pernah diraihnya
melalui novel Ayat-ayat Cinta-nya dengan menerbitkan beberapa karyanya yang lain: Di Atas Sajadah Cinta (2004), Ketika Cinta Berbuah Surga (2005), Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2 (2007), Dalam Mihrab Cinta (2007), Bumi Cinta (2010), dan Cinta Suci Zahrana
(2010). Kalaupun mereka tidak menggunakan kata “cinta” sebagai bagian
judul buku, minimal mereka mengeksplorasi cinta dalam kemasan religius.
Dengan demikian, bertolak dari ciri-ciri umum kecenderungan estetiknya,
gejala ini boleh dikata sebagai penanda munculnya genre ”fiksi cinta
Islami” (kalau bukan trend ”sastra poligami”).[9]
Kecuali
ketiga fenomena di atas, perlu saya catatkan pula bahwa dalam beberapa
tahun terakhir ini agaknya telah muncul suatu kesadaran primordial di
kalangan pengarang dan pengamat sastra Indonesia melalui gerakan
“kembali ke akar tradisi” dengan mengangkat lokalitas sebagai spirit
cipta sastra. Kendati harus kita akui bahwa lokalitas (baca: warna
lokal) bukanlah suatu persoalan baru dalam sastra Indonesia, semangat
ini setidaknya kembali bergema dan kian bergaung luas sejak
berlangsungnya perhelatan sastra nasional bernama Kongres Cerpen
Indonesia IV di Pekanbaru, Riau (26—30 November 2005) yang memang secara
khusus mengusung tema “Ayo, Estetika Lokal!”. Semangat inilah yang
hingga terakhir ini terus diusung dan diupayakan aktualisasinya dalam
proses kreatif penulisan karya sastra di tanah air.[10]
Pada periode ini, lahirnya novel Laskar Pelangi
(2006) dari tangan Andrea Hirata seakan mengukuhkan pernyataan tentang
munculnya sebuah kesadaran kolektif pada para penulis fiksi di tanah air
akan pentingnya lokalitas untuk menuju sastra Indonesia yang
benar-benar berkarakter Indonesia, sebagaimana yang pernah dilakukan
oleh sederet pengarang fiksi Indonesia sebelumnya dengan lokalitasnya
masing-masing —antara lain: Pramoedya Ananta Toer, Y.B. Mangunwijaya,
Kuntowijoyo, Ahmad Tohari, Saparto Brata (Jawa), Korrie Layun Rampan
(Dayak, Kalimantan), Wisran Hadi, Chairul Harun, Darman Moenir,
Ediruslan Pe Amanriza, Taufik Ikram Jamil, Gus tf Sakai, Marhalim Zaini
(Melayu, Minangkabau), Gerson Poyk, Putu Wijaya, Putu Arya Tirtawirya,
Putu Oka Sukanta, dan Oka Rusmini (Lombok, Bali).
/ 5 /
Dalam
konteks yang lebih umum, perkembangan sastra Indonesia mutakhir juga
ditandai dengan maraknya komunitas-komunitas sastra yang bermunculan di
berbagai kota (daerah) di tanah air sejak paro kedua dekade 90-an
melewat. Kecuali eksistensi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang sudah
dikenal luas sejak puluhan tahun silam, beberapa kelompok yang selama
ini pernah giat melakukan berbagai perhelatan sastra —termasuk
mengupayakan penerbitan buku-buku sastra secara swakelola— antara lain
Komunitas Sastra Indonesia (Jakarta), Forum Sastra Bandung (Bandung),
Forum Lingkar Pena (Bandung), Yayasan Indonesia (Jakarta), Yayasan
Taraju (Padang), Yayasan CAK (reinkarnasi dari Sanggar Minum Kopi,
Bali), Komunitas Rumahlebah (Yogyakarta), Akademi Kebudayaan Yogyakarta
(Yogyakarta), dan Paradox Literary Centre (Magelang). Selain
itu, khusus dalam bidang cerpen, pada Kongres Cerpen Indonesia V di
Banjarmasin (2007) telah dibentuk Komunitas Cerpen Indonesia (KCI)
sebagai wahana pertemuan dan dialog antarpengarang (cerpenis) maupun
dengan para pemerhati (kritikus) cerpen dari seluruh pelosok tanah air.
Kecuali
kian merebaknya komunitas sastra-budaya, dalam sepuluh tahun terakhir
ini media massa dan penerbitan sastra pun tampak semakin marak
berkembang. Beberapa media penerbitan berkala dan berskala nasional yang
cukup respek memberi ruang publikasi untuk karya-karya sastra kreatif
di antaranya (koran) Kompas, Media Indonesia, Republika, Jawa Pos, Koran Tempo, Koran Sindo, (majalah bergensi) Horison, Basis, Matra, (majalah alternatif) Kolong, Panggung, Cak, Menyimak, Titik Tolak, Gong, On/Off, Paradox, dan Kindai —di samping beberapa jurnal yang distribusinya lebih terbatas seperti Jurnal Kalam, Jurnal Puisi, Jurnal Prosa, Jurnal Cerpen Indonesia, Jurnal Rumahlebah: Ruangpuisi, Jurnal Srinthil, Jurnal Perempuan, dan Jurnal Kandil (sangat
disayangkan, beberapa di antaranya kini sudah tinggal
nama).<a>[11]</a> Belum lagi jika pembicaraan kita
melibatkan majalah dan jurnal terkait di berbagai perguruan tinggi di
tanah air yang terutama memuat ragam karya ilmiah berupa kritik sastra.
Di
samping pesatnya perkembangan media penerbitan berkala (media massa
cetak pada khususnya), penerbit-penerbit buku (kecil maupun besar,
profesional maupun amatir, komersial maupun nirlaba) yang punya
kepedulian tinggi terhadap dunia sastra juga mulai menjamur bak cendawan
di musim hujan. Dalam sepuluh tahun terakhir ini, sejumlah lembaga
penerbitan buku sastra yang cukup prestesius dapat disebut antara lain
Gramedia Pustaka Utama, Kepustakaan Populer Gramedia, Grassindo, Bentang
Budaya, IndonesiaTera, Buku Kompas, Gama Media, Hasta Mitra,
Balai Pustaka, Pustaka Jaya, Pustaka Pelajar, Pustaka Firdaus, Pustaka
Sufi, Pustaka Sastra LKiS, Mahatari, Jendela, Jalasutra,
Naviri, Akar Indonesia, Frama Publishing, dan beberapa lagi yang kurang
populer (beberapa di antaranya juga sudah tinggal nama, termasuk Balai
Pustaka).
Kenyataan di atas jelas menunjukkan suatu
kemajuan yang sangat berarti dalam perkembangan sastra Indonesia
mutakhir. Kemajuan (dalam bidang penerbitan) itu, paling tidak, dapat
kita amati dari jumlah buku-buku sastra yang sudah diterbitkan sepanjang
dasawarsa pertama abad ini. Kalau kita cermati (terutama dengan melacak
buku-buku yang telah beredar di pasaran), sejak awal tahun 2000 hingga
sekarang saja agaknya sudah beratus-ratus (kalau bukan ribuan) judul
buku sastra yang telah diterbitkan —apalagi jika yang dimaksudkan dengan
istilah ”buku sastra” itu bukan hanya mengacu pada genre sastra
kreatifnya saja (puisi, cerpen, novel), melainkan juga mencakup bentuk
esai dan kritik sastra. Perhitungan ini tentu hanya berpatokan pada
jumlah judul buku yang ada, bukan merujuk pada jumlah cetak eksemplar
buku-buku berkategori national best-seller (seperti karya-karya Habiburrahman El-Shirazy atau Andrea Hirata).
Perkembangan
sastra Indonesia mutakhir yang semakin kondusif seperti sekarang tentu
saja juga didukung oleh semakin maraknya berbagai even sayembara
penulisan (oleh beberapa media massa maupun lembaga tertentu) dan
pemberian penghargaan (juga oleh beberapa media maupun lembaga, baik
dari dalam maupun luar negeri) pada karya-karya yang dinilai lebih
unggul bobot literer sastranya. Sekecil apa pun peran dan daya jangkau
sebuah sayembara penulisan, harus kita akui bahwa kehadirannya tetap
memberikan kontribusi yang sangat berharga dalam rangka mendorong
peningkatan produktivitas dan kreativitas para penulis di negeri ini
untuk berkarya. Demikian halnya kehadiran bentuk-bentuk penghargaan yang
diberikan kepada para penulis terpilih juga telah memberikan spirit dan
warna tersendiri dalam jagat kepengarangan di tanah air. Beberapa
bentuk penghargaan yang pernah ada, di antaranya: SEA-Write Award, Khatulistiwa Literary Award, Sih Award, Hadiah Sastra Lontar, Anugerah Sastra Horison,
Penghargaan Mastera, Hadiah Sastra Pusat Bahasa, dan beberapa bentuk
penghargaan lain yang ada di berbagai daerah. Dalam kaitan ini,
sayembara penulisan maupun penghargaan sastra, keduanya merupakan pompa
pendorong motivasi kepengarangan yang sangat efektif dalam rangka
menjaga kesinambungan tradisi penulisan sastra Indonesia.
/ 6 /
Selain
beberapa fenomena di atas, setidaknya sejak paro kedua dekade 90-an
yang lalu, sastra Indonesia modern sesungguhnya telah memasuki sebuah
babak baru yang disebut “era sastra digital” (sistem publikasi karya
sastra secara online melalui berbagai situs internet). Di samping dalam bentuk website pribadi, mulai populernya era baru ini terutama setelah diluncurkannya Cybersastra.com atau Cybersastra.net yang
setidaknya sudah mulai beroperasi sejak 28 April 1999 —konon di bawah
pengelolaan Masyarakat Sastra Internet (MSI) yang dikomandoi Nanang
Suryadi dan berpusat di kota Malang, Jawa Timur. Sebagai media
alternatif baru, ruang publikasi sastra online ini bersifat
sangat akomodatif, egaliter, bebas, dan juga kurang selektif —bahkan,
konon tanpa melalui proses seleksi sebagaimana yang dilakukan oleh
redaktur sebuah media massa cetak konvensional— karena urusan pemilihan
dan penentuan karya yang akan dipublikasikan memang sepenuhnya merupakan
hak prerogatif para penulisnya.
Dengan
karakteristiknya yang demikian, berbagai ragam karya sastra (puisi,
fiksi, drama, serta esai dan kritik sastra, bahkan juga genre sastra
lama) dapat ditampung di sini, termasuk yang secara kualitatif sering
dituding pihak tertentu sebagai karya-karya “sampah”. Hal ini karena
para penulis pemula yang baru belajar menulis satu-dua puisi pun “tidak
dilarang” untuk memasuki dan memublikasikan karya-karya percobaan mereka
di media sastra online bernama Cybersastra.net ini.
Namun demikian, seberapapun kelemahan yang ada padanya, kehadiran media
alternatif “sastra internet” atau “sastra digital” ini dalam jagat
sastra di tanah air sungguh patut dihargai dan layak dicatat dalam
bentangan sejarah sastra Indonesia.[12]
Mengenai
tudingan negatif terhadap fenomena sastra internet ini, Medy Loekito
(salah seorang pegiat sastra internet lainnya) pernah mengemukakan suatu
bantahan bernada apologis. Pertama, menurut penyair asal
Jakarta ini, internet merupakan saluran yang efektif bagi ”penyemaian”
atau ”terapi” terhadap frustasi penyair (baca: para penulis pada umumnya
—JTS) yang sudah tidak sabar menunggu dalam ketidakpastian penerbitan
karyanya di media cetak. Kedua, internet merupakan saluran
alternatif bagi para penyair dalam menghadapi sikap tidak adil media
massa yang mengutamakan nama-nama ”besar” dan bahkan melenyapkan ”lahan”
bagi penyair yang belum terkenal. Ketiga, internet juga merupakan ”jembatan bagi peradaban multiculture”.
Artinya, di dalam situs sastra Malaysia bisa kita temukan nama Nanang
Suryadi (dari Indonesia), sedangkan di situs sastra Indonesia (semisal Cybersastra.net) dapat kita temukan nama Ramli A. Rahim (dari Malaysia) atau Djauhar (dari Singapura).[13]
Meskipun
hingga sekarang keberadaan sastra internet ini masih menyimpan
kontroversi tertentu, terutama menyangkut bobot literer karya-karya yang
dipublikasikan, tetapi secara de facto dalam perkembangannya
hingga dewasa ini justru memperlihatkan kemajuan yang cukup signifikan.
Dalam lima tahun terakhir, kehadiran sastra internet ini tampaknya
semakin mendapat tempat dan sambutan positif dari kalangan praktisi
maupun pemerhati sastra di tanah air. Seiring dengan kemajuan teknologi
informasi mutakhir yang terus berkembang pesat, sastra internet kini
sudah semakin meluas dan kian memasyarakat. Sekarang, kecuali keberadaan
Cybersastra.net (yang belakangan sudah mulai menurun popularitasnya), sastra internet juga merebak dalam bentuk blog, facebook, dan twitter (milik
pribadi maupun atas nama komunitas tertentu). Hampir semua penulis yang
sudah melek-teknologi-internet, secara dan sebagai pribadi, kini sudah
memiliki media-media alternatif paling mutakhir ini (minimal dengan
memanfaatkan fasilitas facebook) sebagai wadah untuk menampung
dan memublikasikan karya-karya mereka (terkadang juga karya teman
sejawat dan/atau anggota komunitasnya).[14]
Baru-baru
ini (terhitung sejak 2 April 2011), Cecep Syamsul Hari (CSH —penyair
asal Bandung, tepatnya Cimahi) telah meluncurkan sebuah majalah
ruang-maya bertajuk Sastra Digital (Publikasi Online Sastra Indonesia)
yang juga memuat beragam karya sastra kreatif (khususnya puisi dan
cerpen) maupun esai dan kritik sastra. Akan tetapi, berbeda dengan media
sastra internet lainnya yang pernah ada di Indonesia, karya-karya yang
dimuat dalam Sastra Digital merupakan karya pilihan
(berdasarkan proses seleksi) redakturnya (yang sejauh ini masih dibidani
sendiri oleh CSH). Bahkan, sebagai bentuk apresiasi terhadap karya yang
dimuat, secara swadana sang pengelola tak segan-segan merogoh kantong
pribadinya untuk menyediakan honorarium sekadarnya bagi para penulis
yang karyanya terpilih dan dipublikasikan di media asuhannya
tersebut.[15]
Namun, secara catatan tambahan, oleh
karena sistem seleksi yang dilakukan redaksi tak mungkin dapat mengelak
dari kemungkinan masuknya unsur subjektivitas pribadi (apalagi proses
seleksi itu masih dilakukan sendiri oleh seorang redaktur yang sekaligus
bertindak sebagai pemilik dan pengelolanya), media alternatif baru ini
pun tentunya kelak akan dapat terjebak pada pengulangan model ”perilaku
lama” versi media-media konvensional (khususnya media massa cetak) yang
sistem seleksinya selama ini dinilai tidak adil dan cenderung lebih
berpihak pada nama-nama besar saja. Namun, sekali lagi, bagaimanapun
upaya semacam ini merupakan sebuah terobosan yang pantas dihargai dan
disambut dengan sikap positif —tentu saja, dengan catatan, sambil terus
menunggu format manajemen yang lebih ideal sehingga dapat memenuhi
harapan lebih banyak pihak dan kepentingan lagi.
/ 7 /
Terbukanya
gerbang kebebasan ekspresi dan resepsi sastra dalam sepuluh tahun
terakhir ini dapat dipandang sebagai era kebangkitan kembali (semacam renaissance)
sastra Indonesia modern setelah selama lebih dari tiga dasawarsa seakan
terus terkungkung di bawah kendali politik kenegaraan model rezim Orde
Baru —melalui otoritas para penguasanya yang militeristik, sering
bertindak represif, dan cenderung memperlakukan sastra sebagai suatu
gejala budaya yang destruktif. Selama masa Orde Baru, sastra secara
apriori diasumsikan sebagai sebuah energi besar yang menyimpan “lahar
panas” sehingga suatu ketika pada saatnya dapat meletus dan membawa
perubahan besar pula dalam dinamika sosial-politik (khususnya dalam
konteks stabilitas nasional). Atas dasar tersebut, pada akhirnya
keberadaan sastra (berikut sepak-terjang para sastrawannya) harus
dikontrol secara superketat (kalau perlu dengan memanfaatkan jasa
intelegen).
Setelah tumbangnya rezim Orde Baru di
penghujung abad yang lalu (1998), masa-masa stigmatis berwajah
“fobisastra” semacam itu kini telah mencair secara drastis seiring
dengan embusan angin segar yang dibawa oleh rezim Orde Reformasi.
Sekarang, kita sudah berada di sebuah dunia baru, di alaf baru, dengan
semangat dan paradigma baru pula. Kehidupan sastra, juga kebudayaan
Indonesia pada umumnya, kini sudah dapat bernapas bebas dan bergerak
secara sangat leluasa. Tak ada kekang, tak ada tali kendali lagi. Akan
tetapi, ditinjau dari kacamata moralitas, tampaknya juga perlu kita
sadari bahwa ternyata kebebasan ekspresi dan resepsi sastra itu memang
tidak selalu menguntungkan. Ternyata pula, kebebasan itu tidaklah
identik dengan kemajuan dan tidak pula selalu bermakna positif bagi
peradaban suatu bangsa.
Semakin menguatnya arus
keterbukaan berpikir dan berekspresi yang telah terbangun dalam sepuluh
tahun terakhir (sejak lahirnya Orde Reformasi) pada kenyataannya memang
membawa dampak yang sangat signifikan bagi perkembangan dunia sastra dan
kebudayaan umumnya di tanah air. Munculnya trend karya-karya
sastrawangi yang beredar bebas di pasaran, misalnya, diasumsikan telah
turut memberi andil pada kian merosotnya moral bangsa dewasa ini
—terutama dalam konteks perilaku seks bebas (free sex) dan pelecehan seksual (sexual harassment). Kendati, tentu saja, hal itu bukan satu-satunya faktor penyebab.
Perkembangan
sastra Indonesia yang demikian pesat dalam beberapa tahun terakhir pada
akhirnya juga menimbulkan risiko sampingan di bidang teori, sejarah,
kritik, dan pendidikan sastra. Sebab, para pengamat (termasuk teoretisi,
sejarawan, kritikus, dan guru sastra), siapa pun dia dan dari mana pun
asalnya, pastilah akan merasa sangat kesulitan untuk dapat memantau
perkembangan sastra kita dewasa ini secara objektif dan komprehensif.
Barangkali, untuk lebih praktisnya, guna mengatasi kesulitan tersebut
mau tidak mau perhatian mereka terpaksa hanya akan terfokus pada bentuk
buku dan sejumlah media massa tertentu yang beredar secara nasional
serta dipandang representatif sebagai barometer perkembangan sastra
Indonesia mutakhir.
Sekarang, gejala apa lagi yang bakal muncul
dalam peta sejarah sastra Indonesia mutakhir? Apakah dalam sepuluh tahun
ke depan ia akan melahirkan suatu kecenderungan estetik yang baru lagi?
Entahlah. Agak muskil, juga terlalu dini, untuk dapat memprediksikannya
dengan pasti. Namun, oleh karena sastra merupakan dunia yang mungkin
(oleh Budi Darma pernah disebutnya sebagai dunia jungkir-balik), gejala
apa pun yang muncul kemudian selalu akan bersifat dialektis dan menjadi
sesuatu yang niscaya. Panta Rei! Segalanya akan terus mengalir,
mengalir, dan terus mengalir, sebagaimana mengalirnya air sungai yang
pernah dianalogikan Herakleitos berabad-abad silam dalam salah satu
diktum filsafatnya. Jadi, bagaimana masa depan sastra Indonesia nanti? Quo Vadis? Kita tunggu saja!
Pelaihari, 16 Oktober 2011
[1]Diskusi singkat tentang pengertian “sastra Indonesia” dapat dibaca, misalnya, dalam buku Sapardi Djoko Damono, Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan (Jakarta:
Gramedia, 1983), hlm. 131—133. Namun, untuk kepentingan pembahasan ini
saya lebih cenderung mengikuti rumusan Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (Bandung: Binacipta, 1991), hlm. 10.
[2]Pembicaraan
mengenai estetika kepenyairan Afrizal Malna yang dipandang sebagai ikon
pembaruan dalam perpuisian Indonesia di tahun 1980—1990-an telah banyak
dilakukan orang, baik dalam bentuk esai-esai singkat di media massa
maupun ulasan yang agak panjang berupa kertas kerja untuk forum-forum
diskusi sastra. Ulasan yang cukup representatif dapat dibaca, misalnya,
dalam tulisan Agus R. Sarjono, “Afrizal Malna: Puisi Dada dan Kecemasan”
(Horison, Desember 1992).
[3] Kumpulan sajak awalnya yang sampai sekarang tidak diterbitkan berjudul Catatan yang Bertindak dan Mitos-mitos Kecemasan (naskah ini hanya dibukukan secara sederhana dalam bentuk fotokopi), kendati beberapa sajak di antaranya telah ikut dimuat dalam penerbitan buku pertama (1984) dan buku keduanya (1990) sebagaimana tersebut di atas.
[4] Lihat esai pengantar Korrie Layun Rampan (Ed.) untuk bukunya, Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (Jakarta: PT Grasindo, 2000), hlm. xxxviii.
[5] Harap mafhum, tentu tidak semua nama penyair dapat saya sebutkan di sini. Urutan penyebutan nama-nama di atas juga tidak merepresentasikan tingkatan kualitas karya maupun para penyairnya, tetapi sekadar menderetkan nama-nama yang cukup dikenal dalam kancah perpuisian Indonesia mutakhir. Hal yang sama juga berlaku untuk penyebutan nama-nama penulis fiksi pada uraian selanjutnya.
[6]
Upaya-upaya pemetaan dan ulasan tentang berbagai kecenderungan estetik
dalam perpuisian Indonesia terkini sesungguhnya juga telah banyak
dilakukan oleh para kritikus dan pengamat sastra. Baca, misalnya,
beberapa esai Afrizal Malna yang terhimpun dalam buku Sesuatu Indonesia: Personifikasi Pembaca-yang-Tak-Bersih (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000); Agus R. Sarjono, Sastra dalam Empat Orba (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2001); dan Korrie Layun Rampan, op. cit.
[7] Untuk novel Saman, misalnya, di cover belakang buku Ayu Utami tersebut Sapardi Djoko Damono memberi komentar yang sangat apresiatif, bahkan cenderung berlebihan: “Dahsyat… memamerkan teknik komposisi yang —sepanjang pengetahuan saya— belum pernah dicoba pengarang lain di Indonesia, bahkan mungkin di luar negeri.” Adapun penemuan teknik penceritaan baru —yang dikatakan sangat eksperimental dan khas inovasi Djenar— untuk beberapa cerpen Djenar Maesa Ayu telah dicobatunjukkan oleh Richard Oh dalam esai pengantarnya untuk kumpulan cerpen Djenar yang kedua. Lihat Richard Oh., “Jangan Main-main dengan Djenar,” dalam Djenar Maesa Ayu, Jangan Main-main (dengan Kelaminmu) (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. Xiii—xxvii. Namun, Katrin Bandel kemudian telah menunjukkan kelemahan karya-karya Djenar —khususnya novel Nayla— melalui sebuah esainya, “Nayla: Potret Sang Pengarang sebagai Selebritis,” Horison (Tahun XXXX, No.1/2006), hlm. 6—15 yang kemudian dimuat dalam bukunya, Sastra, Perempuan, Seks (Yogyakarta & Bandung: Jalasutra, 2006), hlm. 143—163.
[8] Sekaitan dengan masalah trend sastrawangi dan dampak moralitasnya, menarik sekali untuk disimak ulasan kritis Medy Loekito, ”Perempuan dan Sastra Seksual” dalam Ahmadun Yosi Herfanda dkk. (Ed.), Sastra Kota: Bunga Rampai Esai Temu Sastra Jakarta 2003 (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003), hlm. 130—156.
[9] Seorang ustadz saat berceramah di kampung saya pernah mensinyalir karya-karya Habiburrahman El-Shirazy (terutama menunjuk novel Ayat-ayat Cinta) —yang mungkin hanya dipantaunya melalui film— sebagai propaganda poligami. Sehingga, menurut simpulannya, dengan mengangkat poligami sebagai pesan utama seolah-olah Islam itu identik dengan praktek poligami.
[10] Lokalitas sebagai suatu kecenderungan estetik dalam tradisi sastra Indonesia mutakhir pernah saya bahas secara khusus dalam sebuah esai bertajuk “Kebanggaan Sastra sebagai Kebanggaan Daerah: Sumber Kreativitas dan Inovasi Penciptaan” (makalah Seminar Internasional: Dialog Borneo-Kalimantan XI pada 13—15 Juli 2011 di Samarinda, Kalimantan Timur); dimuat dalam Korrie Layun Rampan (Ed.), Sumbangan Borneo-Kalimantan Terhadap Sastra Indonesia, Brunei Darussalam, dan Malaysia (Yogyakarta: DBK—Araska, 2011), hlm. 83—104.
[11] Banyak sekali media alternatif lainnya yang tidak bisa disebutkan di sini, baik berupa majalah maupun sekadar buletin yang diterbitkan secara swakelola dan bersifat nirlaba oleh komunitas tertentu. Akan tetapi, perkembangan nasib mereka hampir sama, nyaris selalu terbentur masalah klise: pendanaan dan pemasaran. Media alternatif ini pada umumnya hanya sempat terbit satu kali atau beberapa nomor penerbitan saja, setelah itu mati (seperti kata Chairil Anwar: sekali berarti, sudah itu mati).
[12] Pelacakan dan kajian awal (tetapi cukup memadai) tentang fenomena sastra-internet ini dapat dibaca dalam salah satu tulisan Faruk H.T. melalui bukunya, Beyond Imagination: Sastra Mutakhir dan Ideologi (Yogyakarta: Gama Media, 2001), hlm. 215—263; pernah disinggung sekilas oleh Ahmadun Yosi Herfanda melalui esai bertajuk “Kapitalisasi Sistem Produksi” dalam Ahmadun Y. Herfanda dkk. (Ed.), op. cit., hlm. 21—37; dan untuk pelacakan lebih lanjut silakan klik di http://www.Cybersastra.net dan beberapa situs atau laman terkait.
[13] Bandingkan dengan Faruk H.T., ibid., hlm. 220.
[14] Terkait dengan masalah seleksi karya yang akan dimuat, keadilan para redaktur media massa cetak konvensional (koran, tabloid, majalah, jurnal) yang seringkali dipertanyakan pada kenyataannya juga berlaku pada para redaktur media sastra internet ini. Jadi, subjektivitas pribadi sang pengelola blog (blogger) tetap memegang peranan penting. Untuk pembuktian empiris, silakan lacak beberapa blog sastra yang terutama berbasis komunitas (meski dikelola oleh perseorangan).
[15] Pada awalnya, publikasi karya diterbitkan mingguan dengan karya menampilkan karya terpilih (puisi, cerpen, dan esai/kritik sastra). Belakangan, dengan format baru dan penambahan rubrik ”kuntum” (untuk karya-karya pelajar), durasi penerbitan telah diubah menjadi berkala bulanan. Untuk lebih jelasnya, silakan kunjungi di http://www.sastradigital.gmail.com
Sumber tulisan: horisononline.or.id/esai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar