Di Boven Digoel: Menghitung Akar Lumut




Dari leher koreom, ada sepasang angin yang membawa kabarmu, jauh ke
port de kock, nganga hati menunggu seperti biji-biji api menjilati batavia.
sepasang anak yang bermain patok lele berkejaran di rimbun teki di luas
bawah gadang. sudah menjadi bayang seiring sepasang jangkrik pulang.

kau di sana, Bocah Batu Kampar! kau lekat sol sepatu pada debu pertama
di tanah merah, meraih jabat tangan moncong senjata dengan juntai lars
panjang di menara penjaga. dua anak angin bermain di jas putih dan nguap
di sepasang kaca di matamu yang teduh. berlari, berkejaran, mengiringi

derap-derap langkah kaki di lantai yang sedingin bahasa diammu. nyanyian
lorong–sekat-sekat teralis berkarat–menderu dari hutan gaharu saat kau
hela cicak-cicak dengan hempasan bokong di katil lembab. dari mana akan
kau hitung akar-akar lumut, menjadi hitungan hari-hari di dinding bangsal.

di enambelas peti kau simpan dunia dan pijar api sisa. mengubah tanda
garis di peta–hindia belanda–maka kau mulai dari tanah durat hitam itu.
lenggak-lenggok cendrawasih berbulu emas di akar meranti mengiringi
tapak kaki telanjangmu saat kau tancapi pancang pengikat sulur buncis.

selesaikah kutuk terdalam di lembaran-lembaran wajah dunia itu? ketika
kau dengar jerit-jerit mengabur jiwa-jiwa sepi dilesap angin laut arafuru,
atau rasa lapar yang mengoyak perut hingga cacing-cacing mainkan lagu
pesta anyir daging-daging dan darah kering. kau lompat, kau rebah. katil

semakin lembab saat matamu berdongeng satu sama lain. setelah kabut
pekat mengurung nyanyian jangkrik, kau jadikan bulu angsa penari tobe.
dunia yang kau kenal menjadi gada, dari kepala tak henti bertabuhan tifa.
kau dan sepasang mata anak yang menjadi bayang ingin berkejaran lagi

dalam pijarnya yang disembab lembab angin bavon digoel. dari sana kau
tintakan bulu angsa menjadi surat di selembar peta yang terikat di kaki
volksraad yang kaku. dari leher koreom yang melantunkan nada senyap,
kau menghujam jiwa-jiwa yang tanggal, membagi asa dengan pijar mata

lalu kau hitung lagi akar lumut. hingga hitungan ke satu sudut langit-langit
di mana cicak-cicak tua gugur ekor menyantap nyamuk lalat yang beradu.
di luar bangsal, kepak sayap limbuk menyambut musim hujan ujung tahun,
kau lipat doa di telegram yang tiba: Muhammad Athar, hitungan belum usai!
______________________________________________________________
sumber gambar: www.nasional.lintas.me

Lihat Lainnya Di Sini