Untukmu, Ayah

Begitu banyak pujian yang telah di tujukan pada sosok seorang ibu, sampai-sampai seorang ibu telah di identikkan dengan dua istilah agung: cinta dan surga. Ya, seorang ibu memang dipandang sebagai sosok penjelmaan nilai-nilai ke-Ilahian. Saya setuju, tentu saja. Karena saya memiliki sosok ibu yang hebat. Tetapi bagaimanapun, jangan lupa bahwa masih ada sosok lain yang juga pantas disandingkan, disejajarkan, dan dimuliakan seperti peran mulia seorang ibu. Sosok gagah yang selama ini seperti pelakon di belakang layar; Ayah. Pada kenyataannya, hanya ada beberapa tribute untuk ayah yang bisa kita temukan dalam karya-karya menyentuh (ode) seperti puisi, lagu, dan beberapa kutipan-kutipan kata mutiara. Karena itu, saya sebagai seorang pengagum sosok laki-laki seperti ayah saya--yang sering saya sebut sebagai sosok yang family-oriented--ingin setidaknya memberi sesuatu yang bisa dikenang dan diulang-kenang, kapanpun dia mau. Apalagi kalau bukan baris-baris kata yang saya punya. Terlebih lagi, pada angka ke-26 dibulan Juni nanti, satu mata rantai usia akan ditambahkan padanya. Ya, ulang tahun. Ke-57, tepatnya. Tanpa kue ulang tahun yang dihias indah, tanpa lilin-lilin kecil yang menyala diatasnya, tanpa bingkisan, tanpa kehadiran saya juga, apalagi yang bisa saya berikan kecuali baris-baris rasa yang terpahat pada barisan kata yang akan saya susun menjadi sebuah puisi? Hanya kata. Dan, untukmu Ayah, semoga memaklumi. Terimalah, 

UNTUKMU, AYAH

Malam itu kau bercerita
dalam telusur pandang yang be-rantai-rantai harapan
tentang akil-balik pada legenda
 menggelora mudamu hingga keluarga
dan akhirnya kuingat;
tidak lembut, kau berkata
'anak muda, kau darahku!'
laki-laki tak merengek memimpi-mimpi
'pergilah memecah matahari!'
 **
Ketahuilah, Ayah
di setiap garis kerut yang mengukir di wajahmu
disetiap helai rambut putihmu yang kian bersemi
disetiap rona pandangmu pada masa depan kami
pada setiap keringat yang ditempeli debu siang hari,
kami menitip pesan,
'kami bangga padamu' 

Ketahuilah pula, Ayah
disetiap kami memanggil ibu
disetiap kami mengata rindu padanya
dan meleburnya dalam peluk
kami berharap tangan kami cukup panjang
untuk menyertakanmu, merasakan wajahmu
dengan bisik ditelingamu,
'cinta itu juga milikmu'

SELAMAT ULANG TAHUN, Ayah!

demimu, dengan palu hidup yang kau beri
akan kupecah matahari.
 hingga mereka tau, aku darahmu
**
                   
Puisi untuk ayah saya. Baris kata-kata yang mungkin tidak seberapa. Tidak layak dikaji ulang dalam ulasan-ulasan sastra. Tidak ditujukan untuk menjadi perbincangan media, atau bahkan tidak layak dianggap sebagai sebuah puisi. Tidak akan mengurangi kerut-kerut yang semakin jelas terlihat diwajah ayah saya. Tapi, setidaknya saya mencoba memberikan sesuatu yang bisa dia pandang sejenak, dan sekali lagi berkata... 'Anak muda, kau memang darahku!'
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar