Agaknya nasiblah bagi Bangsa Indonesia menjadi bangsa beringas, suka
mengamuk dan suka mengeroyok. Dalam sejarah politik, Belanda
menamakannya amouk partij. Misalnya tahun 1918 dimulai
dari Solo, lalu meruyak ke seluruh Jawa terjadi pengamukan pribumi atas
Cina. Peristiwa semacam terus berulang sampai tahun-tahun kemarin ini.
Dalam ukuran yang lebih kecil ialah pengamukan penduduk asli terhadap
perantau. Atau suatu golongan profesi terhadap golongan profesi lainnya.
Di Sumatera, pengamukan dan pengeroyokan juga terjadi dalam sejarah.
Pada tahun 1946, saat-saat permulaan revolusi, orang bersenjata
mengeroyok kaum bangsawan Sumatera Timur. Puluhan keluarga terbunuh.
Termasuk “raja penyair” Amir Hamzah. Peristiwa pengamukan itu tercatat
dengan rasa bangga dalam buku sejarah sebagai “revolusi sosial”. Di
Sumatera Barat pengeroyokan itu lebih ganas terhadap orang komunis pada
peristiwa G-30-S. Beberapa bus dicarter oleh para perantau untuk pulang
beramai-ramai dengan tujuan balas dendam.
Perilaku suka mengamuk atau mengeroyok itu selalu oleh orang banyak
yang merasa kuat terhadap orang yang lemah dan sedikit jumlahnya.
Pengeroyokan terhadap orang yang lebih kuat, apalagi terhadap pemerintah
yang berkuasa, tidak bakal terjadi di Indonesia. Dalam sejarah politik,
orang Belanda berpendapat bahwa di Indonesia tidak pernah akan terjadi
pemberontakan. Kalau terjadi semangatnya tidak lain daripada amouk partij,
mudah dan cepat bisa dipatahkan. Revolusi di Indonesia dimulai bukan
oleh pemberontakan, melainkan karena pemerintahan sedang vakum. Abang
becak terkenal beringas kalau anggotanya terinjak oleh segelintir orang.
Namun ketika pemerintah mendekritkan daerah “bebas becak” total pada
sebuah kota, abang becak hanya pasrah. Oleh karena abang becak merasa
posisinya lemah dan pemerintah begitu kuat.
Dalam perilaku sosial ataupun individual “penyakit
keroyok-mengeroyok” itu kian sering kambuh pada masyarakat kita dalam
bentuk beraneka ragam. Ada banyak kasus perempuan dikeroyok oleh banyak
laki-laki gatal; ada pezina ditelanjangi ramai-ramai lalu diarak di
sepanjang jalan, ada tukang santet dirajam ramai-ramai, ada tentara
mengeroyok polisi dan ada polisi mengeroyok rakyat.
Semua kasus pengamukan atau pengeroyokan itu bukan masalah buta atau
melek hukum. Melainkan masalah tradisi, masalah budaya. Dan bangsa yang
suka mengamuk atau mengeroyok itu adalah kita, termasuk pejabat
pemerintah, apapun pangkat dan jabatannya.
Pengeroyokan atas Kesusastraan
Posisi kesusastraan di Indonesia sama saja dengan posisi makhluk yang
lemah. Makhluk yang empuk dikeroyok oleh siapa saja. Oleh pemerintah,
oleh kelompok masyarakat, oleh murid sekolah atau mahasiswa, oleh
individu termasuk oleh kritisi dan redaksi mass media, oleh penerbit dan
juga oleh sarjana sastra.
Pada zaman demokrasi liberal, seorang teman saya menulis kritik atas
suatu pertunjukan sandiwara suatu SMA dalam koran “Haluan” Padang.
Malamnya waktu teman saya itu baru saja keluar dari bioskop, dia
dikeroyok sampai babak-belur. Tidak ada orang membelanya, karena posisi
teman saya itu lemah. Pimpinan koran itupun tidak, karena takut
dikeroyok pula. Cerita pendek saya yang berjudul “Man Rabbuka” diprotes
lisan oleh seorang pembaca. Esok harinya redaktur koran itu menyatakan
bahwa cerpen itu dianggap tidak ada saja, dan redaksi meminta maaf ke
seluruh pembacanya. Coba berani-berani tidak minta maaf.
Pada zaman Demokrasi Terpimpin, kantor majalah “Sastra” di Jakarta dikeroyok karena memuat cerpen “Langit Makin Mendung” dan
H.B.Jassin, penanggung jawab redaksinya dihukum oleh Pengadilan Negeri.
Banyak karya sastra dilarang beredar karena pengarangnya dinilai
“Nekolim”. Sebaliknya buku “Di Luar Dugaan” dan “Isteri Seorang Sahabat” karya
Soewardi Idris ditarik dari peredaran oleh penerbitnya sendiri, karena
diprotes oleh orang-orang PRRI setelah mereka kalah perang. Kemudian
setelah Demokrasi Terpimpin tumbang dan digantikan oleh Orde Baru, semua
karya sastrawan yang terlibat G30S dilarang beredar. Dalam hal larang
melarang sikap pemerintah Orde Lama dengan Orde Baru sama saja. Namun
pemerintah Orde Baru lebih berlebihan tindakannya. Karena orang yang
mengedarkan buku terlarang karya Pramudya Ananta Toer bisa dipenjarakan
karena dituduh subversi. Sedangkan pengarangnya sendiri tidak diapakan.
Pada zaman penjajahan Belanda, sastrawan Maisir Thaib menulis novel “Ustaz A. Ma'syuk”.
Ulama tarekat memprotes pakai rapat umum segala. Pemerintah akhirnya
melarang buku itu beredar, tapi tidak menyitanya. Tidak ada gerombolan
yang mengobrak abrik kantor penerbit buku, Maisir Thaib pun menulis buku
lain yang berjudul “Mr. Leider Semangat”. Ia
terkena delik dan dipenjarakan, bukunya disita. Tapi penerbitnya boleh
jalan terus. Saya tidak tahu sebuah buku tertimpa nasib malang dewasa
ini, apakah penerbitnya bisa jalan terus? Apakah Hasta Mitra yang
menerbitkan Bumi Manusia karya Pramudya Ananta
Toer yang dilarang beredar itu masih hidup? Yang saya tahu pasti,
apabila koran atau majalah memuat artikel yang tidak disukai, maka
pemerintah segera mencabut izin usaha penerbitannya, tanpa melalui hukum
di pengadilan. Artinya tidak ada hak untuk membela diri.
Nampaknya pemerintah Indonesia bertindak lebih efektif dan lebih
radikal dari pada pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda
memenjarakan pengarang yang terkena delik melalui proses pengadilan,
bukunya disita, tapi penerbitnya bisa jalan terus. Pemerintah Orde Lama
bertindak lebih sengit. Penerbit bisa ditutup, pengarang dipenjarakan
tanpa diadili dan kantor penerbit boleh diobrak-abrik massa.
Di kota kelahiran saya, 60 tahun yang lalu, para ulama setempat
sangat risau melihat aktivitas mubaligh Ahmadiyah. Ayah Hamka, Syekh
Karim Amrullah menantangnya berdebat di depan umum dalam gedung bioskop.
Sepuluh tahun yang lalu Nazwar Sjamsu menulis buku agama. Ulama di
Sumatera Utara ribut-ribut dan Jaksa Tinggi di sana mengeluarkan
perintah sitaan. Sedangkan di Sumatera Barat sendiri, tempat Nazwar
Sjamsu berada, para ulamanya tenang-tenang saja. Ulama di sana
mengatakan: “Jika buku Nazwar Sjamsu itu tidak benar, tulislah buku yang benar.” Tapi
sekitar sebulan lalu MUI Sumatera Barat mengeluarkan fatwa, bahwa Darul
Arqam dinyatakan sebagai aliran sesat supaya dilarang di Sumatera
Barat. Pemerintah setuju. Di sini terlihat, bahwa masyarakat dan
pemerintah di daerah saya, sudah mulai bersikap di bawah garis
intelektual. Lembaga ijtihad dalam Islam sudah mati. Mungkin jadi ulama
setempat telah sangsi akan kebenaran ilmunya, maka mereka cemas pada
perkembangan Darul Arqam. Karena tidak ada buku atau tulisan diterbitkan
MUI, masyarakat tetap tidak tahu tentang apa yang menyimpang pada
ajaran Darul Arqam itu. Kepada umat tetap dipupuk sikap: “Percaya sajalah kepada ulama”. Ada
perbedaan tabiat ulama masa penjajahan dengan masa merdeka yang
demokratis dimana pendidikan tinggi telah memproduk ribuan ilmuwan.
Sikap Apa yang Dapat Dilakukan Sastrawan
Jika pemerintah dan masyarakat suka main keroyok atau larang-melarang
apa yang dapat dilakukan oleh sastrawan apabila karyanya terkena
larangan? Ke mana sastrawan mengadu dan menyampaikan bandingan, baik
secara hukum atau ilmiah?
Jika dilihat pada gejalanya pertumbuhan dan perkembangan kesusastraan
menjadi kerdil. Yang berkembang pesat dewasa inilah ialah kritik dan
ilmu sastra. Sekurang-kurangnya telah lahir 500 sarjana sastra setiap
tahun. Apa yang dilakukan mereka ini untuk membela kepentingan
kesusastraan? Dari 500 orang ini mungkin hanya 1 atau 2 saja yang jadi
pakar, sedangkan yang lain jadi parasit sastra, yang kerjanya hanya
mengutik-utik karya yang itu-itu saja tanpa kemampuan mengembangkan
aspresiasi kepada masyarakat.
Saya pikir, ribuan sarjana sastra yang telah diproduk dengan biaya
mahal itu hanyalah menjadi orang-orang yang mubazir. Ilmu yang
diperolehnya tidak bermanfaat bagi dirinya sendiri, apalagi bagi orang
lain dan bagi sastrawan.
Kesusastraan Indonesia nampaknya menjadi makhluk lemah di tanah
airnya sendiri. Karena itu dia senantiasa terkena tradisi keroyokan
semua pihak. Pemerintah tidak menyukai suburnya kesusastraan, seperti
sesubur pertumbuhan bidang komersial. Redaktur mass media lebih merasa
aman menjadi lembaga sensor karya sastra, supaya lapangan hidupnya tidak
tergusur. Kritikus, sarjana dan lembaga perguruan tinggi sastra lebih
suka mengebiri intelektualitas demi keamanan profesi mereka. Mereka
seperti kehilangan nyali untuk menyampaikan kebenaran ilmiah.
Sebagai sebuah paduan suara, mereka sama berkata bahwa kesusastraan
Indonesia terpencil, dan dalam nyanyian refreinnya dikatakan bahwa
sastrawan sebagai orang-orang yang di atas awan. Tidak ada yang
mengatakan kenapa begitu. Dan lebih tidak ada lagi yang mengatakan bagaimana supaya tidak begitu.
Menurut saya, mental serta moral kritikus dan sarjana sastra Indonesia pun sedang berada di bawah garis intelektual. Mereka
seolah-olah tidak mau mengangkat masalah yang paling esensial, untuk
menanyakan kenapa kesusastraan kian menjadi kerdil. Mereka menjadi bisu
untuk membicarakan karya sastra yang dilarang, seperti karya Pramudya
atau Utuy yang klasik, yang terbit sebelum mereka ikut Lekra. Berapa
banyak kritikus atau sarjana sastra telah menjadi orang sekapal dengan
para penerbit yang tahu diri, sama ikut aktif menyensor sendiri apa yang
boleh atau tidak boleh diungkapkan, agar hidup bisa selamat dunia dan
akhirat. Dengan demikian mereka sesungguhnya telah ikut serta membunuh
kreativitas. Berpihak atau setidak-tidaknya memberi toleransi terhadap
kebijaksanaan pemerintah yang keliru. Mereka sama membiarkan saja nasib
yang menimpa kesusastraan sebagai objek keroyokan. Seolah-olah
kreativitas dan kesusastraan Indonesia menjadi persoalan sastrawan
semata, bukan masalah kebudayaan. Padahal kritikus dan sarjana sastra
telah lebih banyak mengecap manfaat karya sastra itu daripada
pengarangnya sendiri, baik moril ataupun materil.
Penutup
Karya sastra dewasa ini cenderung melukiskan hal yang abstrak atau
imajinatif atau dengan simbol-simbol yang eufemisme, agar lolos sensor
penerbit. Semua tahu, bahwa karya sastra bukan diciptakan sebagai barang
yang ganjil difungsikan sebagai objek studi atau disimpan dalam rak
buku perpustakaan. Padahal padanya senantiasa ada sesuatu yang
disampaikannya, yang sangat esensial dari sastrawan sebagai manusia
berakal budi. Karya sastra tidak terlepas dari ungkapan refleksi batin
sastrawan tentang masalah manusia dan kemanusiaan. Namun para pakar
sastra tidak membicarakannya secara gamblang dan kritis. Kalaupun mereka
bicara, mereka bicara samar-samar dengan memakai istilah yang
eufemistis. Bahasa yang lazim digunakan oleh politisi atau pejabat
negara masa kini. Sehingga sastra kian tidak dipahami.
Menurut saya, pemerintah telah melakukan banyak tindakan dan
kebijaksanaan yang keliru terhadap kesusastraan. Siapa yang mesti
memberitahukan itu kepada pemerintah? Apakah sastrawan saja? Apakah
kritikus sastra yang telaahannya sangat kritis atau sarjana sastra yang
memperoleh kredibilitas sebagai pakar yang diakui oleh negara? Ataukah
kita sama sepakat membiarkan pemerintah terus terperosok dalam
kekeliruan dan kesalahan? Ataukah kita sama-sama membiarkan diri kita
sebagai pengecut atau munafik?*
Sumber tulisan: http://horisononline.or.id/esai