Sangat memprihatinkan melihat begitu
mudahnya terjadi polemik yang berkepanjangan dan disertai
hujatan-hujatan terhadap pihak-pihak tertentu. Banyak orang yang
berpikir terlalu tinggi dengan menggunakan pengetahuan-pengetahuan
canggih level tinggi, tetapi malah melupakan sesuatu yang bersifat
esensial dan sangat mendasar. Salah satunya adalah mengenai apa itu
“baik”.
Semua orang mengenal kata “baik” dan
sangat terbiasa dengan penggunaannya dalam pembicaraan sehari-hari.
Sedangkan untuk mendefenisikannya, berbeda orang pasti berbeda pula
kriteria-kriteria yang dia punya untuk dirangkum oleh kata “baik”
tersebut. Ada yang mengatakan, “baik” dengan kriteria-kriteria ringan
seperti: suka memberi, suka menolong orang lain, rajin beribadah, patuh
terhadap agama, tidak pelit, tidak kikir, dan lain sebagainya.
Sementara, sebagian orang lain pula mendefenisikannya lebih ekstrim
dengan menambahkan kata “harus” (walau terkadang secara implisit) di
depan kriteria-kriteria yang dia kemukakan, seperti: harus beragama
seperti saya, harus punya pandangan seperti saya, harus mematuhi
aturan-aturan yang saya setujui, harus sepaham, harus begini-begitu, dan
lain sebagainya.
Pendefenisian kata “baik” sangat
mempengaruhi cara-cara seseorang dalam menyikapi sesuatu. Sebagian orang
hanya membatasi diri untuk tidak melakukan sesuatu yang berbeda dengan
kriteria-kriteria yang dia usung. Tetapi ada juga yang cenderung
memaksakan defenisi “baik” yang sesuai dengan kriterianya sebagai acuan
yang valid untuk semua kalangan. Pada akhirnya, ada yang mengagumi sosok
atau hal-hal tertentu, mengikuti ajaran-ajaran tertentu, atau memuji
sikap-sikap tertentu. Namun, ada pula yang kemudian menutup diri dari
hal-hal tertentu, memberikan cap terhadap hal-hal tertentu, mengutuk
hal-hal tertentu atau bahkan memerangi hal-hal tertentu.
Walaupun defenisi dengan kriteria ringan
di atas cenderung lebih lembut daripada kriteria ekstrim, kedua cara
pendefenisian dan cara menyikapi kata “baik” yang berbeda di atas
mempunyai potensi terciptanya paham yang “anti” dan “fanatik”. Jika
sudah demikian, maka benturan yang terjadi antara penganut paham “baik”
yang satu dengan paham “baik” lainnya akan menjadi akar kuat dalam
terjadinya sebuah polemik, pertentangan, atau bahkan konflik.
Lalu, bagaimana seharusnya kita mendefenisikan dan menyikapi kata “baik”?
Saya tertarik dengan uraian dan defenisi
yang dikatakan secara teoritis dan filosofis oleh seorang filsuf
Inggris kenamaan, George Edward Moore. Dalam uraiannya, beliau membuat
sebuah analogi yang masuk akal antara “baik” dan sebuah warna primer,
kuning. Kecuali yang memang buta warna, kita pasti mengenal warna
kuning.
Kita bisa mengenal mana balon berwarna
merah, dan mana balon yang berwarna kuning, kita juga bisa katakan bunga
matahari berwarna kuning, tetapi adakah cara kita untuk mendeskripsikan
warna kuning dengan defenisi yang lebih sederhana? Kuning itu apa?
Jawaban kita yang paling mungkin adalah bahwa kuning itu adalah sejenis
warna.
Tetapi, bukankah itu masih terlalu luas?
Berbeda jika kita menganalisa warna sekunder lain seperti hijau,
orange, ungu, dll. Kita dapat mendefenisikan hijau dengan hasil
perpaduan kuning dan biru; orange sebagai warna perpaduan merah dan
kuning, ungu sebagai perpaduan merah dan biru. Karena tidak adanya cara
mendefenisikan “kuning” untuk mewakili sifat-sifat tertentu, maka cara
yang paling tepat adalah dengan mengatakan kuning adalah kuning.
Demikian juga dengan kata “baik”. Moore
mengkategorikan “baik” sebagai salah satu sifat primer yang tidak bisa
direduksikan lagi dengan lebih mendasar, sama seperti “kuning”. Oleh
karena itu dia (baik) tidak bisa dijelaskan dengan sebuah defenisi
tertentu, melainkan hanya dengan kriteria-kriteria tertentu yang
sifatnya relatif. Karena itu, sebagai kesimpulan akhir, Moore menegaskan
bahwa “baik” adalah “baik”. Pendefenisian kata baik sebagai sifat
primer, menurut Moore, hanya akan membawa kita pada sebuah kesalahan
mendasar.
Memberikan kriteria-kriteria tertentu
terhadap kata “baik” itu merupakan hal yang wajar-wajar saja. Yang tidak
wajar adalah ketika kita medeskripsikannya secara keras dan mutlak,
lalu memaksakan orang lain untuk memiliki kriteria-kriteria yang sama.
Ini adalah kesalahan mendasar yang menyebabkan seseorang memiliki
prasangka yang buruk terhadap sesuatu atau orang lain yang tidak sesuai
dengan kriteria-kriterianya. Jika sudah demikian, maka konflik akan
semakin mudah tersulut di antara dua pihak yang sama-sama ngotot pada
kriteria-kriteria yang terlanjur mereka batasi tersebut.
Solusi sebagai jalan tengahnya menurut
saya adalah menggunakan hak-hak kita dalam membuat kriteria-kriteria
sendiri tentang apa “baik”, tetapi juga memahami dan memaklumi
kriteria-kriteria “baik” yang dibuat dan dipahami orang lain sebagai
acuan. Sebuah toleransi dalam berinteraksi dengan orang lain yang
memiliki paham berbeda. Mengunci kriteria-kriteria tertentu tanpa
kemungkinan untuk meluas berarti kita menutup diri dari perkembangan
pemahaman yang lebih kaya. Mengkerdilkan diri sendiri.
Agama dan norma-norma dalam kehidupan
sosial sudah mengajarkan kita tentang apa yang “baik”. Lakukan saja
kriteria-kriteria tersebut tanpa harus menutup diri dari
kriteria-kriteria orang lain. Saling memahami, memaklumi dan menerima
perbedaan adalah jalan menuju perdamaian. (ZZ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar